Dari sebuah komentar teman yang berkunjung ke wall Facebook saya, saya akan mengutip ujaran Abraham Lincoln pada penasihatnya di masa perang saudara AS. Saat sang penasihat bergembira atas kemenangan pemerintah dan berkata: “saya bersyukur Tuhan berada di pihak kita”, Lincoln menimpali dengan masygul, “Pak, kepedulian saya bukanlah tentang Tuhan berada di sisi kita, tapi kepedulian saya adalah untuk selalu berada di sisi Tuhan karena Dia selalu benar”.
Ungkapan ini begitu sederhana namun sangat mendalam bila diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Abraham Lincoln pada saat perang tersebut megkhawatirkan, apakah perang saudara yang dilakukan itu adalah benar sesuai dengan perintah Tuhan. Pada saat yang sama, ia juga menyindir arogansi penasihatnya yang dengan bangga mengklaim bahwa kemenangan pemerintah utara dalam perang itu adalah karena restu dari Tuhan. Kontemplasi yang termuat dalam ungkapan Lincoln seharusnya menjadi pertanyaan pada setiap diri manusia, “sudah luruskah jalan yang saya pilih? Sudah ridho kah Tuhan pada pilihan-pilihan yang saya buat dalam kehidupan?”.
Tidak jarang, bahkan seringkali manusia mengklaim terlebih dahulu perbuatannya sebagai sesuatu yang benar, lalu kemudian mencari ayat-ayat Tuhan untuk memvalidasi. Ayat-ayat Tuhan dijual secara murah untuk melakukan tindakan duniawi, penuh dengan tipu daya dan sebenarnya sangat menyimpangkan perintahNya. Bukan hanya itu, perilaku pun banyak yang bertolak belakang dengan perintah Tuhan, tapi kemudian dijadikan dalih seolah-olah perilaku tersebut adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan demi mendapatkan pahala.
Sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan kelebihan akal sehingga membedakan dari hewan dan tumbuhan dan menjadikan kita khalifah di muka bumi, seharusnya kita dapat menggunakan properti akal tersebut secara maksimal untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Kita tidak sepatutnya menjadi makhluk yang dapat dibodohi dan digiring ke sana ke mari untuk kepentingan dunia orang-orang yang haus kekuasaan dan bermimpi menjadi pemilik dunia. Akal dan rasionalitas harus diberdayakan untuk memisahkan yang baik dan yang buruk.
Dalam kekurangan ilmu, khususnya ilmu agama, seringkali kita terjebak dalam ketidaktahuan dan keinginan untuk segera mencari tahu, lalu kemudian mencari guru. Guru yang dimaksud tentu saja para pemuka agama, yang bila dalam agama Kristen disebut sebagai pastor/pendeta, dalam Islam disebut sebagai ustadz/ulama, Hindu disebut sebagai pandita, dan Buddha disebut sebagai biksu. Para guru ini seyogyanya adalah para alim ulama yang sudah selesai dengan urusan dunia dan menghibahkan sebagian besar waktunya untuk mempelajari ilmu Tuhan dan membagikannya secara cuma-cuma kepada masyarakat awam sebagai amalan ibadahnya.
Namun pada prakteknya, sebagai contoh pada masa Dark Age di Eropa, para pemuka agama yang mengelola Gereja menjadikan diri mereka sebagai perpanjangan tangan Tuhan yang absolut. Perkataan mereka adalah perkataan Tuhan; siapapun yang menentang akan mendapat siksaan fisik hingga kematian. Penguasaan terhadap jemaat telah membutakan mata hati mereka, yang mungkin merupakan muasal ungkapan power tends to corrupt. Dengan kepercayaan jemaat yang didasari pada ketakutan, mereka membuat hukum dan peraturan yang sewenang-wenang, memperkaya Gereja dan memiskinkan kehidupan masyarakat.
Hal yang serupa sayangnya kini juga terjadi dalam Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Kekhilafahan yang menjadi jargon kesatuan umat, yang juga merupakan tujuan yang sama dari oknum-oknum yang ingin menguasai manusia dalam satu kepemimpinan, ternyata malah menjadi momok ketakutan di negara-negara yang pernah memiliki sejarah peninggalan kejayaan Islam. Suriah, Irak, Afghanistan, adalah negara-negara yang sempat diduduki oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam dan kemudian berlaku sewenang-wenang sesuai kepentingan kekuasaan mereka.
Di Indonesia, upaya yang sama untuk mengganti dasar dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dikumandangkan baik secara terang-terangan maupun terselip dalam demonstrasi-demonstrasi bermuatan agama. Pengikut dari kelompok ini tidak sedikit, walaupun juga tidak sebanyak yang mereka nyatakan untuk menunjukkan kekuatan (show-off-force). Pemimpin-pemimpinnya adalah mereka yang didaulat sebagai ustadz dan ulama, namun sayangnya belum menunjukkan perilaku dan tutur kata yang mencerminkan kedamaian hati seseorang yang berlimpah cahaya Ilahi.
Mereka senantiasa menggemborkan perjuangan di jalan Tuhan, atau lebih dikenal sebagai jihad. Hal ini kembali mengingatkan saya pada pernyataan Lincoln, benarkah perjuangan itu adalah perjuangan yang benar dan murni serta diridhoi Tuhan? Perjuangan seperti apa yang mengatasnamakan Tuhan namun berisikan caci maki dan kebohongan, provokasi yang menimbulkan kekisruhan? Tidakkan perjuangan itu semu dan menyimpang dari hakikat hidup manusia, yaitu agar berguna dan hidup secara damai sebagai abdi Tuhan di alam semesta?
Seyogyanya kita kembali menata hati dan akal pikiran, mengaktifkan rasionalitas sembari menidurkan egoisme dan euforia kejayaan kelompok. Sudah saatnya kita memikirkan bagaimana menjadi manusia yang penuh kerahmatan dan kerahiman bagi alam semesta dan sesama, apapun agamanya. Tapi, jangan hanya untuk tujuan politik, lantas kita berpura-pura menjadi orang alim yang sok memikirkan nasib sesama. Dan pada akhirnya, kita harus meminta petunjuk Tuhan agar tidak tersesat dalam pencarian jalan yang lurus; agar kita tidak tersesat dalam tipu daya manusia dan kekuasaan dunia yang fana.