Pada debat calon presiden putaran kedua yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia pada 17 Februari 2019 menyajikan tema yang cukup menarik tentang infrastruktur, energi, lingkungan dan sumber daya alam. Tetapi yang menarik dalam debat adalah klaim calon presiden petahana Jokowi tentang tidak adanya konflik agraria sepanjang kepemimpinannya. Selain itu, kita menyaksikan dengan sombongnya Jokowi bertanya soal kepemilikan lahan oleh Prabowo di Kalimantan Timur dan Aceh. Sebetulnya kalau kita mau jujur terhadap kondisi objektif lapangan ternyata begitu banyak konflik agraria yang melibatkan korporasi besar dan masyarakat. Sementara itu, penguasaan lahan yang disebutkan oleh Jokowi pun tidak kalah menariknya bahwa para konglomerat penguasa lahan sedang berada di lingkaran kedua calon presiden. Jadi keseriusan dalam menyelesaikan masalah agraria sama sekali hanya menjadi komoditas politik kedua calon presiden.
Pembaharuan agraria atau reforma agraria bukan semata-mata pembagian sertifikat yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi. Reforma agraria bukan sekedar merupakan kebaikan penguasa atau pemenuhan janji politik pemerintah Jokowi, melainkan mandat konstitusi yang tertuang di dalam UU Pokok Agraria 1960 yang mendefinisikan agraria adalah bumi, air dan ruang angkasa. Tetapi yang dilakukan pemerintah Jokowi adalah sekedar membagikan sertifikat sebagai hak hukum atas tanah. Redistribusi lahan yang dilakukan selama pemerintahan Jokowi sesungguhnya jikalau merujuk pada maksud land reform UUPA 1960 jelas sangat bertentangan. Land reform bukan hanya penataan dan redistribusi lahan pertanian semata, melainkan juga tanah-tanah perhutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan dan kelautan. Tujuan dari penataan ulang sumber-sumber agraria semata untuk kepentingan keadilan sosial bagi seluruh massa rakyat marhaen—penyebutan untuk kelompok petani kecil, buruh kecil, dan nelayan kecil. Land reform merupakan penataan ulang susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan massa rakyat marhaen secara komprehensif.
Tujuan land reform semata mengubah susunan masyarakat yang selama ini dalam cengkraman feodalisme tuan tanah besar dan kolonialisme yang menyengsarakan massa rakyat marhaen agar memperoleh keadilan. UUPA 1960 merupakan wujud implementasi Sosialisme Indonesia yang digaungkan oleh Sukarno sepanjang kekuasaannya. Dasar Sosialisme Indonesia adalah amanat penderitaan rakyat Indonesia. Amanat penderitaan rakyat Indonesia adalah suatu amanat tentang penderitaan dari segenap rakyat Indonesia yang diakibatkan oleh keganasan dan kezaliman imprealisme, kolonialisme, feodalisme yang beratus-ratus tahun lamanya dalam bentuk penjajahan, perbudakan, penindasan, dan pengekangan yang menimbulkan kebodohan dan kemiskinan, bahkan hampir-hampir melenyapkan kepribadian Indonesia. Cita-cita Sosialisme Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia salah satunya diwujudkan melalui land reform. Sosialisme Indonesia dapat terwujud jika sumber-sumber produksi dikuasai oleh masyarakat. Tanah, air, tambang dan sumber-sumber kekayaan lain jika dikuasai dan dikontrol oleh tuan tanah besar dan korporasi-korporasi besar maka cita-cita masyarakat adil dan makmur sama sekali tidak akan terwujud, justru kesengsaraan, kemiskinan dan pembodohan massa rakyat marhaen semakin gila-gilaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur salah satunya dengan program land reform.
Setelah redistribusi lahan apakah berhenti di situ? Tentu tidak! Tanpa adanya program-program penunjang seperti penyuluhan, pendampingan, pendidikan tentang teknologi, pendidikan terhadap akses keuangan dan pemasaran harus maka program land reform akan mengalami kegagalan. Program penunjang ini dilakukan guna mendidik masyarakat agar mampu mengelola kepemilikan sumber-sumber agraria yang telah diredistribusikan.
Land reform sepanjang kekuasaan orde baru dan masuk pada masa reformasi justru direduksi arti land reform oleh pemerintah sendiri. Land reform direduksi menjadi sebatas pertanian dan dipersempit menjadi lahan pertanian semata. Celakanya, salah tafsir ini terus digunakan hingga pemerintahan sekarang. Tetapi jika kita merujuk pada land reform di dalam UU Pokok Agraria Pasal 1 (ayat 1 sampai ayat 5) UUPA 1960 jelas sekali rumusannya: “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya. “inilah “agraria”! selain permukaan bumi, juga tubuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruang di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2. Atas dasar pengertian ini istilah sumber daya alam, lingkungan, tata ruang dan kewilayahan masuk di dalam UUPA 1960.
Di dalam praktiknya istilah sumber daya alam sebagai penghidupan untuk massa rakyat dibiaskan dengan eksploitasi ugal-ugalan untuk kepentingan penguasa, tuan tanah besar dan korporasi besar. Masyarakat dikorbankan hanya demi ambisi mengeruk sebanyak mungkin sumber daya alam dan meninggalkan luka yang menganga bagi masyarakat. Lubang-lubang galian tambang, limbah-limbah tambang yang berbahaya dan kerusakan lingkungan yang begitu besar tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Akibat eksploitasi yang berlebihan ini menimbulkan kesengsaraan dan kemiskinan struktural bagi masyarakat yang berada di wilayah tersebut.
Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria yang dirilis pada tahun 2017 menunjukkan adanya peningkatan konflik agraria. Kurun waktu 2017 KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 659 kejadian konflik agraria di berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibandingkan dengan tahun 2016 ada peningkatan yang signifikan sebesar 50%. Sebanyak 208 konflik agraria telah terjadi di sektor ini sepanjang tahun 2017, atau 32 persen dari seluruh jumlah kejadian konflik. Sektor properti menempati posisi kedua dengan 199 (30%) jumlah kejadian konflik. Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur dengan 94 konflik (14%), disusul sektor pertanian dengan 78 (12%) kejadian konflik. Seterusnya sektor kehutanan dengan jumlah 30 (5%) konflik, sektor pesisir dan kelautan sebanyak 28 (4%) konflik, dan terakhir sektor pertambangan dengan jumlah 22 (3%) kejadian konflik yang terjadi sepanjang tahun 2017. Dengan begitu, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK (2015-2017), telah terjadi sebanyak 1.361 letusan konflik agraria.
Di samping konflik agraria terdapat ketimpangan penguasaan lahan oleh konglomerat besar di republik ini. Menurut data yang dirilis tempo pada 20 Februari 2019 bahwa penguasaan lahan sejumlah politikus dan pengusaha memiliki hubungan di lingkaran kedua calon presiden yang berseteru sekarang. Di lingkaran Jokowi ada keluarga Thoir, Hary Tanoe, Luhut Binsar Panjaitan, Oesman Sapta Odang, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, dan Saleh Husein. Sementara di lingkaran calon presiden penantang, yakni Prabowo sendiri, Sandiaga Uno, Ferry Mursyida Baldan yang menguasai lahan yang begitu besar. Artinya bahwa komitmen untuk menyelesaikan persoalan land reform kedua calon presiden Jokowi dan Prabowo sebatas bualan politik. Bagaimana mungkin masalah agraria dapat diselesaikan jika orang-orang yang menguasai lahan yang begitu besar di republik ini berada di lingkaran kedua calon presiden? Konglomerat ini menjadi penyokong dan penyumbang dana kampanye pemilihan presiden. Adakah keberanian dari kedua calon presiden untuk menyentuh orang-orang di sekitar lingkarannya? Saya berpendapat Jokowi dan Prabowo tidak memiliki keberanian untuk membongkar persoalan land reform yang melibatkan orang dekatnya.
Sementara bualan politik Jokowi tentang tidak adanya konflik agraria sesungguhnya menghina anak bangsa yang selama ini berjuang keras untuk mempertahankan hak-haknya dari perampasan dan penggusuran akibat konflik dengan korporasi besar. Ada yang mati, dipenjara dan terusir dari rumahnya. Konflik atas nama pembangunan justru melibatkan aparat dan premanisme untuk melegalkan pengusiran dan pembunuhan terhadap warga masyarakat. Aparat Negara telah menjelma menjadi alat pemerintah untuk membungkam protes masyarakat yang berusaha mempertahankan hak-haknya. Ini merupakan bukti bahwa proyek infrastruktur selama kekuasaan Jokowi banyak melahirkan konflik dan masalah. Akan tetapi, pada saat debat pemilihan presiden putaran kedua dengan bangganya Jokowi mengklaim tidak adanya konflik akibat pembangunan infrastruktur. TKN maupun BPN sama-sama tidak mengerti tentang land reform lalu saling meledek dan menyerang padahal di dalam lingkaran kedua calon presiden sama-sama memiliki orang-orang yang menguasai lahan yang begitu besar. Untuk apa saling meledek dan menyerang jikalau toh sama-sama disokong oleh tuan tanah dan korporasi besar?
Tantangan untuk menyelesaikan persoalan agraria sesungguhnya sangat berat. Mengapa? Karena alat-alat produksi tanah, tenaga kerja, modal, sumber daya alam, pasar dan investasi merupakan dewa neoliberalisme yang selama ini disembah-sembah oleh penguasa di republik ini. Pemikiran neoliberalisme ini melekat erat pada kedua calon presiden Jokowi maupun Prabowo. Ketika tumbangnya kekuasaan Sukarno, orde baru mengabdi pada haluan ekonomi neoliberal dan diwariskan hingga sekarang. Warisan berupa bergabungnya Indonesia di kelompok perdagangan bebas WTO, AFTA, GATT, APEC dan sejenisnya. Tidak ada satu presiden di republik ini selain Sukarno dengan keberanian yang begitu besar melawan neoliberalisme. Kita justru terjebak dalam agama pasar bebas yang menyengsarakan. Akibat pemikiran neoliberalisme, tanah dijadikan komoditi perdagangan. Perebutan dan penguasaan lahan terjadi di depan mata kita pada saat amandemen UUD 1945 yang menghilangkan peran Negara atas segala sumber daya alam. Padahal untuk menyelesaikan persoalan agraria membutuhkan kekuatan rakyat, kekuasaan Negara untuk melindungi masyarakat dan komitmen politik pemimpin, tanpa itu semuanya sia-sia.