Si pemilik nama meminta demikian. Bagi saya, itu berarti dia setuju bahwa Ahok sang gubernur adalah masa lalu.
Pembunuhan karakter yang dilakukan secara terstruktur dan masif itu berhasil. Tahun lalu, saya menangis. Semua kesedihan dan kegundahan yang ditimbulkannya hanya menyisakan tanya. Mengapa sebodoh itu masyarakat bisa dikelabui oleh asumsi, harapan, atau janji?
Tahun ini, saya tak punya amarah atau dendam. Saya tidak mungkin melupakan Ahok. Banyak hal dari gerak langkah dan cakapnya memang membawa aura manajemen publik yang berbeda. Sangat berbeda. Dan, semenjak Ahok dibui, Jakarta baru kembali ke masa lalu. Bising oleh semrawut lalu lintas, dengan segala simpang siur kebijakan yang aneh.
Sekarang, Ahok berpesan: “Panggil saya BTP”.
Ahok adalah masa lalu.
Apakah kita masih membawa Ahok masa lalu di dalam asa? Apakah kita berpikir ada Ahok di masa depan?
Ketika si pemilik nama berkata, “Panggil saya BTP”, dia seolah berbisik lirih, “Tinggalkan Ahok dalam kenangan masa lalu, yang efeknya masih dirasa”. Saya kira, untuk itulah buku itu lahir.
Ahok melekat kepada kebijakan publik. Ahok melekat kepada kinerja masa lalu sebagai catatan sejarah. Mereka membunuh karakter, mereka bahkan sebegitu bernafsu untuk membunuh orangnya. Tapi, kinerja itu hidup. Dampak itu bergaung lebih kencang ketimbang orang
yang sesumbar berkata-kata aku akan begini atau begitu. Ahok sudah melakukannya, dan dia mempertanggungjawabkannya.
Hari ini, 16 Agustus 2018, Ahok meninggalkan namanya melekat kepada Kebijakan masa lalu ketika dia melaksanakan amanat.
Hari ini, dia meminta, “Panggil saya BTP”.
Ayolah.
Ahokers tidak boleh lebay, karena Ahok tidak lebay.
Hari ini, akankah lahir BaTjaPurs?
Anda dan saya, ya, kita, yang hidup di jaman now untuk masa depan, dengan semangat baru: membawa kesejahteraan, memegang lentera, dan selalu penuh (purnama).
Bulan bulat purnama
Cahayanya hingga ke bintang
Sejahteralah.
Kita!
Demi: mereka!
Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas