Kalau sudah mengaji kitab Miftahu al-Falah fi Mishbahu al-Arwah karya Syeikh Ahmad bin Athoillah al-Iskandary, terutama sekali jika membahas tentang zikir (al-dzikru) mata ini selalu berkaca-kaca, sedih, dan sekaligus cemas, betapa wajah Allah SWT serasa gelap dari pandangan hati yang memang sudah digelapkan oleh kecintaan dunia hingga selalu lalai (al ghoflah) untuk sekedar mengingat Allah, karena kesibukan (isytighol fi al-dunya) pekiwuh dunia. Meminjam istilah Martin Heidegger, kita ini sedang mengada di dunia “dasein in- der- welt “dalam ketiadaan, yang tampak hanya fenomena. Pendekatan selama ini terlalu terbawa arus kecintaan atas dunia (hubbu al-nisaai, hubbu al-maali, hubbu al-ladzdzati) sehingga mampu memalingkan hadapan hati kita ke wajah Allah (wajhullah). Mursyid di beberapa tarekat (thoreqot) selalu menganjurkan untuk zikir (dzikr) terlebih jika sang murid ada dalam posisi sebagai salik yakni yang tengah menjalankan suluk (al taqorrub bi Allah).
Kaitan tulisan di atas saya mengajak untuk sedikitnya memahami keutaman zikir sebagai amalan ibadah yang paling utama bagi seorang mukmin. Karena itu saya inigin mengetengahkan anjuran zikir menurut Syeikh Ahmad Athoillah Al Iskandariy sesuai firman allah “ ya ayyuha alladzina aamanuu udzkuru allaha dzikron katsiron” dan firman Allah SWT “ wadzkur isma robbika bukrotan wa ashilaan “. Dalil tentang zikir tersebut mengandung pengertian bahwa dalam kondisi apapun dan kapanpun, dimanapun zikir harus selalu diucapkan. Pada bahasan ini seorang mursyid pasti membimbing ke kita untuk bisa berzikir dengan hati, meski secara lisan sebagai penanda bahwa kita tengah berzikir, alot dan susahnya zikir di dalam hati sebagai tahapan mendalam untuk bisa mengikat hati (hablu min allah). Maka dengan cara mensucikan dari hadats dan najis, serta keteguhan hati maka merutinkan zikir tentulah tidak sulit. Sebab yang tersa sulit adalah bagaimana untuk bisa tetap dalam kondisi sellau berzikir.
Para Sufi merasa “ terpelanting “ dari kedekatan dengan Allah hanya gara-gara 1 detik tidak mengingat Allah. Hal itu menjadi sorotan bagi murid sufi betapa sulitnya melakukan zikir dengan berkesinambungan (dawam) dan tetap istiqomah dalam kondisi berzikir. Rosulullah SAW mengingatkan bahwa “ maa qola ‘abdun laa ilaaha illa allah mukhlishon min qolbihi illa futihat lahu abwaabu al samaai’ hatta yufdli ila al ‘arsyi maa ujtunibat al kabaairu “ hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Tarmidzi. Peringatan Nabi SAW tersebut mengandung arti bagi murid Sufi untuk tidak lalai dalam satu waktupun dalam mengingat Allah SWT.
Lebih lanjut Syeikh Ibnu Athoillah memaparkan bahwa zikir adalah termasuk rizkinya bagi roh kita dan secara linear bersamaan rizki makan dan minum untuk jasad kita. Ada kondisi spiritual yang kuat jika zikir menjadi nafas dalam setiap gerak langkah, ini dijamin oleh gusti Allah SWT “alaa bi dzikri allahi tathmainnu al qulubu “ dengan demikian ada kekuatan muthmainnah (ketenangan batin) di hati dan jiwa yang istiqomah dengan zikir. Muthmainah sudah merupakan capaian para salik (murid Sufi) karena telah tercerahkan oleh cahaya marifat Allah dengan kondisi “ tamma tanawwuruha bi nuri al qolbi “( sempurna cahaya dalam hati) sehingga bening seperti kaca yang mampu memantul. Jiwa-jiwa yang tenang terbang bersama sayap sayap zikir dalam anugerah menatap wajah Allah yang maha agung.
Wakil Ketua PW Ansor Banten