Judul : Yang Lain
Penulis : Giyan
Penerbit : Koma Media, 2018
Tebal : x + 336.
ISBN: 978-602-51428-0-2
Tidak!- adalah jawaban yang saya suguhkan untuk pertanyaan judul di atas. Iya, tidak ada hidup yang sederhana. Begitulah kesimpulan yang akhirnya muncul di kepala saya setelah menuntaskan novel Yang Lain karya Giyan. Saya teringat komentar Sujiwo Tejo kepada Denny Siregar dalam acara ILC (Indonesia Lawyer Club) tentang penghambur-hamburan uang untuk alumni Gerakan 212 di Jakarta.
“Hidup itu, kan, kompleks,” kata Mbah Tejo.
Bagaimana tidak kompleks? Sejak pertama, Giyan telah membuat dahi pembaca berkerut dengan tidak memberi nama tempat sebagai latar cerita.
..Sepertinya memang tak ada kampung yang tak bernama, atau mungkin tak pernah ada. Tetapi kreasi manusia sang pencipta sejarah selalu melampaui imajinasinya, apa pun bisa terwujud.”…(hlm. 1)
Pengantar singkat halaman pertama novel ini menjadi representasi cerita yang dirajut setelahnya. Pengarang seperti ingin mengatakan bahwa apapun bisa terwujud: novel ini membuktikannya.
Bahkan, bisa dibilang, sangat sulit untuk menemukan tema utama yang diangkat dalam novel ini. Pertama-tama, pembaca akan terbuai dengan untaian kisah cinta anak manusia. Adalah Sumiati, perempuan yang digambarkan dengan ciri-ciri fisik begitu sempurna, diperebutkan oleh setiap pemuda yang ada di Kampung. Tokoh kedua yang menonjol dalam cerita tersebut adalah Sunawi. Seorang pemuda biasa yang sepertinya berpeluang untuk menyunting Sumiati karena ternyata Sumiati juga mempunyai perasaan yang sama dengannya.
Namun, bukan cinta namanya kalau tidak dipenuhi drama. Bajul kemudian muncul sebagai antagonis di antara keduanya. Seseorang dengan latar belakang menyeramkan sekaligus pelaku kejahatan yang sudah tua, suka merampok, dan tak punya pekerjaan tetap. Dia tiba-tiba menyunting Sumiati. Maka, tak hanya dunia Sunawi yang hancur, tetapi dunia imajinasi seluruh pemuda yang ada di Kampung pun turut lebur. Bagimana tidak? siapa yang akan berani melirik istri seorang yang sangat ditakuti? Karena sudah barang tentu nyawa taruhannya.
Cerita sepasang pecinta ini dihujani dengan potongan-potongan kisah dari tokoh-tokoh lain. Saya tidak ingin menyebut tokoh lain karena kehadirannya hanya selingan. Entah bagaimana, si pengarang bisa membuat tokoh-tokoh lain itu juga mempunyai porsi cerita yang hampir sama. Salah satunya Marmuti, perempuan cacat yang justru meluluhkan Sunawi, meskipun (saat itu) hanya sebatas ragawi.
“….Tak ada yang tahu pemicu antara sosok dua manusia yang tampak jauh berbeda. Hanya mereka yang tahu persis persoalan hatinya. Sebab, seberapapun manusia berusaha menceritakan seutuhnya tentang dirinya, selalu ada yang tersisa, tak tersampaikan, sebab itu akan mencederai kesenangan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, cerita tentang diri manusia selamanya tak akan pernah sempurna.” (hlm. 140)
Pergaulan dua insan yang berbeda ini terjadi ketika sebelumnya, Sunawi menolak Sumiati yang memberikan dirinya secara sukarela kepada Sunawi. Lewat cerita ini, Giyan seperti ingin bertutur kepada pembacanya bahwa : hidup itu absurd, kawan!
Tarik-menarik perasaan yang cukup menguras emosi itu kemudian disusupi oleh konflik lain yang juga membuat gregetan: penindasan. Sekilas, penindasan ini hanya muncul sesekali, namun, perlahan-lahan, topik ini menjadi bahasan utama setelah drama percintaan Sumiati-Sunawi dan Bajul.
Perpindahan topik ini dilakukan dengan begitu halus, sehingga pembaca sendiri bahkan tidak menyadari bahwa perhatiannya sudah dialihkan pada tema-tema penindasan yang melingkupi Kampung. Peran kemudian diambil alih oleh tokoh “aku”, yang disini adalah Pak Bakri, seorang mantan tawanan penjajah Hindia-Belanda. Jalan hidupnya yang dipenuhi penindasan oleh penjajah membuatnya lebih peka dari penduduk kampung lainnya. Bahwa di Kampung mereka yang terpencil itu, juga terdapat penindasan oleh pihak yang lebih kuat.
Kesadaran inilah yang tularkan kepada anak muda di Kampung. Setelah dialog-dialog panjang antara Pak Bakri dan para pemuda, Golam, salah satu dari mereka melontarkan pertanyaan :
“…Berarti selama ini kami ditindas, Pak?” Dengan tegas Pak Bakri menjawab “Ya”.
