Maraknya penyitaan buku diduga berhaluan kiri “berpaham komunisme” yang dilakukan oleh aparat beberapa minggu terakhir ini telah meresahkan dunia literasi tanah air. Bagaimanapun juga minat baca generasi saat ini masih dianggap rendah dibandingkan dengan negara lain.
Padahal, buku-buku yang telah dirazia oleh aparat itu kebanyakan berupa buku sejarah yang seharusnya jadi acuan demi kemajuan peradaban bangsa kita sesuai dengab pengejawantahan amanat pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemberitaan mengenai aksi sweeping aparat yang terjadi di sebuah toko buku di Padang, Sumatera Barat, dan pekan sebelumnya telah terjadi penyitaan ratusan buku di Kediri, Jawa Timur yang dilakukan oleh tim gabungan aparat sangat disayangkan.
Diantaranya buku berjudul “Benturan NU PKI 1948-1965” terbitan PBNU, “Islam Sontoloyo” karya tokoh Proklamator Ir. Sukarno, dan “Dibawah Lentera Merah” karya Soe Hok Gie. Jika benar dianggap bahwa buku-buku tersebut berpaham komunisme, jelas ada kejanggalan bagaimana mungkin seorang intelektual anti-komunis seperti Gie juga termasuk dalam penyitaan buku tersebut.
Di era saat ini, seharusnya bangsa kita sudah mengalami kemajuan demokrasi yang berkembang lebih baik. Salah satu indikatornya adalah soal perlindungan HAM. Sementara yang berhak mengeluarkan pernyataan pelarangan buku bukan lagi tugas aparat militer. Sebaiknya militer tidak perlu lagi mengurusi urusan sipil dalam meningkatkan iklim demokrasi di era reformasi.
Dalam hal ini, tindakan keliru yang dilakukan aparat kita justru menunjukkan kesan belum move on-nya rejim orde baru melihat perkembangan situasi jaman demokratis seperti saat ini.
Dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara lainnya, demokrasi di Indonesia sudah tumbuh lebih baik. Jangan sampai razia buku nanti juga akan berimbas pada lingkungan aktivitas literasi yang juga sedang tumbuh diberbagai daerah.
Tindakan represif yang dilakukan aparat tersebut justru ditengarai adanya kekeliruan yang menghendaki kemunduran berpikir di alam demokrasi saat ini, maka hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Hal tersebut sama saja mengebiri rasa ingin tahu generasi kita untuk memahami konteks perjalanan bangsa kita.
Jika tindakan represif aparat yang beralasan bahwa menyebarkan ideologi dan simbol terlarang masih dianggap kejahatan yang membahayakan keamanan negara, lalu bagaimana ketegasan pemerintah dalam menyikapi ancaman disintegrasi yang disebabkan radikalisme agama yang jelas-jelas berseberangan dengan pluralitas dari Pancasila. Sampai saat ini, Pancasila sebagai ideologi negara masih diyakini sebagai bintang penuntun dan falsafah bangsa.
Kembali lagi pada pentingnya literasi bagi peradaban bangsa, tentu salah satu kunci yang diyakini dapat memberantas kemiskinan adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan kita dapat memilah mana yang baik dan buruk. Untuk mendapatkan pengetahuan, salah satunya ialah dengan banyak membaca.
Sejak dini pun tertanam bahwa buku adalah jendela dunia, maka dengan membaca buku kita dapat melihat perkembangan dunia. Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan perilaku, cara berpikir suatu masyarakat, menyelamatkan kesejahteraan masyarakat tentu semua itu akan didapatkan dari sumber pengetahuan.
Dari membaca kita juga akan memperkaya wawasan dan mendapatkan banyak informasi yang belum diketahui sebelumnya. Tentu hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat kita di era global sekarang yang akan membawa kemajuan bangsa kita di masa mendatang.
Di era keterbukaan seperti saat ini, maka perlu digalakkan budaya membaca sejak dini untuk meningkatkan aktivitas literasi sebagai solusi menyiapkan generasi unggul yang mampu bersaing dengan bangsa lain.
Pertanyaannya ialah, apakah kita menginginkan suatu pembodohan dan pemiskinan tetap terjadi di Indonesia?
Indonesia Controlling Community