Baru kilometer 17, spanduk dan baliho caleg yang berjajar semrawut sejak start tadi sudah berteriak tak karuan di kepalaku. Pilih aku, coblos aku, akulah yang terbaik. Hhhh tahun politik. Kali ini, untuk charity sekaligus merayakan reuni angkatan kuliahku, aku akan berlari dari Semarang hingga Magelang sejauh 97 KM. Asyik! Oh ya, namaku Wisanggeni. Teman-teman memanggilku Wisang.
***
Aku senyum-senyum sendiri membaca tagline para calon legislator yang berharap terpilih sebagai anggota parlemen, wakil rakyat, penyambung lidah masyarakat. Bukan, bukan bermaksud skeptis. Alangkah sayangnya, melalui bentangan kain flexy berukuran 1×2 meter atau 3×4 meter itu para caleg tak dapat memaksimalkan jualan mereka. Tak dapat atau miskin imajinasi?
Ini contohnya. Siap jungkir balik demi rakyat. Tagline caleg DPR RI ini dilengkapi foto yang dicetak terbalik. Baiklah, pasti ada filosofi di balik pemilihan design. Baliho ini milik seorang caleg yang berprofesi sebagai dosen komunikasi, mantan menteri, pengurus pusat partai bagian komunikasi. Baiklah, aku tak akan berdebat mengenai analogi, metafora, simbolisme, makna, ataupun komunikasi visual dengannya. Tetapi, apakah Kanjeng Raden Mas Tumenggung itu tahu jika design serupa sudah banyak digunakan oleh caleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota? Kepada mereka saya agak maklum Mas, tetapi Anda? Pakar telematika yang wajahnya sudah dikenal se-Indonesia? Caleg nomor urut satu pula!
Butiran keringat mulai menguyupkan baju dan ikat kepalaku. Aku tak sabar segera tiba di Rawa Pening, pemberhentian pertama sekaligus tebar benih, bagian dari seremonial acara reuni. Aku selalu mengagumi gugusan gunung yang mengelilingi waduk seluas hampir 3 hektare yang secara administratif berada di 3 kecamatan itu, Ambarawa, Bawen, Banyubiru … Banyubiru, nama yang bagus untuk anak laki-lakiku kelak. Dulu, setiap musim libur, Ayah selalu mengajakku ke Rawa Pening. Memaksaku menghafal nama-nama gunung itu. “Wisang, SMA nanti kamu sudah boleh naik gunung, tetapi jangan lupa untuk selalu menjaga keagungannya. Gunung untuk dimaknai, tidak sekadar didaki,” pesan Ayah selalu.
Pilih saya, adik raja dangdut. Wow. Cukup banyak juga spanduk caleg berwajah sama betul dengan pelantun lagu “Mirasantika” itu. Berbentuk vertikal, berukuran 2×1 meter, terbentang rapi berjarak masing-masing sekitar 10 meter. Dia ini mau jadi anggota DPR agar bisa nyanyi di gedung parlemen atau? Ah sudahlah lebih baik aku ganti playlist-ku ke lagu-lagu Bang Haji. Bujangan (bujangan) enaknya kalau jadi bujangan, hidup bebas bagai burung terbang. Kantong kosong tidak jadi persoalan ….
Suara sirene patwal polisi terdengar semakin nyaring. Kilometer berapa ini? “Semangattttt, 2 kilometer lagi, Kak, ayooo!” Anak-anak sekolah berseragam pramuka bertepuk tangan sambil mengibar-ngibarkan bendera merah putih kecil. Aku selalu terharu melihat sambutan seperti ini. Entah sudah berapa lama mereka berbaris panas-panas menungguku yang santai berlari di pace 7 sejak start pukul 6.00 pagi tadi. Sebagian dari mereka terhalang baliho caleg yang bertuliskan ahhhh kali ini benar-benar mengocok perutku, coblos saya, kalau mau enak. Foto sang caleg berkebaya dengan tatapan yang …. Bukan, ini bukan halusinasi. Aku belum berlari sejauh itu, atau inikah ilusi masyarakat kita saat ini?
Aku harus ganti sepatu rupanya. Nike-ku basah. Ambarawa diguyur hujan semalaman. Sebagian ruas jalan masih tergenang air. Gunung Ungaran tampak semakin dekat, semakin gagah menjulang. Bukan, itu Merbabu. Tunggu, itu Andong aku tak mungkin salah, ia tak terlalu tinggi, tetapi bisa jadi itu Gunung Telomoyo, argh!
Tepuk tangan riuh menyambutku. Sekitar 20 pelari sudah tiba di waduk. Kami bertukar cerita tentang sepanjang jalan tadi. Bagi yang memilih rute maraton, maka Rawa Peninglah finish mereka. Bagi yang memilih finish di Borobudur, masih tersisa 55 kilometer lagi. Sebuah warung apung menarik perhatianku. Ini sebutan untuk kapal nelayan yang disulap menjadi warung. Atap, meja, dinding, dan lantai kapal ditutup dengan spanduk-spanduk partai. Ada juga secuil potongan wajah sana-sini, bisa jadi foto ketua partai atau para caleg yang berkampanye.
“Kalau gambar presiden saya ndak berani, Mas, nanti ditangkap polisi,” kata Pak Marsum yang mengaku sejak reformasi 1998 berjualan di waduk ini. “Mau ganti presiden, gubernur, bupati, anggota DPR, ya hidup ya begini, tetapi lumayanlah dapat spanduk gratis. Daripada beli terpal mahal-mahal,” sambil terkekeh ia menepuk-nepuk dinding kapalnya.
Aku hanya menatap kagum ke dalam intonasi bersahaja Pak Marsum yang tak menyiratkan kekecewaan. Istrinya sedang membuatkanku teh manis. Meski aku maksa minta teh tawar saja. “Mas kan masih mau lari jauh, bagusnya minum yang manis-manis, biar tambah kuat,” sambil mengunyah getuk aku bilang terima kasih.
BERSAMBUNG
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari