Panca indera dan anggota tubuh kerap mewakili sosok pemiliknya, bahkan justru yang paling dominan. Anthony Robin, dalam bukunya Unlimited Power, menulis bahwa tingkat penyerapan dari komunikator ke komunikan 7% lewat kata-kata, 38% lewat moda suara dan 55% lewat BAHASA TUBUH (Sydney: Simon & Schuster, 1988, 233).
Dalam minggu terakhir ini, paling tidak ada tiga berita yang menyeruak di depan mata kita, khususnya netizens. Pertama, kasus kata ‘matamu’ yang mencuat dari cuitan Buwas berkenaan dengan kasus impor beras yang diketok Enggartiasto Lukito. Kedua, konferensi pers Yenny Wahid berkenaan dengan dukungannhya dalam pilpres 2019. Ketiga kasus ‘pencekalan’ Habib Rizieq Shihab oleh imigrasi Arab Saudi saat ingin menyelesaikan disertasinya ke Malaysia. Ali Mochtar Ngabalin, tenaga ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden ini minta pihak yang menunduh pemerintah tidak melindungi warga negara Indonesia di negera asing untuk tunjuk langsung. “Supaya tidak menjadi fitnah, saya harap Damai Hari Lubis dari GNPF-Ulama untuk langsung saja tunjuk hidung pihak-pihak mana yang beliau maksudkan ingin mencelakakan dan menzalimi HRS, sebab pernyataan ini bisa membuat sesat dan menyesatkan publik khususnya umat islam Indonesia,” ujar Ngabalin di sebuah media online.
Memaknai Kata Mata
Di hadapan mahasiswa saya—baik mata kuliah bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris—saya mengatakan agar mereka cermat membedakan antara ‘denotasi’ dan ‘konotasi’ yaitu antara yang ‘tersurat’ dan ‘tersirat’. Kata ‘mata’ dan juga ‘matamu’ sebenarnya masuk dalam ranah netral. Bisa dipakai untuk hal yang positif, misalnya saja, “Matamu indah sekali, sayang.” Bisa sebaliknya sangat kasar, “Matamu kau taruh di mana?”
Perbedaan keduanya lebih kentara lagi saat diucapkan. Nada, tempo, warna suara dan ekspresi wajah, apalagi ditambah bahasa tubuh, membuat maknanya terang benderang. Meskipun cuitas Buwas memakai bahasa tulis yang menghilangkan unsur-unsur tadi, kita masih bisa menafsirkan kata ‘matamu’ yang diucapkannya masuk yang mana.
Warganet pun beragam tanggapannya. Sebagian merasa kata itu terlalu keras dan terkesan kurang sopan, apalagi jika dihubungkan dengan unggah-ungguh dalam berbahasa. Namun, warganet yang lain justru mendukung karena kebenaran harus disuarakan dengan jelas. Sikap abu-abu justru terkesan cari aman dan cari muka.
Ucapan Budi Wasesa—yang memamg terkenal tegas tanpa kompromi—mengingatkan saya kepada dua tokoh. Yang pertama, siapa lagi kalau bukan Ahok. Kata-kata seperti ‘Emak Lu’ dan ‘Bajingan’ begitu spontan keluar dari mulutnya. Ucapan semacam itu memang tidak sepatutnya keluar dari bibir pejabat publik, apalagi dengan jabatan setinggi itu. Namun, yang pro pun beranggapan bahwa kejahatan besar memang perlu dihadapi dengan ucapan yang to the point. “Jika tidak dibegitukan, tetap ndableg,” alasan orang itu. Maling ayam saja dibakar hidup-hidup, masa maling uang negara diperlakukan dengan sopan?
Orang kedua yang saya kenal dan saya kagumi adalah Bu Risma, walikota Surabaya. Caranya memarahi anak buahnya yang begitu keras tanpa basa-basi sempat viral di media sosial. Jejak digitalnya masih bisa dilacak sampai detik ini. Seperti Ahok, Bu Risma marah agar anak buahnya berubah. Namun, saat saya berjumpa secara pribadi dengan Bu Risma, orangnya hangat kok. Saya bersama dua sahabat pernah dijamu makan siang oleh salah satu walikota terbaik dunia ini.
