Januari 1978 mahasiswa Indonesia bergolak. Mereka menuntut Pak Harto mundur dari pencalonan Presiden. Aparat Keamanan bertindak keras dengan menangkap para mahasiswa dengan tuduhan melakukan tindakan subversif.
Januari, bulan kelam bagi dunia kemahasiswaan di Indonesia. Para aktivis mahasiswa tanah air merasakan tindasan sewenang-wenang dan tindakan kekerasan aparat pemerintah Orde Baru di bulan awaal tahun itu. Bulan Januari 1978, 232 mahasiswa ditangkap dan 17 non-kampus jadi tahanan penguasa.
Penangkapan ratusan mahasiswa dan aktivis itu terjadi di seluruh kota-kota besar di Indonesia di bulan Januari 1978 dan bulan Februari. Januari memang menjadi sejarah kelam bagi aktivis mahasiswa. Ratusan mahasiswa baik intra kampus dan ekstra kampus di kota besar diburu dan ditangkap oleh aparat kemanan. Dan Pasca perburuan mahasiswa itu berakhir, Dewan Mahasiswa pun dibubarkan oleh penguasa Orde Baru
Awalnya Kas Kopkamtib Laksamana Sudomo melaporkan telah menahan sebanyak 143 orang mahasiswa dan non-kampus sebanyak 15 orang. Perburuan terhadap para mahasiswa kemudian dilakukan lagi sepanjang Januari dan Februari, hingga jumlah mahasiswa yang ditangkap atas instruksi Kobkamtib seluruhnya sebanyak 232 aktivis mahasiswa dari berbagai kota dan 17 orang non-kampus.
Penangkapan itu dilakukan karena informasi yang dihimpun oleh pihak Komkamtib pada tanggal 21 Januari 1978, para aktivis mahasiswa akan melakukan demonstrasi besar-besaran di seluruh kota di Indonesia, pusatnya di Jakarta. Demonstrasi itu akan menuntut agar Pak Harto tidak dicalonkan kembali oleh MPR sebagai Presiden untuk periode ketiga.
Setelah mendengar desas-desus itu aparat kemanan melakukan pemburuan dan penangkapan terhadap seluruh elemen aktivis mahasiswa baik ekstra maupun intra kampus. Tindakan itu dilakukan untuk membungkam suara protes mahasiswa, dan menghentikan demonstrasi besar-besaran. Dengan alasan demonstrasi mahasiswa itu dapat mengganggu jalannya perhelatan besar bangsa Indonesia yaitu sidang umum MPRS tahun 1987.
Pihak Komkamtib sendiri secara resmi melaporkan kepada publik melalui media massa, bahwa pihaknya telah melakukan penangkapan terhadap ratusan mahassiswa dan 17 non-mahasiswa di seluruh Indonesia. Dengan alasan mereka mencium gelagat adanya “revolusi” dengan kekerasan yang akan dilakukan oleh para aktivis mahasiswa. Selain itu mereka menuding ada pihak-pihak tertentu diluar kampus yang “menunggangi” renca pengerahan massa demonstrasi mahasiswa itu. Untuk antisivasi adanya penyusupan terhadap demonstrasi mahasiswa itu, aparat keamanan bertindak cepat dengan memburu dan menangkap para pentolan mahasiswa di kampus-kampus.
Bahkan Sudomo waktu itu Pang. Komkamtib membuat pertanyaan resmi, pemburuan dan penangkapan mahasiswa itu terpaksa dilakukan pihanyaa untuk mencegah peristiwa Malari terulang kembali. Mereka (para aktivis mahasiswa) menurut Sudomo, telah merencanakan akan meledakkan gerakan pada tanggal 21 Januari dengan mengorganisir juga para pelajar SLTP dan SMA. Demikian keterangan Sudomo yang dilansir majalah Tempo, 4 Februari 1978.
Sebelum perburuan dan penangkapan para mahasiswa, pihak Komkamtib telah melarang 5 koran nasional, Merdeka, Kompas, Sinar Harapan, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi. Koran dan majalah mahasiswa yang dikelola Dewan Mahasiswa pun turun menjadi korban pemberangusan yaitu Salemba (UI), Tridharma (IKIP Jakarta), Kampus, Bereita ITB (ITB), Integritas dan Muhibah (UII) Yogyakarta), dan Aspirasi. Pembredelan itu dilakukan untuk membungkam suara-suara publik yang sekiranya dapat dijadikan kampanye para aktivis mahasiswa untuk menggerakkan demonstrasi di kota-kota besar.
