SERIKATNEWS.COM – Himpunan Aktivis Milenial (HAM) Indonesia kembali gelar Dialog Publik bertajuk “Negara Khilafah Pasca Pilpres: Kontrak Politik HTI dengan Capres 2019” di RM Nogiri Mbok Yun, Jalan Dr. Cipto Mangunkusumo, Surakarta, Rabu (13/3/2019). Kegiatan diskusi ilmiah ini dihadiri oleh ratusan partisipan dari kalangan mahasiswa, pelajar, dan simpul organisasi pemuda di Solo Raya.
Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut Gus Muhammad Mustafid, pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara Yogyakarta, dan Muhammad Yasir Arafat, akademisi dan peneliti kajian Islam studies UIN Yogyakarta. Diskusi dipandu oleh Ahmad Naufel, peneliti Institute for HumanKind and Political Studies Surakarta.
Dalam sambutannya, Sekretaris Jenderal HAM Indonesia, Muchlas Samorano menjelaskan, benih gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih terasa meski telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah. Pembubaran organisasi dengan bendera tauhid ini tidak serta merta menghilangkan spirit khilafah.
“Meski secara de jure, organisasi pengusungnya, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah tumbang sejak Perpu Ormas nomor 2 tahun 2017 dikeluarkan oleh pemerintah. Tetapi, secara de facto gerakan ini akan berupaya sekuat tenaga melakukan indoktrinasi dengan cara menyusup dan memengaruhi kelompok lain,” ungkap Muchlas.
Menurut Muchlas, HTI pasca dibubarkan mendompleng kepada kelompok lain untuk meneguhkan eksistensinya. Dalam konteks pemilu, lanjut dia, kelompok dan simpatisan ini terlihat menyusup ke dalam gerakan Paslon 02. Ditengarai, ada keterlibatan HTI dalam kelompok 212.
“Terlihat pada kompisisi struktur anggota Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Mejelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) sebagai inisiator aksi 212 yang terdiri dari Front Pemebela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Mejelis Mujahidin Indonesia, Partai Gerindra, Badan Kerjasama Pesantren Indonesia, dan lain sebagainya. Kita mudah membaca skema itu,” ungkapnya.
Sejak awal, kata Muchlas, kampanye anti-rezim sekuler telah dibeberkan oleh kelompok HTI. Tujuannya untuk menjelek-jelekkan rezim dan menciptakan tensi sosial. Gerakan #2019GantiPresiden, terang dia, bisa jadi wujud riil dari cara HTI mendompleng ke kubu 02.
“HTI bisa jadi menyusup dalam gerakan tersebut dan mereka menginginkan agar masyarakat terpolarisasi sehingga ketika saling menghunus senjata dan chaos tercipta, HTI bisa mengambil kesempatan untuk berkuasa. Timur Tengah dan Afrika mengalami situasi seperti ini di mana masyarakat saling bermusuhan satu sama lain,” jelas Muchlas.
Pada kesempatan itu, Gus Muhammad Mustafid menilai, memang tidak ada kontrak politik konkret yang terbaca dari kalangan HTI kepada Paslon 02. Tetapi, karena pemerintahan Joko Widodo begitu keras memblokade diaspora HTI, kalangan pro-khilafah ini kemudian mengumpulkan suara berafiliasi mendukung Prabowo.
“Jika benar memang ada kontrak politik antara HTI dengan Prabowo, hal paling fundamental dalam pembicaraan di bawah meja itu adalah penghapusan UU Ormas Nomor 2 Tahun 2017 itu,” terangnya.
Bagi Gus Mustafid, eks HTI memiliki kecenderungan untuk menyerang kalangan organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bahkan, menurut Gus Mustafid, karena HTI di Indonesia tidak cukup daya melakukan agresi kudeta, maka jalan satu-satunya adalah menempel ke pihak tertentu.
Sementara itu, Muhammad Yasir Arafat menyebut, pasca dibubarkannya HTI oleh pemerintah, mereka gencar melakukan khilafahisasi budaya. Kelompok pro-khilafah itu, lanjutnya, menukil kisah peradaban Islam Nusantara dengan hanya mengambil bagian perang dan jihadnya.
“Ajaran yang dinukilnya bersifat sempit dan hanya demi legitimasi gerakan mereka. Bagian-bagian perang dan jihad selalu diulasnya berulang-ulang, berharap pikiran masyarakat kemudian mendukung penegakan sistem khilafah dan menolak Pancasila,” ujar Yasir.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.