Oleh: Ali Usman*
Perjalanan Nabi Muhammad Saw. dalam peristiwa Isra’ Mi’raj yang melewati petala langit ke ‘Arasy Allah menjadi subteks yang tak ada putus-putusnya dijadikan penyemangat jiwa dalam beribadah oleh para sufi; ia selalu dibangkitkan dalam sebuah kiasan halus sebagai inspirasi, penglihatan akan Allah, dan tahapan tafakur mistikus. Isra’ Mi’raj merupakan salah satu tanda dari kebesaran Tuhan yang ditunjukkan langsung kepada Muhammad, sebagaimana yang ditunjukkan secara jelas dalam firman-Nya Q.S. al-Isra’: 1.
Isra’ Mi’raj dalam pandangan sufi tidak hanya diyakini sebagai peristiwa spiritual yang dialami Nabi yang berkenaan dengan perintah untuk mendirikan shalat lima waktu, tetapi lebih dari itu, para sufi menjadikannya sebagai suatu bentuk ibadah yang mesti dilakukan pula oleh para umatnya. Artinya, jika Nabi Muhammad Saw. atas seizin-Nya bisa melakukan mi’raj dan bertemu langsung dengan-Nya, umatnya pun sebenarnya bisa melakukannya.
Bagaimana mungkin para sufi juga melakukan mi’raj sebagaimana yang dialami Muhammad Saw.? Di sinilah muncul polemik dan kontroversi. Sebagian kalangan menganggap, bahwa tidak ada, dan tidak mungkin ada manusia selain Muhammad bisa melakukan mi’raj. “…Tidak ada seorang sufi pun yang pernah bertemu dan berdialog dengan Allah Swt. selain Rasulullah Saw. Kalau dipandang dari sudut tasawuf, Rasulullah adalah sufi yang paling berhasil”, tulis Haidar Bagir yang pernah menulis artikel berjudul Membumikan Tasawuf (dalam Komaruddin Hidayat, 2001: 106).
Tampaknya, Haidar Bagir kurang cermat mengamati tradisi dan pengalaman-pengalaman kaum sufi yang dalam pandangan penulis, sebenarnya ada dan bahkan banyak para sufi yang melakukan atau dalam bahasa lain pernah “mengalami” peristiwa mi’raj. Meski mungkin kita akan terperanjat bila menengok pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh sebagian kaum sufi itu.
Adalah Abu Yazid al-Bisthami yang disinyalir melakukan pencarian akan Allah hingga menuju puncak ke langit ketujuh. Kisah ini dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat, termasuk dalam Tadzkirah al-Auliya’, karya Fariduddin ‘Atthar. Salah satu riwayat yang lebih awal ditemukan dalam teks yang diberi judul al-Qashd ila Alllah (Pencarian akan Allah), yang dinisbahkan kepada Abu al-Qasim al-Junaid, tetapi sangat mungkin disusun setelah kematian al-Junaid.
Ada pula misalnya pengalamamn mi’raj ala Ibn Syattari yang amat unik. Ia mendaki langit hingga menuju ke langit kedepalan. Sementara tempat singgah tingkatan langit itu adalah planet dan benda-benda langit, seperti: bulan, merkuri, venus, matahari, mars, yupiter, saturnus dan yang terkhir disebutkan sebagai tanda-tanda zodiak (Kartanegara, 2006: 226-232).
***
Ada lagi, pengalaman mi’raj Ibn ‘Arabi yang ditulisnya secara khusus dalam Kitab al-Isra’, buku tentang perjalanan malam, ditulis di Fez pada 594 H/1198 M. Ibn ‘Arabi melakukan perjalanan terpanjang dan paling luar biasa. Ini bukan lagi perjalanan horizontal, melainkan perjalanan vertikal; bukan lagi perjalanan di atas bumi, melainkan perjalanan di atas langit; bukan lagi perjalanan fisik, melainkan perjalanan spiritual, perjalanan yang membawa peziarah melampaui sekat-sekat geografis menuju Hadirat Ilahi, “yang berjarak dua busur atau lebih dekat” (Q.S: al-Najm: 9).