Menurut pengakuan Komkamtib selain ketakutan koran-koran itu menjadi corong mahasiswa, ada kabar burung yang liar berseliweran bahwa ada beberapa jederal yang ditahan Kobkamtib, Kabar burung kemudian tersiar melalui radio Australia, mereka yang digosipkan ditahan itu, Lentjen Kemal Idris, HR Dharsono, dan Ali Sadikin. Kemudian pihak Komkabtib membantah gosip tersebut. (Tempo, 14 Januari 1978). Bersamaan dengan tersiar kabar atau gosip penangkapan para jenderal itu, berhembus kabar dan desas-desus menggerayangi Ibu Kota, Jakarta bahwa akan terjadi kup (perebutan kekuasaan), desas-desa itu dibantah oleh Laksamana Sudomo.
Pihak penguasa sangat khawatir dengan situasi yang memanas menjelang sidang umum MPR bulan Maret tahun 1978. Para mahasiswa telah mengkonsolidasikan diri untuk mengadakan apel bersama menentang pencalonan Pak Harto. Dalam laporan di sidang DPR RI, Menhankam , Jenderal M. Pangabean melaporkan tentang situasi yang dinilai mengganggu keamanan negara. Dia menegaskan pihaknya mencium ada serentetan kegiatan, gerakan, dan pernyataan dari sekelompok masyarakat tertentu secara sistematis dan terprogram untuk menciptakan semacam “situasi revolusioner”. (Angkatan Bersenjata, 31 Januari 1978).
Gerakan itu disinyalir pihak keamanan akan mengerahkan mahasiswa dan kekuatan-kekuatan diluar untuk melancarkan aksi turun ke jalan tanggal 21 Januari 1978 di kota besar di Indonesia yang kemungkinan akan menimbulkan kekacauan yang sulit diatasi. (Angkatan Bersenjata, 31 Januari 1978). M. Pangabean mengklaim alat keamanan negara mendapatkan bukti-bukti tersebut.
Dalam buku “Menanteng Tirani, Aksi Mahasiswa 77/78 mengjelaskan, bahwa memang para aktivis mahasiswa terutama yang dikomandoi oleh Dewan Mahasiswa merencanakan menggelar Apel Siaga di Jakarta. (Edy Budyarso: 2000, 195). Apel siaga mahasiswa itu akan digelar tepat pada tanggal 21 Januari 1978 bertempat di kampus UKI Cawang Jakarta. Penetapan tempat Apel Siaga sempat menjadi perdebatan seru, karena kampus UKI sangat berdekatan dengan Markas Kodam Jaya, sehingga para peserta rapat mencurigai ada jebakan batman dalam penentuan tempat tersebut. (Edy Budyarso: 2000,195). Namun keputusan sudah diambil dan semua peserta rapat menyepakati, dan benar saja ketika apel itu belum digelar para mahasiswa sudah digaruk masuk truk tentara. Tanggal 20 januari Diskusi mahasiswa digelar Fakultas Ekonomi UI digerebek sepasukan tentara, sebagai warning kepada para aktivis mahasiswa Jakarta, akan ada pemburuan besar terhadap mahasiswa di Ibu Kota.
Aparat keamanan selanjutnya memburu dan menangkap para aktivis mahasiswa sepanjang bulan Januari. Kampus-kampus di Jakarta menjadi sasaran penggeledahan dan penyisiran anggota-anggota aparat keamanan. Bahkan penggeledahan dan perburuan mahasiswa dilakukan aparat keamanan sampai ke tempat kost-kostan mahasiswa.
Penangkapan terhadap para aktivis Dewan Mahasiswa dilakukan serentak di sejumlah kota. Bukan hanya hanya para aktivis mahasiswa di Dewan Mahasiswa saja, aparat keamanan juga membekuk para aktivis mahasiswa ekstra kampus yang tergabung dalam HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan GMKI. Penindasan terhadap mahasiswa itu dilancarkan di Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya, Semarang, Ujung Pandang, Yogyakarta, dan Medan.
Di Jakarta aparat keamanan menggerebek kegiatan diskusi mahasiswa yang diselenggarakan malam hari tanggal 20 Januari di Kampus UI. Aparat keaman menangkapi beberapa pengurus Dewan Mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut. Tapi sayang buruan utama mereka tidak ditemukan di arena kegiatan diskusi yaitu Ketua Dewan Mahasiswa UI, Lukman Hakim, dan pengurus lain, Bram zakir (Wakil Ketua Dema UI), Jo Rumeser (Sekretaris Jenderal Dema UI), Doddy Chusniadi Suriadiredja, Soekotjo Soeparto. Kemudian mereka menyerahkan diri melalui Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono setelah beberapa bulan kemudian.
Saat bersamaan aparat keamanan malam-malam buta mensweeping dan menangkap mahasiswa di kampus lain. Taufiq Ahmad Ketua Dewan Mahasiswa STTN (sekarang ISTN) ditangkap di kediamannya. Ia dibekuk aparat keamanan ketika sedang mengetik naskah pidato untuk acara apel siaga esok hari tanggal 21 Januari.
Dari Kampus IKIP Rawamangun, Jakarta, aparat keamanan mendapatkan buruannya. Mereka yang ditangkap adalah Ketua Dewan Mahasiswa, Hudori Hamid, dan pengurus Dema Sulaeman Hamzah. Drs. Arif Rahman turun menjadi korban aparat keamanan di bulan Januari itu.
Laksusda Jaya kemudian menangkap pula para aktivis pergerakan mahasiswa ektra-kampus yang tergabung dalam Kelompok Cipayung. Mereka yang ditangkap itu ialah, Achmad Bagdja (Ketua Umum PB PMII dan mantan Ketua Dema IKIP Jakarta), Chumaidi Syarif Romas (Ketua PB HMI), Charles Killian (Sekretaris HMI Jakarta), Tony Woworuntu (Sekjen GMKI), Kris Siner Key Timu (mantan Ketua Umum PP PMKRI), dan Poly Carpus Da Lopez (PMKRI) dan lain-lain.
Para aktivis mahasiswa itu kemudian ditahan di tahanan “Kampus Kuning”. Sebuah tahanan berupa konflek perumahan tentara Batalyon 202 Tajimalela di kawasan Rawalumbu, Bekasi Selatan,
Aparat kemanan juga menyasar para aktivis mahasiswa di Kota Bandung, sepanjang bulan Januari – April 1978, aparat keamanan Laksusda Jawa Barat menangkap 58 orang mahasiswa. Para aktivis mahasiswa yang ditangkap adalah Iskadir Chotob (Ketua Dewan Mahasiswa Unpad), Lala Mustapa, Jhoni Sinaga (Unisba), Iwan Mucipto (Unpar), A. A. Tarsono (Uninus), Dodi Rudianto (ITT), Teuku Iskandar (Atenas). Namun aparat keamanan tidak berhasil mendapatkan buruannya, yaitu Heri Ahmadi (Ketua Dewan Mahasiswa ITB).
Aparat Laksusda Jabar tidak tinggal diam terus mengintai, memburu, menyisir, dan kemudian menangkap buruannya. Rizal Ramli salah seorang aktivis yang diburu aparat, mengalami nasib sial dicokok aparat ketika berada di Asrama mahasiswa Rumah F, Jalan Ganesha. Rizal Ramli waktu itu datang ke asrama dengan santai tanpa curiga, ia merasa situasi kampus sudah mulai aman. Ternyata perhitungannya salah, aparat keamanan tidak ampun lagi menangkap dirinya.
Untuk melumpuhkan perlwanan mahasiswa Bandung, terutama di Kampus ITB, aparat keamanan tidak segan-segan menggunakan orang-orang sipil bersenjata golok untuk show of forces. Kampus ITB itu semakin mencekam. Dalam situasi seperti itu Rektor ITB Prof. Dr. Iskandar Alisyahbana diturunkan dari kedudukannya. Situasipun semakin menekan para aktivis mahasiswa, akhirnya Heri Ahmadi yang jadi target utama penangkapan Laksusda, ia menyerahkan diri. Penyerahan diri Ketua Dema ITB itu dilepas oleh ratusan mahasiswa yang melakukan apel bersama di kampus yang di jaman Belanda bernama THS itu.
Aparat keamana semakin bernafsu untuk melakukan perburuan terhadap aktivis mahasiswa. Di Bogor aparat keamanan menyasar kampus IPB, di Baranangsiang. Mereka menangkap Farid Rasyid Faqih (Ketua Dema IPB non-aktif karena sedang mengikuti KKN) tanggal 23 januari. Setelah penangkapan Farid, Aparat Keamanan terus melakukan penangkapan terhadap Asep Saefuddin Sekretaris Jenderal dan PJs. Ketua Dema IPB. Dia ditangkap di Asrama Valesia, Jalan Sumupur No. 20. Berikutnya aparat keamanan menggelandang para fungsionaris Dema IPB, Indra Adil, Suryo Adiwibowo, Agus Supriyono, dan Hadi Winarno. Para aktivis Dewan Mahasiswa IPB itu kemudian digelandang aparat keamanan ke kantor Laksusda Jawa Barat, untuk dilakukan pemeriksaan intensif.
Akhir dari perburuan mahasiswa dan para aktivis mahasiswa itu, upaya pengamanan terhadap sidang umum MPR. Penguasa Orde Baru lebih jauh ingin membungkam secara permanen suara-suara kritis dari kampus. Dewan Mahasiswa organisasi mahasiswa tertinggi di dalam kampus pun dibubarkan penguasa.
Dosen UBK Alumni S2 UNUSIA Jakarta