“When money talks even God listens,” ujar sahabat saya sambil nyengir sendirian. Itulah yang tergambar dengan gamblang di deklarasi capres cawapres yang sedang ramai diperbincangkan. ‘Tuduhan’ itu ditujukan kepada siapa lagi kalau bukan kubu Prabowo. Pihak yang ditinggalkan menggunakan jargon yang lebih kejam. Kardus berisi uanglah yang bicara.
Jika politik uang selama ini ditujukan kepada para pemilih yang dianggap begitu mudah dibeli suaranya, permainan uang untuk memilih kandidat sebenarnya jauh lebih jahat. Orang yang mumpuni kalah telak dengan orang yang sanggup memodali. Elektalibitas bisa masuk kardus jika ada kardus lain yang berisi uang ratusan milyar, bahkan trilyunan yang datang belakangan.
Analisis Profesor Jeffrey Alan Winters dari Northwestern University sekali lagi membuktikan kesahihannya. Menurutnya, money politic di AS dan Indonesia tidak jauh berbeda. Para kandidat presiden di negara adidaya ini pun menerima micro donantions dari rakyat kecil dan macro donations dari konglomerat. Yang luar biasa, seorang konglomerat Indonesia pun pernah terjerat kasus ini ketika memberi donasi jumbo ke salah satu kandidat presiden di Amerika sana. Uang memang bisa mengalir ke mana-mana.
Saat Ahok memulai debutnya untuk menjadi gubernur DKI, micro donations pun diadakan, karena dia memulai dari jalur independen yang jelas membutuhkan banyak biaya untuk kampanye. Apa kekuatan donasi mini ini? Di samping berasal dari akar rumput, sumbangan dari rakyat kecil ini membuat mereka menyalurkan suaranya ke tokoh yang mereka sumbang. Tentu disertai doa agar saat pilihan mereka menang, tokoh itu bisa memperjuangkan kepentingan mereka. Baru ketika diusung oleh partai besar, macro donantions otomatis mengalir juga ke pundi-punding tim pemenangannya. Cara yang sama Obama lakukan dengan menyerap donasi mini. Begitu elektabilitasnya meroket, donasi maksi tanpa diminta ikut masuk ke jagoan besutan partai Demokrat ini.
Berbeda dengan pemberi macro donations yang berharap saat jagoannya menang, paling tidak dia akan melindungi bisnisnya. Kalau bisa malah memberinya proyek yang lebih gede lagi.
Politik dagang sapi? Entahlah, yang jelas sebentar lagi sapi dan kambing menjadi dagangan yang laris.
Logistik menang telak. Lalu, apakah kubu ini bisa menang mutlak juga? Sangat tidak pasti. Di samping elektalibitas Prabowo yang kalah dengan Jokowi dan daya pilih Sandi yang tidak masuk perhitungan, mereka tentu harus bekerja keras untuk mendulang suara. Entah alat musik apa yang akan mereka mainkan untuk mendulang penonton agar hadir dalam acara kampanye mereka dengan harapan jumlah penggembira ini berbanding lurus dengan pilihan di kotak suara. Karena ini ranah privat, logika dan hati nuranilah yang seharusnya menjadi panglima.
Saat menulis bagian ini, saya teringat dengan kolom saya di detik.com. Suhu politik yang begitu panas hari-hari ini mengingatkan saya pada supporter bola. Mereke diiming-imingi mobil dan uang milyaran rupiah untuk memindahkan kesetiaannya. Apa jawab mereka?
“Tindakan ini seperti menjual identitas saya. Saya tidak bisa melakukannya,” tampik Roemer.
“Tidak, uang tak jadi soal. Ini urusan hati. Saya terlahir sebagai fans Gladbach dan akan tetap seperti itu,” tegas Siermann.
“Saya fans Bayern. Sekali Bayern, tetap Bayern,” tepis Zeman.
Video Bundesliga itu diakhiri dengan kalimat yang menyentakkan kesadaran kita semua, “Fans sejati tidak bisa dibeli!” (Xavier Quentin Pranata, detiknews).
Di negara bernama Indonesia yang keputusan seseorang maupun pengadilan mendapat tekanan berat dari demonstrasi, masihkah kita punya integritas sehingga tidak mengalihkan dukungan karena money politic dan serangan wajar? Who knows? Rumput yang bergoyang pun saat ditanya akan mengeleng-gelengkan kepalanya, eh, tubuhnya yang semampai.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa