Laporan Serikat News
Senin, 1 Mei 2017 - 09:21 WIB
Tahukan anda, apa makna masyarakat itu?. Secara etimologi, “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yakni “masyrakah”, yang bermakna kelompok atau wadah berhimpunnya banyak orang. Mereka berhimpun tidak sekedar berkumpul menjadi satu jumlah besar, seperti kumpulan hewan-hewan dalam kandang, atau di atas kendaraan yang mengangkutnya menuju eksekusi, tetapi berhimpun untuk membangun peradaban, dengan berkonstribusi sesuai dengan potensi prbadimasing-masing. Maka himpunan itu pun menjadi sebuah per”syarikat”an yang kuat dengan tujuan yang sama yakni mewujudkan kehidupan yang sejahtera untuk semua warganya.
Beragam keyakinan, etnis, lapisan sosial dan profesi berhimpun dalam wadah “masyarakat” itu. Satu di antaranya ialah profesi “buruh”, atau pekerja yang langsung berurusan dengan produk-produk industri, untuk berbagai jenis kebutuhan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, termasuk untukperadaban jangka panjang. Posisi buruh, dengan demikian, sangatlah strategis,sebab di tangannyalah gagasan-gagasan besar di bidang ekonomi, terapan sains dan tenologi, dapat terwujud dengan kerja keras, siang-malam, demi kemakmuran masyarakat luas, walaupun ironis terkadang mereka sendiri belum merasakan kemakuran itu.
Tidak salah, jika semua agama menekankan ajaran pokoknya pada dua hal,yakni iman dan amal sholeh (kerja-kerja kemaslahatan). Jika iman adalah kendali moralitas bagi peradaban manusia, maka amal (kerja) adalah perwujudan konkret dari peradaban itu sendiri. Tanpa buruh dan pekerja lainnya, yang memosisikandirinya sebagai pekerja, niscaya peradaban, bahkan mungkin kehidupan manusia itu sendiri di muka bumi akan terhenti. Kita semua dapat menikmati hidup dan membangun peradaban, hanya karena masih ada orang yang mewakafkan dirinya untuk bekerja, bekerja dan bekerja demi kelangsungan kehidupan bersama dalam apa yang kita sebut “masyarakat”. Untunglah, ada di antara kita yang bersedia untuk bekerja keras (beramal sholeh) demi kehidupan bersama. Maka, tidak salah jika dikatakan: “buruh itu adalah bahagian dari kita”.
Dengan falsafah seperti itu, kita tidak menempatkan lagi buruh sebagai sekedar pencari kerja untuk menghidupi diri dan keluarganya sendiri, tetapi kita memandang mereka sebagai mitra dan sahabat kerja demi kehidupan bersama. Kita tidak lagi memandang buruh sekedar sebagai pihak yang terikat kontrak kerja dengan perusahaan (majikan) dalam sebuah kalkulasi untung-rugi sebuah korporasi,tetapi kita memandang buruh sebagai keluarga perusahaan, yang harus diperlakukan dengan rasa persaudaraan senasib sepenanggungan. Dengan falsafah ini, hubungan antara perusahaan dan buruh menjadi semacam hubugan keluarga besar yang harmonis, saling melindungi, saling menghidupi, jauh dari kezaliman antara mereka.
Sebab harus dipahami, bahwa kezaliman yang tak kalah dahsyatnya akan pasti terjadi apabila hubungan antara buruh dan perusahaan menjadi tidak harmonis.Harmonitas hubungan antar mereka harus dibina terus-menrus, karena menjadi kondisi yang paling menentukan iklim usaha yang sehat, yang di dalamnya para buruh akan siap bertanggung jawab untuk mempertahankan dan mengembangkan perusahaan sumber nafkahnya itu. Hubungan yang tidak sehat akhirnya melahirkan sejumlah kezaliman, antara lain perlakuan secara tidak manusiawi atas buruh dengan upah yang rendah, dengan beban kerja yang melampaui batas, tanpa hak cuti sakit dan hamil, tanpa jaminan kesehatan dan tanpa harapan masa depan yang lebih baik. Lebih fatal lagi, ialah perusahaan secara sewenang-wenang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh dan karyawannya, jika terasatidak memberikan keuntungan besar bagi perusahaan.
Sebaliknya, adalah sebuah kezaliman pula yang tak dapat dibenarkan oleh akal sehat, ketika para buruh yang merasa kurang sejahtera itu melakukan reaksi yang anarkis, melakukan demonstrasi sebagai jalan pintas menyampaikan tuntutannya, merusak milik-milik perusahaan, melakukan mogok masal, padahal semua itu akan berdampak mematikan lahan hidupnya sendiri. Semua kezaliman timbal-balik ini sebenarnya dapat diatasi secara dini, hanya dengan membangun rasa kekeluargaan seperti dipesankan oleh Nabi SAW: “Berilah upah kepada buruh, sebelum keringatnya kering”. Hadits ini memperingatkan tidak sebatas upah saja,tetapi mencakup segenap hak buruh untuk memperoleh kesejahteraan jasmani-rohani secukupnya, agar dapat bekerja produktif demi kepentingan bersama, dan juga agar dapat mempersiapkan masa depan kehidupan keluarganya. Itulah hubungan perburuhan Pancasilais, Perburuhan tanpa kezaliman.
Dengan prinsip ini, para pebisnis dalam membangun “kerajaan” bisnisnya, diharap tidak memperlakukan buruh sebagai “budak” nya, tetapi memperlakukan, sekali lagi, sebagai keluarga sendiri yang bekerja sungguh-sungguh untuk tujuan yang sama yakni buruh sejahtera seiring dengan berkembang pesatnya perusahaan, sebagai pengabdian sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa. Selamat Hari Buruh Se Dunia.
*Penulis Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, dan Ketua Umum ormas Baitul Muslimin Indonesia 2007 sd. Sekarang.
PERTARUNGAN sengit di Kabupaten Probolinggo menjelang pemilihan bupati menandai intensitas persaingan di arena politik. Calon-calon baru seperti Gus Haris, pengasuh
DEBAT keempat Pemilihan Presiden 2024, Minggu (21/1/2024) malam, tidak terlihat seperti debat kenegaraan. Debat kemarin terlihat jadi ambyar dan kurang