Malaysia dan Singapura terkenal bukan saja surga belanja khususnya fashion melainkan makanan murahnya. Saat bertugas di negara singa ini, hampir tiap hari saya sarapan nasi lemak. Bukan hanya karena letaknya persis di bawah apartemen saya, harganya pun murah. Cukup $2,50 saya sudah kenyang. Tentu air mineral saya bawa sendiri supaya irit. Mau lebih irit, minum air kran pinggir jalan. Wkwkwk.
Namun, saat Sandi mengatakan bahwa harga makanan di Singapura lebih murah ketimbang di Indonesia itu jelas hiperbola. Cara bandinginnya bukan apple to apple melainkan seperti membandingkan gadget berlogo apel kroak dengan yang bergambar buah pir. Berulangkali ke Singapura, saya merasa harga makanan di Indonesia secara umum lebih murah ketimbang di negeri jiran ini. Kalau cara membandingkannya ngawur, misalnya di Jakarta kita makan di fine dining restaurant sedangkan di Singapura makan di food court, food booth, food stall atau food truck ya pasti beda jauh. Persis seperti membeli baju di Fifth Avenue dan di Tanah Abang. Hiperbola lawan hiperbola.
Buktinya disediakan sendiri oleh Sandi saat makan di Warung Ijo, Baciro, Gondokusuman, Jogja. “Kira-kira tadi Rp 20 ribu, Pak Sandi makan nasi merah, brongkos, buntil (oseng daun pepaya), tempe, pindang bandeng,” kata pemilik Warung Ijo, Siti Zamidah (44), Jumat (12/10/2018), kepada reporter media online. Bayangkan dengan uang segitu, Sandi sudah mendapat menu yang lengkap antara sayur dan ikan. Kemewahan khas Jogja yang bisa dinikmati tanpa menguras kantong. Saya yang tinggal cukup lama di Jogja merasakan kenikmatan ini.
Sandi benar jika mengatakan bahwa ada banyak makanan murah di Singapura mulai roti prata sampai Curry Powder Carrot Cake, Mee Jawa sampai mie laksa yang bisa kita nikmati hanya dengan mengeluarkan 2 dolaran. Cukup enak memang. Namun, di lidah saya yang wong Jowo, bakmi goreng Jawa tetap lebih nendang. Martabak lebih nembak ketimbang pizza. Harganya masih lebih murah dibandingin dolar yang masih enggan untuk turun.
Apa yang bisa kita sesap dari perbandingan harga makanan ini? Di tahun politik ini yang paling afdol tentu membandingin antarcapres dan cawapres, antara caleg satu dengan caleg lainnya. Misalnya, dari segi agama, siapa yang lebih dekat dengan Tuhan sekaligus umat? Siapa yang lebih giat bekerja membangun bangsa bukan saja sekadar infrastruktur melainkan juga cara kita bertutur? Menyebar hoax atau harapan? Pesimis atau optimis. Menangani bencana secara terencana atau sekadar wacana? Blusukan karena memang dekat dengan wong cilik atau pencitraan di tahun politik?
Jika masing-masing paslon menunjukkan program dan hasil kerja terbaik, kita tentu tidak perlu membeli kucing dalam karung. Rekam jejak, karya nyata dan visi ke depan jauh lebih baik ketimbang saling ejek, aduk senjata dan mengedepankan ambisi. Membandingkan diri kita di masa lalu dengan diri kita di masa kini jauh lebih baik ketimbang membandingkan diri kita engan orang lain. Lebih konyol lagi kalau membandingkan kelemahan diri kita dengan kekuatan orang lain. Kita akan frustrasi.
Sebaliknya, membandingkan kelebihan kita dengan kelemahan orang lain membuat kita menjadi manusia yang sombong.
Salah satu cara membandingkan yang positif, produktif dan konstruktif adalah membandingkan kinerja kita di masa lalu dengan peningkatan kerja kita di masa depan.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa