“Jangan main-main dengan NU jika kamu ingin hidupmu penuh barokah,” kata seseorang kepadaku.
NU adalah ormas Islam yang didirikan oleh para Ulama Khos yang ada di Indonesia tahun 1926 lalu di Surabaya. Berdirinya NU tak luput dari ikhtiyar para Ulama yang sangat kuat. Sehingga selamanya, NU bukanlah menjadi ormas Islam ‘ecek-ecek’.
Selain untuk membentengi akidah Ahlussunnah Wal Jamaah dari paparan faham Wahabbi dari Arab Saudi, hadirnya NU di Indonesia juga sebagai langkah persatuan Ulama seantero negeri untuk ikutserta melawan kolonial Belanda dan Jepang yang menjajah kemanusiaan rakyat Indonesia.
Aswaja An-Nahdliyyah Membentengi Akidah
Geram dengan tragedi-tragedi yang terjadi di Timur-Tengah, yakni dengan mulai ditetapkannya Wahabbi sebagai Faham Islam secara resmi di negara Arab Saudi, pemboman, perusakan makam-makam para Sahabat Rosulullah SAW yang dianggap bid’ah dan syirik oleh kaum pengikut paham Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabbi) menjadi kekhawatiran besar para Ulama Sunni/Ahlussunnah Wal Jamaah dikala itu. Hadratussyaikh Kh. Hasyim Asy’ari dan para Ulama akhirnya bersepakat mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama sebagai benteng akidah Ahlussunnah Wal Jamaah dari tantangan globalisasi dan modernisasi serta menjaga kemurnian Aswaja dari penganut faham Wahabbi takfiri.
Tahun 1926 NU resmi menjadi salah satu ormasi Islam di Indonesia setelah Muhammadiyah, PERSIS dan Al-Irsyad. Ini adalah sebuah kabar bahagia untuk seluruh elemen bangsa, terutama orang-orang Muslim. Hadirnya NU tidak kemudian menafikkan budaya dan tradisi yang ada di Indonesia. Sebagaimana yang diajarkan para sesepuh dakwahnya (Walisongo), NU memegang teguh prinsip berdakwah dengan cara yang santun, menuntun, beradat serta beradab. NU berdakwah dengan berbaur dengan budaya daerah.
Dengan berlandaskan salahsatu prinsip dakwah “al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik), hingga saat ini dakwah Nahdlatul Ulama tidak pernah ditolak masyarakat. Dakwah NU selalu didukung oleh masyarakat karena sangat mengedukasi dan menenteramkan hati. Bahkan NU telah membuka cabang-cabang Istimewa (PCINU) di luar negeri tanpa penolakan dari pihak pemerintah negara yang bersangkutan. Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa dakwah NU selalu didukung dan dipercaya oleh sebagian besar rakyat Indonesia hingga dunia, bahkan warga non-muslim sekalipun. Karena dakwahnya (NU) yang penuh kasih sayang dalam lingkup keislaman, kemanusiaan, kebhinnekaan dan kebangsaan.
Mereka sering mengatakan, “NU iku Nguri-uri, Nentremke, Ngayomi, Ngrawat lan Ngruwat Umat”.
Peran NU dalam Kemerdekaan RI
Saya mengutip dari buku karya M. Ali Haidar yang sering saya baca dan sangat menarik isinya. Di buku itu tertulis bahwasanya menjelang kemerdekaan terjadi perdebatan yang sengit dalam sidang-sidang BPUPKI, khususnya mengenai dasar negara dalam rangka menyusun UUD. Setidaknya ada dua pihak yang menghendaki Indonesia menjadi Negara Islam atau dasar negara adalah Islam; sementara di pihak lain berpendirian bahwasanya Indonesia harus menjadi negara kesatuan Nasional yang memisahkan soal agama dan negara.
Hasil kompromi ‘Panitia kecil’ dicapai oleh panitia BPUPKI yang terdiri atas sembilan orang (atau dikenal dengan istilah Panitia Sembilan). Piagam Jakarta yang mereka (Panitia Sembilan) bentuk tidak berhasil diterima dalam sidang. Perdebatan semakin memanas. Akhirnya dengan kebesaran hati sejumlah pemimpin nasionalis Muslim antara lain Wachid Hasyim, Kasman Singodimejo dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Bung Hatta menjelang sidang PPKI (18 Agustus 1945), disepakatilah perubahan anak kalimat dalam Piagam Jakarta dari konstitusi. Sila pertama yang dirubah awalnya berbunyi,”ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sebagaimana tertera dalam teks Pancasila sila pertama).
Walaupun ketika itu telah diyakini bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila pada hakekatnya mencerminkan asas Tauhid dalam Islam, namun masalah dasar mengenai kedudukan negara dalam Islam dan sebaliknua belumlah dianggap final. Dalam Konferensi Alim Ulama yang diselenggarakan oleh Kemen-Ag tahun 1952-1954 msmutuskan bahwasanya kekuasaan zu-syawkah (de facto) dengan sebutan waliyy al-amr al-daruri bi al-syawkah (pemegang kekuasaan de-facto). Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan tidak mungkin membangun kekuasaan politik sendiri untuk menjalankan hukum Islam di dalam NKRI. Maka kekuasaan yang zu-syawkah tersebut diterima dalam keadaan tidak ada pilihan (daruri).
Jauh sebelum itu, dalam muktamar NU 1936 di Banjarmasin, telah ditetapkan bahwa daerah Jawa dalam artian Nusantara adalah dar al-Islam.
Beberapa peristiwa diatas menunjukkan sikal NU tentang pemerintah dan NKRI. Sejak Muktamar Banjarmasin 1936 sampai penerimaan asas tunggal Pancasika 1984, NU msmperlihatkan garis pemikirannya secera linear. Sejak tahun 1936, NU telah menegaskan bahwa wilayah Nusantara adalah dar al-Islam (Negeri Muslim). Oleh karenanya, sudah merupakan tanggungjawab umat muslim untuk mempertahankan wilayah Nusantara dari para penjajah (dikala itu) dan pemberontak negara (saat ini).
Pada proklamasi kemererdekaan 17 Agustus 1945, NU turut pula menyepakati Pancasila sebagau dasar negara. Kembali saya mengutip tulisan ini, “Hakekatnya orang berasas Pancasila karema kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan orang berakidah Islam adalah sebagai tindakan nyata mengkongkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yakni kehidupan beragama. Hubungan antara agama dengan Pancasila adalah hubungan yang saling mengisi”
(Dikutip dari buku karya M.Ali Haidar “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalak Politik; halaman 4-10).
Beberapa peristiwa yang saya tuliskan diatas semoga semakin memperkuat dan memperteguh komitmen ke-NU-an kita.
Setelah peristiwa kemerdekaan Indonesia usai dikumandangkan oleh sang Proklamator, NU kembali menjadi bahan bulliying para pendengkinya. Hingga saat ini, tak terhitung sudah ada banyak ormas yang hendak menyingkirkan NU dari NKRI. Salah satunya adalah Masyumi dan kini HTI, kebanyakan mereka telah mendapatkan ‘balasan’ dari apa yang mereka perlakukan kepada NU, mereka telah bubar dan bahkan dibubarkan.
Benar kata seorang kawan kepada saya, “Siapa yang berani dengan NU akan hancur atau dihancurkan. Mereka tidak akan bertahan lama dan tidak akan pernah dibiarkan tahan lama. NU adalah Ormas Sakti tanpa guna-guna,”.
NU merupakan Ormas Islam sekaligus wadah persatuan bagi Ulama seantero-negeri yang penuh dengan barokah. NU mampu berbaur dengan siapapun dan dimanapun tanpa menghilangkan jati diri ke-NU-annya. Selama kurang lebih 95 tahun, NU sangat dipercaya sebagai organisasi ‘Benteng Aswaja dan NKRI’. Oleh karenanya, siapa yang bermain-main dengan Aswaja dan NKRI, NU siap paling depan membela keduanya sebagai pembuktian rasa syukur dan kecintaan NU yang besar kepada agama, bangsa dan negara.
Yaa Jabar ya Qohar
Siapa yang berani memusuhi NU, main-main dengan NU akan kualat dengan sendirinya. NU ormas sakti tanpa guna-guna, namun penuh barokah dan do’a para Ulama. Jayalah NU, jayalah Islam Aswaja, jayalah Indonesia !!
Aswaja dan NKRI Harga Mati!
MA Ma’arif Borobudur, dan
Anggota Jamaah Kopdariyah Magelang