SERIKATNEWS.COM – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berserta Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) terus berupaya melestarikan cagar budaya, salah satunya revitalisasi museum.
Saat ini ada dua langkah yang dilakukan, berupa penggelontoran dana bagi 111 museum melalui dana alokasi khusus (DAK) dan kelembagaan museum sebagai badan layanan umum (BLU).
“Upaya pelestarian cagar budaya diantaranya revitalisasi museum saat ini ada inisiatif prakarsa baru untuk seluruh museum negeri, yakni museum yang dikelola pemerintah daerah maupun museum yang dikelola pusat. Terdapat sekitar 111 museum tersebut yang akan mendapat Dana Alokasi Khusus atau DAK di 2019,” kata Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid di Jakarta, Sabtu (20/10).
Menurut Hilmar, revitalisasi museum tidak hanya berupa fisik, tetapi juga program kemuseuman. Langkah tersebut dengan pertimbangan masalah museum tidak sekadar kesiapan sarana dan prasarana.
“Maka kita harap dengan DAK akan muncul inovasi dalam pengelolaan. Direncakan anggaran DAK diberikan Rp1 miliar per museumnya,” ujar Hilmar.
Langkah kedua, berupa kelembagaan menjadikan museum sebagai badan layanan umum (BLU) seperti layanan di rumah sakit.
“Dengan menjadi BLU akan ada otonomi dalam pengelolaan. Rancangan BLU masih dimatangkan bersama Kemeneterian Keuangan yang akan memutuskan apakah pengelolaan museum menjadi BLU diperbolehkan,” imbuh Hilmar.
Dengan menjadi BLU, kata Hilmar, pengelolaan keuangan museum dapat menerapkan tarif yang dapat digunakan untuk pengembangan pelayanan kepada pengunjung. Selain itu, museum akan menjadi lebih terbuka seperti rumah sakit yang dapat merekrut dokter ahli tanpa menunggu perekrutan dalam skema calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Ketua Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Wiwin Djuwita Ramelan mengutarakan selama ini masih ditemukan pelestarian cagar budaya berbentuk bangunan keseharian.
Bangunan tersebut masih digunakan yang sesuai fungsi asalnya maupun dimanfaatkan untuk fungsi lain memiliki permasalahan sangat kompleks. Ia mencontohkan dalam bangunan perkantoran.
“Pada satu sisi, pemilik atau pengelola memperlakukan bangunan kantor sebagai aset yang fisiknya harus selalu mengikuti kebutuhan bisnis . Di sisi lain pemerintah memperlakukan bangunan tersebut sebagai aset budaya yang harus dijaga keotentikannya,” ungkap Wiwin.
Menurutnya, peninggalan budaya itu harus dijaga nilai-nilai pentingnya seperti tercermin dari fisik atau arsitekturnya. Perbedaan sudut pandang ini seringkali menimbulkan konflik antara pemilik atau pengguna atau pengelola dengan pemerintah.
“Haruskah kita terus menerus berseberangan tanpa kompromi?” ujar Wiwin.
Wiwin berpendapat Undang Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU-CB) seharusnya dapat menjembatani permasalahan tersebut.
Ia mencontohkan Pasal 1 menyebutkan bahwa adaptasi adalah upaya pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini.
Caranya dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Dengan demikian, dibutuhkan peraturan pemerintah dan peraturan yang sifatnya lebih teknis, berupa peraturan menteri.
“Kita harus sabar menunggu peraturan pemerintah atau peraturan menteri tentang pelestarian cagar budaya agar terjadi harmonisasi,” katanya.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.