Baru-baru ini Carl Bergstrom, Ahli Biologi Komputasi dari University of Washington merilis hasil penelitian penularan COVID-19 antar manusia. Penelitian ini bermula ketika kasus positive coronavirus mulai ditemukan dan ketidaktahuan warga AS melalui social media terkait penularan virus ini.
“Social distancing” pada dasarnya adalah menghindari kerumunan massa dan menjaga jarak dengan orang lain sejauh satu hingga dua meter. Meski penyakit yang disebabkan oleh novel coronavirus SARS-CoV-2 ini tampaknya menyerang mereka yang berusia lanjut dan yang memiliki kelainan imun saja, orang-orang muda yang sehat dan kuat juga didorong untuk mempraktikkan hal yang sama.
Garis lengkung tinggi adalah skenario kontak fisik antar manusia di mana terjadi viral transmission yang mengakibatkan penularan virus dan garis lengkung di bawahnya adalah rumah sakit yang kewalahan dengan banyaknya pasien yang dirawat.
Inilah yang terjadi di Itali, menurut Bergstrom. Karena penuhnya rumah sakit, dokter harus mengambil keputusan tersulit, menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan perawatan. Agar hal itu tidak terjadi, satu-satunya cara adalah jika publik mengambil langkah-langkah pro-aktif. Jika tidak, jumlah pasien positive COVID-19 akan terus bertambah dan rumah sakit tak akan mampu merawatnya.
Belajar dari tahun 1918 ketika AS diserang pandemic influenza, Philadelphia menunggu hingga dua minggu lebih untuk melakukan social distancing setelah dilaporkannya kasus pertama. Dan ketika hal itu diterapkan, rumah sakit telah kewalahan menampung pasien. Sebaliknya, kota St. Louis langsung menerapkan social distancing dua hari setelah ditemukan kasus pertama. Garis lengkung tinggi dalam Kurva di atas menggambarkan Philadelphia yang terlambat menerapkan social distancing.
The key message here is to act, and act fast. Per tanggal 14 Maret 2020 di Indonesia, 96 orang positive coronavirus salah satunya Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Beberapa kepala daerah serentak meliburkan sekolah hingga dua minggu ke depan. Instruksi yang terkesan fine saja, dan terasa parsial. Acara-acara yang mengundang keramaian masih saja berlangsung. Seperti Binloop Ultra Race yang berlangsung selama dua hari, 14 dan 15 Maret di Tangerang Selatan.
TNI mengeluarkan imbauan internal kepada anggotanya agar tak mengikuti kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang. Kementerian Sekretariat Negara menangguhkan perjalanan dinas luar negeri bagi ASN. Pemerintah Kota Surakarta menetapkan status KLB setelah satu pasien coronavirus meninggal di RS Moewardi. Dan Jakarta, meski Gubernur telah mengeluarkan data sebaran pasien suspect coronavirus dan menutup sejumlah tempat wisata namun tampaknya “lockdown” tak akan menjadi kebijakan yang diambil.
Apakah kita butuh aturan radikal itu? Vietnam meraih sukses besar dalam menerapkan lockdown ketika temuan pasien positive corona mulai muncul. Negara komunis yang hanya memiliki satu partai itu langsung mengumumkan epidemic coronavirus sejak 1 Februari. Mengkarantina desa berpenduduk 10 ribu orang selama 20 hari, memberlakukan protocol medis sehingga ada standard baku bagi semua rumah sakit dalam menangani suspect coronavirus, meliburkan sekolah di 63 kota/provinsi di seluruh Vietnam, larangan impor satwa liar dan larangan kedatangan orang dari Mainland China dan Korea Selatan. Apakah langkah ini bisa kita duplikasi?
“Jangan bandingkan penanganan di negara kita dengan negara lain”, jawab juru bicara penanganan coronavirus, Achmad Yurianto ketika saya tanyakan dalam dialog “Good Morning Jakarta” beberapa waktu lalu. Saya tidak melihat apa salahnya meniru keberhasilan negara lain. Korea Selatan apalagi. Pernah dinyatakan sebagai negara kedua terbesar kasus COVID-19 setelah China, Korea Selatan terus bangkit melakukan perlawanan. Salah satunya dengan menggelar test COVID-19 melalui drive–throughtestingcenter. Pengemudi “memeriksakan dirinya” hanya dalam waktu 10 menit, tanpa meninggalkan mobil. Hasilnya akan dikirim melalui SMS keesokan harinya dan yang mengagumkan test ini gratis, ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
Drive-through clinics ini kini diadaptasi oleh AS. Washington state, New York, Connecticut, dan Colorado adalah yang pertama mempraktikkan Drive-through center yang diakui oleh petugas medis bisa melakukan test hingga 10 orang per jam. Dua kali lebih cepat daripada klinik indoor. Sementara hingga saat ini di Indonesia, test COVID-19 hanya bisa dilakukan di RSPI Sulianti Saroso dan RSUP Persahabatan saja. Biaya hingga 750 ribu rupiah dan waktu tunggu hasilnya 2 hingga 3 jam. Yes, ini mutlak dibenahi. Sembari menunggu langkah “radikal” pemerintah pusat dalam melawan penyebaran COVID-19 mari kita kembali ke Kurva di atas, social distancing! Selamat jaga jarak 😉
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari
SENGKARUT tentang labelisasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Sumenep kian hari tampak menjadi-jadi. Pasalnya, program PKH yang bersumber dari
PERTARUNGAN sengit di Kabupaten Probolinggo menjelang pemilihan bupati menandai intensitas persaingan di arena politik. Calon-calon baru seperti Gus Haris, pengasuh