Saya menghela napas ketika mendengar para perempuan saling menyalahkan, saling menyudutkan, saling bersaing untuk menjadi lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih progresif, dan lebih berdaya. Dari mulai istilah pelakor, mompetition antara melahirkan vaginal atau c-section, perempuan karir atau ibu rumah tangga, hingga beberapa bulan yang lalu saya membaca komentar Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang mengatakan bahwa jika ingin setara, perempuan harus berhenti mempermasalahkan perempuan dan just do what she wants to do. Tapi betulkah it’s that simple, ketika kungkungan budaya patriarki dan ketidaksetaraan gender telah melingkari perempuan dari sejak mereka dilahirkan? Dan ketika perempuan-perempuan yang beruntung sudah bisa melepaskan diri dari kungkungan itu malah menyalahkan perempuan-perempuan lain yang belum seberdaya mereka?
15 tahun yang lalu, ketika masih aktif di organisasi gerakan mahasiswa tingkat nasional, saya menjadi satu dari 2 perempuan di antara belasan anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP) organisasi saya. Pada waktu itu saya juga meyakini bahwa dengan membuat persoalan perempuan menjadi isu tersendiri, itu akan semakin mengukuhkan perbedaan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan seharusnya berjuang saja mendapatkan apa yang diinginkannya dan meraih mimpi-mimpinya, dengan begitu ia akan setara dengan laki-laki. Ketika teman saya anggota DPP perempuan yang satu lagi mengusulkan untuk membuat divisi khusus yang mengurusi masalah perempuan, saya bersama dengan anggota DPP lain yang laki-laki menolak. Malu rasanya kalau mengingat kembali kejadian itu.
Namun apakah kesadaran itu serta merta datang setelah itu? Tentu tidak! Dibutuhkan proses selama belasan tahun dan bahkan masih berlangsung sampai sekarang. Semakin banyak saya bersinggungan dan berproses bersama perempuan-perempuan lain dan pengalaman mendampingi kelompok-kelompok perempuan di komunitas, saya melihat ketidaksetaraan gender adalah permasalahan riil yang sangat nyata dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk bisa mencapai satu titik yang sama dengan laki-laki, perempuan memerlukan langkah lebih banyak dan lebih berbatu-batu. Tidak hanya datang dari nilai, norma, dan asumsi yang ada di masyarakat dan budaya di mana ia berada saja, hambatan-hambatan itu bahkan juga berasal dari dirinya sendiri, dan itu bukan salahnya.
Ketika saya memfasilitasi diskusi rutin kelompok perempuan dampingan kami di salah satu kabupaten di DIY, ada 3 orang perempuan yang sama sekali tidak berani mengangkat pandangan dan berbicara. Mereka hanya menunduk selama diskusi berlangsung dan setiap kali ditanya hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum malu. Butuh 3 pertemuan selanjutnya sampai mereka berani menyebutkan siapa namanya dan menjawab pertanyaan yang saya lontarkan, itupun hanya dengan jawaban “ya” atau “tidak”.
Mengenai Musrenbangdes, seringkali perangkat desa mengatakan, “kami sudah melakukan kesetaraan gender kok, para perempuan itu sudah kami undang, salah sendiri mereka tidak datang”, atau “mereka sudah kami undang dan datang ke Musrenbangdes, tapi salah sendiri mereka diam saja selama acara, ditanya pendapatnya juga diam saja”. Dengan cerita saya di atas, apakah menurut ngana perempuan akan tiba-tiba bisa begitu saja datang ke Musrenbangdes dan berdebat habis-habisan dengan laki-laki mempertahankan pendapatnya? Atau berani tidak setuju dengan usulan yang dikemukan oleh para laki-laki yang adalah suami-suami atau ayah-ayah mereka atau pejabat kampung setempat?
Apakah salah perempuan kenapa dia diam saja, tidak berani bicara, dan tidak berani berdebat dan berkonflik demi mempertahankan pendapatnya? Lha wong sejak bayi dia tidak pernah ditanya, didengarkan, dan dihargai pendapatnya. Dalam titik yang paling ekstrim mungkin dia tidak pernah tahu bahwa dia boleh punya keinginan atau pendapat.