(hlm. 167)
Pertanyaan polos Golam menyegarkan kembali ingatan kita bahwa penindasan adalah sebuah fenomena yang tak disadari. Ia masuk dalam setiap sendi kehidupan, diterima begitu saja sebagai sesuatu yang lumrah. Seolah hidup memang begitu adanya, begitu seharusnya. Hal yang demikian ditegaskan oleh renungan pak Bakri melalui pendidikan yang didapatkannya:
“…bagiku pendidikan sama saja tak berarti kalau pada akhirnya aku dididik harus seperti budak…..dalam kesederhaan itu acapkali jarang disadari adanya indoktrinasi secara sistematis. Sekilas tampak tidak bertentangan dengan akal sehat, padahal sebenarnya tunduk penuh dengan misi terselubung yakni menjadikanku budak. Jadi pendidikan penjajah sebenarnya adalah penundukan sistematis untuk merayakan perbudakan. Apakah aku pesimis? Skeptis? Ragu?. Memang, aku harus meragu dulu sebelum percaya.” (hlm. 170)
Sebuah renungan yang diakhiri dengan kalimat super filosofis.
Apa yang dilakukan para pemerannya jika penindasan telah disadarai dan dirasakan? Tentu saja jawabannya adalah: melawan. Yakin pada diri dan segenap kekuatan yang dimilikinya. Masih sebagai tokoh utama, Pak Bakri berkata:
“…Kalian harus tahu, bahwa setiap diri kita adalah penggerak kehidupan. Bersatunya diri-diri yang lain merupakan jalan kekuatan yang tak mampu dirobohkan oleh apa pun, bahkan oleh angin topan sekalipun. Maka bersatulah….Mulai sekarang, kita harus berserah diri kepada diri kita, tidak yang lain. Hanya dengan mulai dari diri, manusia akan menjadi tangguh untuk menyelesaikan semua masalah kehidupannya. Kau tahu kenapa? karena diri adalah penggerak kehidupan.” (hlm.171)
“Karena diri adalah penggerak kehidupan” : tepat pada kalimat inilah penulisnya menyisipkan ajaran eksistensialis. Bahwa diri adalah pusat dari hidup itu sendiri. Benar bahwa hidup adalah pemberian, tapi pemberian tidak akan berarti apa-apa jika manusia tidak menjadikan pemberian itu sebagai sesuatu yang berharga.
Bahkan, dengan berani dan tegas, tokoh yang sama ini memberikan tafsiran pada kekuatan Tuhan. Yang tentu, dalam kehidupan di Kampung yang primitif, hal itu merupakan sesuatu yang tabu.
“…Aku tidak meremehkan Tuhan. Sekalipun meremehkannya, kukira Tuhan tidak akan merasa tersinggung hanya karena aku percaya pada kekuatan diri manusia untuk mengubah hidupnya sendiri. Aku hanya merasa, ketika kita diam melihat penindasan di depan mata, itu adalah bentuk penghianatan pada diri kita sendiri. Hewan saja yang tidak berpikir, kalau merasa diriya ditindas akhirnya akan melawan juga, apalagi kita…” (hlm. 194)
Konflik yang ditampilkan oleh Giyan dalam novel ini sangat beraneka ragam. Cinta dan penindasan bagi saya merupakan hal yang dominan. Namun tetap saja, potongan konflik yang berhampuran dalam beberapa hal tidak bisa disepelekan. Perian-perian cerita itu hidup _atau saling menghidupkan satu sama lain_ dan sangat sayang untuk dilewatkan. Seperti misalnya pernyataan Sumiati mengenai takdir ketika menolak untuk menjenguk kakeknya yang sedang menjemput maut
“…aku memang perempuan, tapi aku bisa kejam pada siapapun, termasuk pada kakekku sendiri…Sekarang lihatlah, bukankah aku bertindak seperti ini juga takdir?” (hlm. 206)
Bukankah itu merupakan adegan yang aneh? Mengingat Sumiati adalah satu-satunya keluarga yang tersisa dan telah dirawat dengan segenap hati oleh kakeknya sejak kecil.
Hal yang juga mendapatkan porsi cukup besar adalah masuknya Jepang ke Indonesia, yang tentu saja menyebabkan kehidupan di Kampung mengalami perubahan. Perubahan dari satu penindasan ke penindasan yang lain. Penindasan yang lebih berat. Alur cerita kemudian dititikberatkan pada pengalaman aktor-aktor utama Kampung dalam menghadapi kerasnya kehidupan sebagai manusia yang dijajah. Dalam kehidupan semacam ini, manusia dihargai sejauh ia menguntungkan pihak yang dijajah. Penghargaan yang sangat tidak manusiawi tentunya.
Giyan mengakhiri cerita ini dengan sangat tidak terduga. Setelah membawa pembaca pada kisah-kisah pelarian menuju kebebasan dari cengkeraman Jepang, ia mengembalikan cerita pada kisah cinta yang menjadi perhatian di permulaan novel ini. Kisah cinta yang juga membuat tertegun, karena ia menyodorkan tokoh lain yang sedari awal (dibuat) sama sekali tidak diperhatikan, keluar menjadi pemenang. Pemuda kurus-krempeng-penyakitan yang ditolak menjadi tentara itulah yang justru mempersunting perempuan utama.
Penutup yang sedemikian tak terduga dalam novel ini seolah mengingatkan kita bahwa setiap entitas yang ber-ada di dunia ini adalah pemeran utama. Begitulah, dari seluruh cerita, Giyan menampakkan itu. Plot yang maju-mundur, kait-kelindan satu tokoh dan tokoh lain, bahkan alur cerita yang mencengangkan, menggambarkan bahwa masing-masing orang_pada dirinya sendiri_ mempunyai hidupnya, tentu dengan seluruh dinamikanya.
Selamat membaca !
Penulis adalah Penyuka Buku; Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.