Sejak tanggal 3 sampai 31 Agustus 2018, bertempat di Galeri Nasional Indonesia, masyarakat kembali dapat menyaksikan Pameran Koleksi Benda Seni Istana. Selain beragam karya maestro lukis kelas dunia, juga dipamerkan patung dan seni kriya berupa tiga kristal berbentuk piring dan vas bunga dari lima Istana Kepresidenan. Dengan tema “Indonesia Semangat Dunia”, pameran ini bertujuan membangkitkan semangat kebersamaan dan kebanggaan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang besar.
Menurut Agus Dermawan T (2012), yang pernah tergabung dalam Tim Uji Petik Koleksi Benda Seni Istana yang dibentuk Sekretariat Negara, Maret 2011, menyebutkan sejak pendataan per 31 Desember 2010 koleksi benda seni Istana tercatat sebanyak 15.991 buah. Sebagian besar koleksi ini adalah milik Soekarno yang dihibahkan ke negara. Seperti dikatakan sendiri oleh Soekarno dalam biografinya, “Aku akan mewariskan hasil-hasil seni ini kepada rakyatku” (Cindy Adam, 2001 : 18).
Istana Merdeka dan Istana Negara, Jakarta, menyimpan 582 lukisan, 303 patung, 3.003 kriya. Istana Bogor; 694 lukisan, 366 patung, 2.282 seni kriya. Istana Cipanas; 335 lukisan, 264 patung, 423 seni kriya. Istana Yogyakarta (Gedung Agung); 740 lukisan, 354 patung, 5.850 seni kriya. Istana Tampaksiring; 291 lukisan, 278 seni patung, 210 seni kriya. Pesanggrahan Tenjoresmi Pelabuhan Ratu; 12 lukisan, 2 patung, 2 seni kriya. Selain tak ternilai harganya, koleksi benda seni ini menjadi saksi berbagai peristiwa di lingkungan Istana.
Beragam aspek budaya yang tercermin dalam koleksi benda seni Istana dapat menjadi wahana diplomasi budaya. Diplomasi budaya adalah upaya pemerintah untuk menjelaskan pembangunan karakter bangsa yang beragam melalui kebudayaan dan kesenian kepada para tamu negara. Sementara dari perspektif budaya, Istana tidak hanya menjadi simbol lembaga kepresidenan tapi juga mempunyai fungsi sosial, budaya dan estetika dengan koleksi benda seninya.
Ruang Budaya
Pada era Presiden Soekarno, Istana pernah diberi visi “ruang budaya” untuk mengakomodasi kegiatan artistik, informal, populis dan inklusif diluar agenda resmi kenegaraan. “Ruang politik” yang formal menyebabkan komunikasi antar anak bangsa menjadi terkotak-kotak dan penuh prasangka. Karena itu dibutuhkah “ruang budaya” lintas politik, strata dan ideologi, menjadi “ruang bersama” untuk berdialog dalam suasana persatuan dan ke-Indonesian yang utuh dan toleran.
Sebagai tempat tamu negara dari berbagai bangsa, Istana menjadi media “diplomasi budaya”. Kekayaan seni dan budaya Indonesia yang memenuhi sudut Istana dijadikan alat oleh Soekarno untuk mengenalkan budaya dan “karakter bangsa” yang sedang dia bangun bersama seluruh rakyatnya.
Soekarno mampu menjelaskan tentang keragaman budaya, kekayaan alam, kuliner dan sejarah peradaban bangsanya, sebagai negara yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme kepada tamu-tamunya. Dengan datang ke Istana, para tamu dari manca negara yang menyaksikan suguhan tari, hidangan meja makan (rijsttafels), ukiran, lukisan dan patung yang memenuhi sudut Istana, seperti mendatangi seluruh Indonesia.
Diplomasi budaya ala Soekarno selain menunjukan karakter bangsa yang kaya akan keragaman budaya, juga untuk membedakan penyambutan ala pemerintah Barat yang menjadi seterunya. Bagi Soekarno, sambutan selamat datang dengan dentuman meriam dan suara genderang sangat memekakan telinga dan terasa kering secara budaya.
Soekarno juga sering mengundang para penari dan group kesenian dari daerah pentas di Istana. Tidak hanya tarian dan kesenian tradisional, Soekarno juga hobi menari lenso (dansa) dengan tamu-tamu negara. Duta besar Amerika dan istrinya adalah yang sering diundang menari lenso di Istana. Beginilah cara Soekarno menghadapi ketegangan relasi politik dengan Amerika di zamannya.
Soekarno juga menciptakan lagu. Berkoloborasi dengan Jack Lesmana pimpinan Orkes Irama, Soekarno menciptakan lagu Bersuka Ria sebagai pengiring tarian lenso kegemarannya. Meskipun lagu dansa, Soekarno tetap menyelipkan visi politik dalam liriknya; “Tukang sayur nama si salim/Menjualnya ke jalan lembang/Indonesia anti nekolim/ Para seniman turut berjuang”.
Sebagai pemimpin kerakyatan, Soekarno menciptakan suasana Istana yang inklusif. Demikian ramahnya Istana pada rakyat biasa ditunjukan dari cara Soekarno menerima mereka di Istana. Begitu inklusifnya, bahkan ada tiga akad nikah orang biasa yang diijinkan Soekarno di Istana. Salah satunya saat Soekarno menjadi wali nikah seorang pramugari cantik garuda di Istana Bogor.
Simbol Kekuasaan
Jagad kecil Soekarno di Istana mengalami perubahan dan runtuh dengan munculnya kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Fungsi Istana menyesuaikan dengan karakter kekuasaan Orde Baru yang primodial dan teknokratis. Fungsi Istana sebagai “ruang budaya” digantikan fungsi politik dengan acara kenegaraan yang formal dan resmi.
Istana kaku sebagai warisan pemerintahan Orde Baru mengalami desakralisasi dan perubahan seiring dengan arus reformasi. Paska Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berusaha mengembalikan Istana menjadi inklusif sebagai ruang budaya dan dialog. Meski kekuasaannya berumur singkat, Gus Dur yang juga dikenal sebagai budayawan dan tokoh NU ini mampu menghilangkan kesan kaku protokoler Istana.
Gagasan Istana insklusif sebagai ruang budaya kembali muncul ketika Presiden Jokowi dilantik menjadi Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014. Di hari pertamanya menjabat, ribuan rakyat dibolehkan masuk sambil berfoto menikmati halaman Istana. Keangkeran dan kekakuan Istana menjadi leleh seketika. Jarak antara istana dan rakyat melenyap.
Presiden Jokowi juga mengundang perwakilan rakyat dalam tiap upacara Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus di Istana. Upacara yang tadinya hanya mengundang perwakilan negara asing dan pejabat negara, tiba-tiba dihadiri ribuan rakyat biasa. Jokowi juga kerap mengundang para ulama, perwakilan nelayan, petani, buruh, mahasiswa, sopir gojek, taxi, bajaj, angkot, pedagang pasar, korban HAM, untuk bertemu dan berdialog di Istana.
Membuka ruang budaya di Istana adalah salah satu cara agar terjadi dialog dalam suasana lebih akrab dan manusiawi. Di tengah situasi perpolitikan yang dinamis di luar Istana, perlu sebuah ruang dimana kotak-kotak politik dan kepentingan dapat dibicarakan secara informal dan cair. Ruang budaya juga dapat menjadikan Istana semakin inklusif dan ramah bagi masyarakat.
Sebagaimana dimuat di Suara Pembaruan, Kamis, 9 Agustus 2018
Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (2015-2019).