Laporan Edi Subroto
Jumat, 14 April 2017 - 04:39 WIB
Ketahanan Nasional adalah kondisi dinamis sebuah bangsa yang berdiri di atas keuletan dan ketangguhan, yang memanfaatkan aspek kehidupan nasional dalam menghadapi berbagai macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, langsung maupun tidak langsung, yang membahayakan kehidupan nasional dan membahayakan usaha atau perjuangan guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional.
Aspek Kehidupan Nasional dalam skala makro untuk mewujudkan Ketahanan Nasional terdiri dari delapan gatra (Astagatra), dan kedelapan gatra ini dibagi menjadi dua kategori gatra, yakni Trigatra yang antara lain terdi dari geografis, demografis dan sumber kekayaan alam (dikenal dengan gatra alamiah), dan Pancagatra, antara lain berisi persoalan politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (dikenal dengan gatra sosial).
Bangsa Indonesia yang membentuk negara Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara untuk merealisasikan cita-cita dan Tujuan Nasionalnya, seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita Nasional bangsa Indonesia yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Sedangkan Tujuan Nasional bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam proses perjalanannya, bangsa Indonesia selalu berhadapan dengan berbagai macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan, yang dari kesemuanya itu dapat membahayakan kehidupan nasional, membuat cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia akhirnya semakin menjauh. Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan bangsa Indonesia biasanya datang dari dalam dan dari luar negeri, bersifat langsung maupun tidak langsung.
Di dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia, persepsi Indonesia tentang ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari luar maupun dari dalam negeri, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa. Sedangkan berdasarkan sifat ancaman, hakikat ancaman dapat digolongkan menjadi dua kategori, yakni ancaman militer dan ancaman nirmiliter.
Yang dimaksud dengan ancaman militer yakni ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi yang dinilai memiliki kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata, sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman nirmiliter yakni pada hakekatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor nirmiliter yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman nirmiliter dapat berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan informasi, serta keselamatan umum.
Perang Modern
Ryamizard Ryacudu pernah menyebutkan tentang Perang Modern. Menurutnya, yang dimaksud dengan Perang Modern yaitu suatu bentuk perang yang dilakukan secara nirmiliter dari negara maju atau asing untuk menghancurkan suatu negara tertentu melalui bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Perang ini adalah bentuk kontrol dari negara-negara koalisi global, biasanya dimotori oleh salah satu negara kuat terhadap negara lain, yang mana negara itu dianggap tidak mengakomodir kepentingan negara koalisi dan dianggap membahayakan kepentingan negara koalisi.
Tujuan dari Perang Modern yaitu; Pertama, Mengeliminir kemampuan negara sasaran agar tidak menjadi sebuah potensi ancaman negara koalisi. Kedua, Melemahkan kemampuan negara sasaran sehingga semakin tergantung dan agar lebih mudah untuk ditekan oleh negara koalisi. Ketiga, Penguasaan secara total negara yang menjadi sasaran oleh negara koalisi.
Sedangkan tahapan dari Perang Modern yaitu: Pertama, Tahap Infiltrasi. Dalam tahap ini dilakukan sebuah infiltrasi melalui bidang-bidang seperti intelejen, militer, pendidikan, ekonomi, ideologi, politik, sosial budaya atau kultur dan agama, bantuan-bantuan, kerjasama diberbagai bidang, termasuk penggunaan media dan informasi.
Kedua, Tahap Eksploitasi. Dalam tahap ini dilakukan eksploitasi dengan melemahkan dan menguasai bidang-bidang seperti intelejen, angkatan bersenjata, ekonomi, politik, budaya dan ideologi, termasuk pendidikan, dimana semua ini sebenarnya adalah titik berat dari kekuatan suatu negara.
Ketiga, Tahap Politik Adu Domba. Dalam tahap ini dilakukannya politik adu domba. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan kekacauan ataupun kekerasan, konflik horizontal (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Berikutnya bertujuan agar muncul keinginan memisahkan diri dari NKRI atau tindakan separatisme. Biasanya dimulai dengan eskalasi pemberontakan, dan pada akhirnya terjadi pertikaian antar anak bangsa dan perang saudara.
Keempat, Tahap Cuci Otak (Brain Wash). Dalam tahap ini mereka mempengaruhi paradigma berfikir masyarakat, yakni paradigma kebangsaan (nasionalisme) menjadi cara pandang yang universal dengan keutamaan isu-isu global, semisal demokratisasi dan HAM ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Kelima,Tahap Invansi. Dalam tahap ini, ketika Wawasan Kebangsaan suatu negara yang menjadi sasaran telah hancur dan jati diri bangsa menjadi hilang, maka praktis negara yang menjadi sasaran telah dapat dikuasai, atau negara sasaran dalam kondisi penguasaan dan terjajah dalam segala aspek kehidupan. Berikutnya, tinggal membuat negara boneka yang diwakili oleh para komprador.
