Oleh: Zahra Amin
Hei Pak Ustadz Anu menikah lagi lho. Istrinya sudah 3 dan cantik-cantik lagi. Ujar seorang teman ketika dengan sengaja membuka media sosial miliknya. Dan sejak saat itu, hingga hari ini media diramaikan dengan pemberitaan poligami yang tak pernah habis dibahas. Pro kontra mewarnai postingan, opini, hingga surat terbuka yang ditujukan pada sang Ustadz. Saya menuliskan obrolan tentang poligami bersama S, tak urung ikut menulis pendapat tentang poligami yang marak menimpa lelaki dengan embel-embel status agama didepan namanya.
Ada apa dengan poligami sehingga semua orang merasa perlu bicara, apalagi jika perilaku tersebut dilakukan public figure yang menjadi panutan umat. Apa yang dilakukan sang tokoh akan mudah ditiru oleh mereka yang awam, sehingga bukan tidak mungkin pada akhirnya poligami menjadi budaya, melemahkan posisi dan mendomestifikasi peran perempuan, berhenti pada ketaatan pada suami sebagai istri sholihah dengan iming-iming janji surga.
Sisi lain poligami, selain ketidakadilan bagi perempuan dalam ruang lingkup rumah tangga, juga pembatasan peran perempuan yang tidak punya hak untuk bersuara lantang. Tidak bisa lagi bersikap kritis terhadap kehidupan sosial disekitarnya. Karena sudah terbungkam dengan kehadiran perempuan lain dalam kehidupan rumah tangganya. Peran perempuan sebagai “khalifah fil ardi” bersinergi bersama lelaki, yang ikut membangun peradaban manusia akan hilang, karena perhatiannya lebih banyak tersita pada kehidupan rumah tangga, bagaimana memuaskan hasrat seksual lelaki. Hak sebagai perempuan yang merdeka dan berdaulat atas tubuh dan pikirannya sendiri, menjadi rancu ketika dia sendiri jadi korban poligami. Maka dari itu lumrah jika berdasarkan data Pengadilan Agama, lebih banyak perempuan yang mengajukan tuntutan perceraian, karena tidak mau diduakan daripada alasan lain. Artinya perempuan sudah mempunyai kesadaran atas hak-haknya sebagai perempuan merdeka.
Kemudian eksistensi perempuan sebagai seorang istri akan dipertanyakan, apakah terdapat kekurangan pada istri pertama, baik dalam hal pelayanan fisik, psikis hingga kebutuhan biologis, sehingga lelaki lebih memilih menambah istri kedua, ketiga dan seterusnya. Kalau hanya melihat secara fisik, rumput tetangga pasti akan terlihat lebih hijau daripada rumput dihalaman sendiri. Jadi bukan bagaimana kita mendapatkan rumput tetangga itu, tapi memperbaiki kualitas rumput dihalaman sendiri, agar sama terlihat menyegarkan dengan perhatian dan curahan kasih sayang. Cinta yang lama beku antar suami istri pasti akan bersemi kembali.
Jika menduakan, men-tiga-kan atau meng-empat-kan pasangan hidup karena ingin mencari kesempurnaan, maka sejatinya hidup bukanlah untuk mencari siapa orang yang paling sempurna. Tetapi bagaimana antar pasangan saling melengkapi satu sama lain. Bagai pakaian yang saling menutupi kekurangan masing-masing. Sebab rumah tangga adalah media pembelajaran hidup yang takkan pernah usai hingga maut memisahkan.
Dampak berikutnya, istri yang dipoligami cenderung lebih stres dan depresi karena perasaan cemburu. Maka istri dan anak akan menjadi korban ketika seorang suami memilih jalan untuk berpoligami. Saat istri stres dan depresi, pola pengasuhan anaknya pun menjadi kacau. Menurut penelitian, anak dari keluarga yang berpoligami beresiko mengalami trauma dan dikucilkan oleh teman-temannya. Disamping itu anak akan lebih sulit dikontrol karena perhatian ayah mereka yang berkurang.
Apabila tujuan hidup adalah ingin mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, maka poligami bukanlah solusi. Karena akan menimbulkan persoalan baru. Kalau tidak dipihak istri sebelumnya yang cemburu, maka akan terjadi pada anak-anak dari para istri itu. Hari ini boleh membanggakan sikap adil yang diperlihatkan atau kebahagiaan semu yang dipertontonkan. Tetapi bagaimana nanti ketika masing-masing orangtua telah tiada, tidakkah kita takut meninggalkan generasi yang lemah secara individu, sosial dan ekonomi. Karena apa yang dimiliki harus berbagi dengan banyak anggota keluarga, anak-anak dari istri kedua dan seterusnya.
Lalu bagaimana konsep rumah tangga yang “sakinah, mawaddah dan wa rahmah” bisa terwujud jika sudah tak ada ketenangan batin antar anggota keluarga. Yang timbul hanya perselisihan bagaimana mengatur jadwal kunjungan suami terhadap para istri, mengatur pembagian nafkah yang adil, dan mengatur waktu antar anak dari masing-masing istri. Kalau kebahagian pernikahan bisa dibuat sederhana dengan hanya 1 istri mengapa harus ditambah dengan yang lain. Jika kebahagiaan rumah tangga bisa direngkuh bersahaja dengan hanya 1 istri, mengapa harus menghadirkan kedua dan seterusnya.
Keadilan yang setara antara suami dan istri mungkin terjadi ketika seiring sejalan, hidup mesra berdampingan dalam kebersalingan. Setia dengan komitmen pernikahan, menyaksikan anak-anak tumbuh besar dalam kasih sayang yang utuh dari orangtuanya, tanpa harus berbagi dengan yang lain. Maka lebih baik tak berpoligami. Tidak menduakan pasangan hidup kita dengan orang lain. Setia pada satu pasangan saja, sehidup sesurga bersama-sama, agar dapat menikmati kebahagiaan dunia akhirat yang paripurna. Semoga.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...