Peristiwa mi’raj yang dialami Ibn ‘Arabi bahkan hampir sama atau mirip dengan yang dialamai Nabi Muhammad Saw. Ibn ‘Arabi juga melewati tujuh langit dan saling bertegur sapa dengan para nabi. Diceritakan, di langit pertama, ia disambut oleh bapak manusia, Nabi Adam a.s yang menjelaskan kepadanya bahwa semua manusia mendapat hak Allah, dan ini berarti bahwa setiap orang tanpa terkecuali akan beroleh rahmat-Nya.
Tiba di langit kedua, Ibn ‘Arabi berbincang dengan Nabi Isa dan Yahya. Nabi Isa menjelaskan bahwa kemampuannya untuk menghidupkan orang mati berasal dari hakikat spiritual yang diterimanya dari malaikat Jibril. Nabi Yahya menjelaskan bahwa hak istimewa “menghentikan kematian” pada hari kiamat adalah miliknya lantaran nama “Yahya” (“ia hidup”) yang telah diberikan Allah kepadanya.
Ibn ‘Arabi melanjutkan perjalanannya ke langit ketiga, langit Nabi Yusuf. Di sini Yusuf, menjelaskan kepadanya makna sabda Nabi, “Sekiranya aku menempuh jalan yang sama dengan Yusuf, dan aku diseru, niscaya aku (langsung) menjawab seruan ini. Ini merujuk pada persitiwa yang disebutkan al-Qur’an (Q.S. Yusuf: 50). Selanjutnya di langit keempat, Ibn ‘Arabi disambut Nabi Idris, Kutub Matahari, yang memujinya sebaga “pewaris Muhammad”.
Di langit kelima, ia bertemu dengan Nabi Harun, yang menyebutnya sebagai “pewaris yang sempurna” dan mengatakan bahwa penolakan terhadap kenyataan duniawi yang dilakukan sebagai orang arif ada kaitannya dengan kurangnya pengetahuan tentang teofani. Di langit keenam, Musa menuturkan pengalamannya melihat Allah, dan dengan demikian menjawab ketaksaan ayat al-Qur’an (Q.S al-A’raf: 143) yang digunakan mereka mengingkari kemungkinan melihat Tuhan.
Ibn ‘Arabi akhirnya tiba di langit ketujuh. Di sana ia bertemu dengan Nabi Ibrahim yang tengah bersandar pada bayt al-ma’mur, Ka’bah Langit. Ia lalu bertolak melanjutkan perjalanannya hingga mencapai sidrah al-muntaha: ini menandai tahapan akhir dari mi’raj, tetapi bukan akhir dari seluruh perjalanan malam itu.
Di sinilah menurut Claude Addas (2004), riwayat autobiografis al-Futuhat al-Makkiyah, yang merupakan kitab babon pemikiran sufistik Ibn ‘arabi berakhir. Setelah menjelajahi planet-planet batinnya dan berbincang dengan para Nabi, si pengembara menemukan kehambaannya yang sejati dan kekuasan mutlak Tuhan.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa para sufi juga dapat mengalami mi’raj sebagaimana pernah dialami Muhammad. Hanya saja, sebagian kalangan berpendapat, bahwa perbedaan antara mi’raj nabi dengan para sufi terletak pada kondisi fisik atau tubuhnya. Mi’raj nabi dilakukan dengan tubuhnya (bi jismihi), sementara para sufi hanya dapat melakukannya dengan ruh semata (bi ruhi). Sebuah potret perjalanan mendebarkan yang dialami Muhammad Saw. maupun para sufi yang meninggalkan bumi dalam posisi rendah menuju langit yang tinggi.
Untuk menggambarkan dahsyatnya perjalanan ini, orang-orang sufi bercerita ketika Rasulullah sampai di suatu tempat, malaikat Jibril mengatakan: “Saya tidak mau ikut lagi. Sebab kalau saya ikut, sayap saya akan terbakar. Berangkatlah engkau sendirian”. Lalu Rasulullah berangkat ke satu tempat. Malaikat pun tidak ada, hanya ada Rasulullah dan Allah saja (Rakhmat, 2000: 104).
Perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw. memang memiliki kualitas ontologis yang berbeda dengan apa yang dialami oleh orang lain, di antaranya tentang perintah shalat.
صلوا على النبي محمد
*Adalah guru pesantren di yogyakarta
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210277096736222&id=1005011125
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.