Jika melihat dari kelima fase Perang Modern tersebut, sadar ataupun tidak sadar, saat ini telah terjadi Perang Modern di Indonesia, dengan menjalankan strategi sesuai dengan Perang Modern yang dijelaskan sebelumnya. Kapitalisme internasional yang dipimpin oleh negara maju beserta koalisi berusaha untuk mendegradasi Wawasan Kebangsaan, memecah persatuan bangsa agar lemah, dan akhirnya akan mempengaruhi berbagai keputusan penyelenggara negara, termasuk pada tujuan akhirnya yaitu menguasai mayoritas sumber daya alam.
Perlu diketahui, bahwa untuk melakukan perang dengan cara konvensional (pengerahan kekuatan militer) dianggap tidak memungkinkan lagi, sehingga alasan untuk mengubah perang secara konvensional ke perang nonkonvensional (Perang Modern) menjadi cukup beralasan, selain biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah. Analoginya, dengan kemampuan pasukan dan teknologi persenjataan canggih yang dianggap berimbang, apabila dua negara kuat berperang, maka kedua negara tersebut akan sama-sama mengalami kehancuran, sehingga mereka sama-sama akan berfikir dua kali untuk melancarkan serangan secara berhadap-hadapan. Kenyataan tersebut mengharuskan adanya penggunaan grand strategy dari negara yang memiliki nafsu imperialisme guna menghindari perang dengan menggunakan cara-cara perang konvensional.
Biasanya, dampak dari Perang Modern lebih dahsyat dari perang konvensional, karena negara sasaran akan dihancurkan secara sistemik dan akhirnya negara sasaran tidak eksis lagi menjadi negara bangsa. Sebagai perbandingan, lihat bagaimana Uni Soviet dihancurkan dengan cara Perang Modern dan bagaimana Jepang dihancurkan dengan cara perang konvensional. Uni Soviet hancur dan Jepang dapat bangkit kembali.
Lantas, apa yang menarik bagi negara-negara koalisi (dapat ditambahkan korporasi-korporasi besar) untuk menguasai Indonesia? Yang jelas, faktor utama yang menjadi daya pikat Indonesia untuk harus dikuasai adalah karena Indonesia memiliki kekayaan alam yang cukup luar biasa besarnya, jumlah penduduknya yang banyak sehingga dapat menjadi pasar yang potensial bagi berbagai macam produk, serta letak geografisnya yang begitu sangat strategis. Faktor-faktor inilah yang menjadi alasan mengapa Indonesia harus dikuasai.
Perang untuk menguasai sebuah bangsa merupakan perwujudan dari adanya nafsu imperialisme. Nafsu imperialisme mungkin akan terus ada dimuka bumi, karena adanya sifat serakah yang melekat pada manusia. Jika sifat serakah ini tidak terkontrol, maka kemungkinan berkembang untuk menguasai suatu bangsa akan terus ada, bahkan jika penguasaan itu harus ditempuh melalui jalan perang. Dengan berkembangnya strategi perang dan antisipasi dampak yang besar yang dapat diakibatkan oleh perang konvensional, maka perang dapat dilakukan dengan cara skenario lain demi mengakomodir nafsu-nafsu imperialisme tersebut. Jika skenario ini berhasil, tentu akan berdampak bagi terpinggirkannya Ketahanan Nasional suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia dalam sejarahnya pernah melakukan sebuah revolusi untuk mengenyahkan imperialisme, namun, ditengah perjalanan, revolusi itupun terhenti. Keterhentian dari revolusi nasional itu dikarenakan, selain kekuatan asing dengan nafsu imperialisme-nya untuk mencengkeram bangsa Indonesia, juga karena adanya kaum kompromis dan penyeleweng-penyeleweng dari bangsa Indonesia sendiri yang telah membengkokkan jiwa dan dasar dari tujuan revolusi nasional.
Benar kata Bung Karno, bahwa “Revolusimu belum selesai”, untuk itu, sebagai bangsa yang mewarisi api semangat dari para founding father’s, revolusi tetap harus dilanjutkan, walau mungkin dengan jalan yang berbeda. Bangsa Indonesia harus tetap melanjutkan revolusi itu dengan memikul amanat penderitaan rakyat bangsa Indonesia, namun juga dengan semangat membebaskan rakyat dari bangsa-bangsa lain yang menderita, karena nasionalisme-bangsa Indonesia bukan nasionalisme dalam arti yang sempit, nasionalisme-bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang memberi hidup bagi bangsa Indonesia dan bagi bangsa-bangsa yang lain. Itulah prinsip Sosio Nasionalisme.
PERTARUNGAN sengit di Kabupaten Probolinggo menjelang pemilihan bupati menandai intensitas persaingan di arena politik. Calon-calon baru seperti Gus Haris, pengasuh
DEBAT keempat Pemilihan Presiden 2024, Minggu (21/1/2024) malam, tidak terlihat seperti debat kenegaraan. Debat kemarin terlihat jadi ambyar dan kurang