Belum lagi masalah ketidakadilan gender yang harus dipikul oleh perempuan, seperti dinomorduakan dalam kesempatan mendapatkan pendidikan atau kenaikan jabatan; pelabelan-pelabelan negatif ketika dia bersekolah tinggi, pulang malam, atau ketika dia dianggap tidak cantik dan lemah lembut; tanggung jawab pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak yang hanya dibebankan padanya; hingga berbagai jenis kekerasan dari mulai kekerasan psikis, kekerasan fisik, kekerasan ekonomi, kekerasan sosial, hingga kekerasan seksual yang diterimanya termasuk dari orang-orang terdekatnya yang sulit dia lawan karena dia terkungkung dalam konstruksi yang membuatnya tidak bisa atau tidak tahu harus berbuat apa.
Mungkin ada beberapa perempuan yang berhasil melepaskan diri dari konstruksi dan ketidakadilan itu. Tetapi apakah itu dapat menjadi alasan untuk menghakimi perempuan-perempuan lain yang belum bisa? Seringkali ketika mendampingi kelompok perempuan di komunitas, beberapa perempuan yang merasa sudah “berdaya” menghakimi dan menyalahkan perempuan-perempuan lain tetangga mereka sendiri yang belum “berdaya”. Celetukan semacam, “salahnya sendiri, dipukulin suami kok diam aja, kalau aku ya sudah aku lawan balik” atau “mau-maunya ga dibolehin keluar sama suami untuk berkegiatan kayak gini, kalau aku sih mau ikut pelatihan menginap selama seminggu juga suamiku ga apa-apa”. Ketika dia merasa sudah sedikit berdaya, bukannya mendukung dan mendorong perempuan lain yang belum seberuntung mereka, mereka malah menyalahkan dan menghakiminya.
Ketika saya menjadi narasumber di sebuah diskusi di perguruan tinggi ternama, salah satu mahasiswi mengatakan, “supaya tidak direndahkan perempuan harus sekolah setinggi-tingginya sampai S3, dan kita perempuan bisa kok sekolah sampai S3”. Itu kan bagimu dek yang beruntung punya akses dan kesempatan untuk bisa sekolah sampai S3. Tapi apakah perempuan-perempuan yang sudah dinikahkan bahkan ketika masih berusia 15 tahun dan memiliki anak setiap tahun karena tidak diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi itu tahu apa itu S3, apalagi S3 di luar negeri. Bahkan satu jam perjalanan dari kampus ternama itu, di salah satu kelompok perempuan dampingan kami, pendidikan paling tinggi dari para perempuan itu adalah lulusan SD.
Atau bagi perempuan-perempuan yang sudah “berpendidikan”, situasinya kurang lebih seperti ini, ketika suaminya dapat beasiswa S2 atau S3 di luar negeri sang suami akan langsung bilang “yes, horeee, aku akan segera berangkat!” tanpa berpikir dua kali, namun ketika si perempuan yang mendapatkan tawaran itu, maka “yes, tapi bagaimana ya, kan anakku masih kecil, besok-besok aja deh” atau “horeee, tapi engga deh, aku tidak bisa meninggalkan keluargaku”. Hal-hal yang jarang sekali dialami oleh laki-laki.
Menyedihkan sekali ketika sebagai perempuan kita sudah bisa keluar dari konstruksi dan berbagai macam ketidakadilan gender yang melingkupi kita tapi kita kehilangan empati pada sebagian besar perempuan lain yang masih belum bisa, karena itu bukan salah mereka. Banyak perempuan yang masih struggle bahkan hanya untuk bisa menjadi dirinya dirinya.
Dengan perempuan saling mendukung, saling membantu, dan saling berempati saja, perjalanan menuju kesetaraan gender itu still long long way to go. Apalagi kalau perempuan saling menjatuhkan, saling menghakimi, saling menyalahkan, dan saling bersaing? Tantangan terbesar kita adalah budaya patriarki yang membuat bahkan perempuan pun memandang perempuan lain dan dirinya sendiri sebagaimana patriarki memandang mereka.
Seorang Fasilitator, Editor, Penerjemah, dan Penulis Freelance yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aktif menggeluti isu Gender dan feminisme sejak 7 tahun yang lalu. Menghabiskan waktu luangnya dengan menonton film di bioskop dan berbicara dengan kucing-kucingnya