Kelompok militer selalu menjadi pihak yang diwaspadai dalam suatu negara dengan sistem demokrasi. Di banyak negara, militer “dipergunakan” untuk membangun kekuasaan dan mempertahankannya. Bahkan pada suatu era di Uganda, pihak militer sendiri yang mengambil alih kekuasaan.
Dalam sebuah tayangan dokumenter National Geographic disebutkan tentang bagaimana Idi Amin menggunakan kekuatannya sebagai petinggi militer untuk mengambil alih kekuasaan Uganda. Bukan itu saja, demi mempertahankan kedudukan ia melakukan pelbagai cara kekerasan, termasuk menyiksa dan membunuh penduduk Uganda yang dianggap akan mengancam dirinya. Ia mempergunakan posisinya sebagai militer untuk mewujudkan hasratnya berkuasa, meski ia tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Ia sebenarnya hanya memiliki ambisi untuk berkuasa, membuat orang lain tunduk di bawahnya dengan cara-cara represif, sehingga ia tidak mendapatkan apapun selain ketakutan bahwa ada yang lebih kuat dan akan menjatuhkan dirinya.
Baca Juga: Freeport dan Polemik Kaum Pesimis
Hal seperti ini juga pernah terjadi di bagian manapun di dunia, termasuk juga di Indonesia. Kita bisa melihat saat-saat seorang oknum yang hampir dipecat salah satu Jenderal kepercayaan Ir. Soekarno, malah kemudian mengorkestrasi suatu insiden menjadi titik balik baginya untuk menduduki jabatan tertinggi di negara ini. Selama puluhan tahun ia menciptakan selubung kedamaian yang menutupi keresahan, ketakutan, teror tahunan bagi masyarakat. Jangan pernah bersuara miring tentangnya kalau anda tidak mau di “petrus” kan.
Meskipun kita juga pernah mengalami kenangan kurang mengenakkan tentang militer, bukan berarti institusi tersebut serta merta menjadi ancaman. Kita harus memposisikan pihak militer sebagai suatu institusi dengan garis komando yang kaku dari atasan ke bawahan. Garis komando tersebut tidak bisa dipertanyakan, dan setiap perintah mutlak harus dilakukan. Hal ini penting mengingat peranan militer sebagai penjaga negara, sehingga loyalitas dan kepatuhan tanpa tanda tanya seorang anggota militer pada atasannya adalah suatu keniscayaan.
Bayangkan apa yang terjadi bila seorang prajurit memiliki ambisi yang bertentangan dengan atasannya. Mungkin tak perlu kita terlalu membayangkan, tapi lihat saja bagaimana sejarah Indonesia menorehkan pembangkangan seorang oknum pada atasannya, yang kemudian ditutupi dengan dalih kudeta oleh partai terbesar pendukung Presiden. Lantas kemudian diikuti oleh pembunuhan massal yang meliputi tokoh masyarakat, para pengajar, masyarakat biasa, wanita dan anak-anak. Semuanya hanya demi membalaskan dendam dan memenuhi birahinya untuk berkuasa.
Penyelewengan kekuasaan dalam militer sebenarnya hanya dilakukan oleh para oknum, bukan oleh institusi militer itu sendiri. Ketika seorang oknum memiliki jabatan, seperti yang sudah disebutkan di atas, maka ia memiliki kekuasaan untuk mengendalikan, memobilisasi, dan mengorkestrasi kekuatan mil iter demi kepentingan pribadi. Apalagi, kalau oknum tersebut telah membuat “pencitraan” bahwa dirinya adalah pahlawan, meski kejadian sebenarnya sangat bertolak belakang.
Kekuatan militer paling baik dikendalikan oleh para petinggi militer yang memiliki akal sehat, ambisi yang terjaga hanya untuk melindungi negara dan penduduknya. Mereka yang menjadi komandan-komandan hanya untuk mengendalikan anak buah dalam bertugas di garis-garis perbatasan, itulah militer yang berdedikasi. Mereka yang merancang strategi pertahanan keamanan dengan kerjasama tim kabinet pemerintahan, tanpa berniat untuk mengambil alih kuasa pemerintahan itu sendiri, itulah militer yang berintegritas.
Di Indonesia, sejarah militer menorehkan nama-nama pemimpin militer yang berdedikasi dan berintegritas tinggi. Sebut saja bapak militer Indonesia pertama, Jenderal Soedirman. Kalau mau, beliau bisa saja mengambil alih negara Indonesia dari tangan sipil Ir. Soekarno dan menunjukkan pada dunia bagaimana kekuatan militer Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh Jenderal Soedirman karena beliau menghormati kepala negara yang berdaulat. Beliau menghormati keputusan-keputusan pemerintah dalam pelbagai perundingan, meskipun bertentangan dengan perhitungan dan pemikirannya.
Di era Joko Widodo, militer pun bekerjasama dalam satu kesatuan dengan pemerintah untuk mewujudkan stabilitas keamanan dalam negeri. Tidak sedikit para purnawirawan militer yang berkarya bakti dalam kabinet pemerintahan: Luhut Binsar Pandjaitan, Ryamizard Ryacudu, Wiranto, Agum Gumelar, Subagyo Hadi Siswoyo, Yusuf Kartanegara, Djoko Setiadi, dan Moeldoko. Dengan keahlian di bidang militer, mereka menempati pos-pos strategis di dalam kabinet. Alih-alih menjadi momok menakutkan bagi pemerintahan, militer malah menjadi aset untuk menciptakan kondisi keamanan dan sosial yang kondusif bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai contoh kinerja militer, Jenderal Moeldoko merambah di antara para pengguna media sosial dengan informasi-informasi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini sejalan dengan tugas beliau sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) yang bertindak sebagai semacam personil yang menangani keluhan-keluhan di masyarakat dan memberikan jawaban-jawaban yang lugas. Hal yang paling menonjol dalam peranan Moeldoko adalah ketika beliau mengantisipasi ketakutan atas terorisme di dalam masyarakat dengan sumbang saran beliau untuk pengaktifan Pasukan Gabungan Khusus Penanggulangan Teror.
Para purnawirawan ini bekerja mendukung kinerja pemerintah dengan fokus hanya untuk kesatuan NKRI dan kemaslahatan bersama. Hampir tidak ada terdengar kisruh dalam kabinet Joko Widodo yang melibatkan perebutan pamor antara satu orang dengan orang lainnya, apalagi di antara purnawirawan militer.
Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dapat terbina di antara orang-orang yang memiliki integritas tinggi, loyalitas terhadap NKRI dan seluruh warga negaranya.
Mereka yang memiliki visi misi yang sama sehingga mampu menekan egoisme untuk berusaha menemukan solusi, alih-alih membentuk kubu-kubu yang saling bertentangan.
Kita membutuhkan orang-orang yang memiliki kinerja yang sama baiknya dan saling melengkapi dalam tugas-tugas kenegaraan. Bukanlah tidak mungkin bahwa seorang purnawirawan militer dapat mendampingi seorang sipil. Dynamic duo dapat terbentuk ketika Presiden yang berdedikasi tinggi dalam kerja kerasnya dalam membangun bangsa disokong oleh strategi-strategi militer untuk mengaplikasikan visi dan misi secara efektif dan efisien.