Bagaimana dengan ‘mata Najwa’? Boleh dibilang, inilah acara talkshow yang nangkring di ‘top of the mind’ saya, dibandingkan misalnya dengan acara sejenis yang lebih senang mengumbar bahkan melakukan pembiaran para narasumber saling serang tanpa ditengahi dengan bijak.
Di mata saya, mata Najwa—dalam arti harafiah—menunjukkan kecerdasan sekaligus kelembutan seorang wanita. Modal yang luar biasa untuk menjadi host sepopuler itu. Saya sering geli sekaligus ‘kasihan’ melihat narasumber di Mata Najwa gelagapan saat ditatap dengan mata dan lidah Najwa yang tajam menghunjam. Bagi saya, inilah karakteristik ‘emak-emak’ sejati. Saya memakai istilah ‘emak-emak’ di sini dalam konotasi penuh hormat.
Memaknai Senyuman
Masih di acara ‘Mata Najwa’, masih terbayang di pelupuk mata saya saat Yenny Wahid ‘menyerang’ narasumber lain dengan ucapan yang tajam tapi dengan senyuman tersungging di bibirnya. Saat seorang narasumber menyinggung kegaduhan yang panas di tanah air, Zannuba, nama lain Yenny, berkata, kira-kira begini, “Partai kalian yang memulai ya kalian jugalah yang mengakhiri.” Cerdas. Skak mat!
Setiap kali Yenny Wahid diwawancarai, saya selalu mengikutinya dari awal sampai akhir. Mengapa? Karena jawaban penyandang gelar master dari Harvard‘s Kennedy School of Government ini begitu cerdas sekaligus bijak. Sangat kontras dengan mereka yang cerdas namun culas. Yang satu oke banget. Yang lain oke ngoceh.
Saat memberikan konferensi pers tentang dukungannya kepada Jokowi-Ma’ruf di pilpres mendatang, senyum Yenny Wahid meskipun tipis tidak mengurangi ketebalan hatinya. Nancy De Wolf Smith, di makalahnya di The Wall Street Journal, bahkan menulis demikian: “Yenny Wahid has a smile that could melt a Hershey bar at 100 yards.” Saya yang pernah menikmati coklat gratis di Hershey’s Chocolate World di Times Square New York bersama keluarga, bisa membayangkan betapa dahsyatnya senyuman Yenny yang bisa melumatkan coklat legendaris itu dari jarak 100 yard hanya dengan senyumannya.
Senyuman, menurut pepatah yang pernah saya baca, memang bisa meluruskan segala sesuatu yang bengkong.
Memaknai Telunjuk
Di kantor saya, ada aturan tak tertulis yang meminta setiap karyawan untuk memakai telunjuknya dengan bijak. Artinya, jika menunjuk ke orang, seharusnya memakai seluruh jari. Karena pernah bertugas di Jogja selama puluhan tahun, saya tahu cara sopan untuk mengarahkan seseorang ke tempat tertentu, misalnya tempat duduk.
Lalu bagaimana dengan istilah ‘tunjuk langsung’? Kalau yang ini saya setuju dengan Ngabalin. Ketimbang melemparkan fitnah yang tidak jelas arahnya, bukankah lebih baik menunjuk hidung seseorang secara langsung. Sikap ini jelas lebih gentleman. Dengan demikian, yang ditunjuk bisa menampakkan batang hidungya dan bertarung secara jantan. Tentu saja di arena resmi: misalnya, pengadilan. Kalau ternyata keliru, ya minta maaf. Pintu maaf memang seharusnya terbuka bagi orang yang sungguh-sungguh mengetuknya.
Mari kita gunakan mata, bibir dan jari kita secara bijak agar kita tidak lupa tempat berpijak.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa