Sandal jepit. Tak lebih. Dipakai jika sedang butuh, pura-pura lupa ketika jauh. Datang cepat-cepat, berlalu dengan semangat.
***
Dara kembali membaca pesan WhatsApp terakhirnya untuk Erwin.
“Kangen nggak?”
“Nggak.”
“Maksud kamu?”
“Nggak. Nggak mau bahas itu.”
Tak pernah bilang suka, sayang, cinta, kangen. Apa sih maunya? Matanya menerawang. Keluar jendela. Menatap pohon ketapang yang mulai meranggas. Daun-daunnya luruh, ditiup angin satu demi satu. Burung-burung madu sriganti yang hinggap di dahannya tak acuh, tetap riuh, riang berkejaran. Sesekali sang jantan terlihat galak dan betinanya terbang rendah menggoda.
Dara dengan gampang membedakan kelamin burung-burung itu. Pejantan memiliki punggung berwarna hijau zaitun dan dada hitam keungu-unguan. Sementara yang betina hijau di bagian perutnya, punggung kuning dan alis kuning terang, cantik. Dulu ayahnya mengoleksi berbagai jenis burung. Namun, ketika flu burung menyerang Kulon Progo dan di hampir seluruh wilayah DIY, burung-burung koleksi ayahnya dan semua ayam pedaging yang membiayai sekolah Dara dan kedua adiknya terpaksa dimusnahkan karena terserang virus.
Tatapan menerawang itu kian redup, layu, tak ada gairah, persis seperti ketapang meranggas yang sedari tadi ia nikmati. Inginnya ia mengakhiri percintaan yang telah dua tahun ini dijalani tanpa deklarasi “aku cinta kamu maukah kau jadi kekasihku” dan hendak mengubahnya menjadi “aku tak tahan lagi denganmu lebih baik kita berpisah”. Tetapi, dengan lelaki satu ini, putus tak mudah dilakukan.
“Selamat pagi, Andara. Minggu depan kita lunch?” Heh? WhatsApp dari Erwin!
“Maaf, tidak bisa,” balas Dara. Bermaksud merajuk. Berharap dirayu.
“Oke,” tutup Erwin begitu saja.
Cicit burung-burung madu sriganti semakin nyaring terdengar.
Inferior, perasaan tak dianggap itu bertengger bukan tanpa alasan. Dara kembali menatap ketapang yang meranggas. Tak lama lagi ketapang itu akan bersemi, hidup kembali, hijau, dihinggapi koloni burung-burung.
“Nasibmu, lebih baik dariku ketapang,” ucapnya lirih.
Jauh di ujung timur nusantara, di perairan Raja Ampat, di kedalaman 34.5 meter, Erwin dan beberapa penyelam tengah beradu pandang dengan seekor hiu karang sirip hitam, satu dari lima jenis hiu paling mematikan. Menegangkan, memompa adrenalin, berlangsung sekejap, kemudian lenyap. Arus dalam laut terasa mengalir sedang. Laut Papua selalu memikatnya.
***
Malam sebelumnya,
Di bawah taburan bintang-bintang di teras Hotel Mansinam, Manokwari, Papua Barat mengutip sajak seorang maestro …
Dara,
Aku ingin mencintaimu dengan caraku
Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Jangan tanyakan padaku tentang perasaan
Ia telah hadir, selalu ada, dan akan selamanya abadi.
Erwin
Tulisan ini tak pernah terkirim, tak pernah dibaca oleh Dara.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari