Becak adalah raja jalanan di Jakarta pada 1960-an. Jumlahnya puluhan ribu. Pada waktu itu lalu lintas masih didominasi sepeda dan becak. Pangkalan becak terlihat di mana-mana, terutama di daerah ramai. Becak bersliweran terutama di dekat sekolah, pasar, perkantoran, stasiun kereta api, bioskop, dan pertokoan.
Sebagian besar pengemudi becak adalah penduduk desa yang pindah ke Jakarta. Ini menjadi masalah perkotaan. Ada pula pengemudi becak yang datang ke Jakarta setelah menanam padi atau selama musim paceklik di desa. Mereka kembali ke kampungnya ketika panen.
Gubernur Ali Sadikin (1966 – 1977) bercerita mengenai sulitnya mengatur becak: “Becak harus ditertibkan.Tidak bisa dibiarkan karena jumlah kendaraan bermotor meningkat terus. Saya memahami, tindakan Pemerintah Jakarta terhadap becak dirasakan berat oleh pengemudinya. Percayalah, tujuan tindakan kami adalah baik, yaitu untuk memperlancar lalu lintas.
Baca Juga: Jangan Menghujat dan Membela Anies dengan Keras Kepala!
Becak kemudian saya ganti bemo. Nanti kalau bemo sudah banyak –pikir saya pada waktu itu—akan menimbulkan masalah baru. Bemo harus digantikan kendaraan yang lebih menyenangkan. Setelah itu bemo akan diganti dengan kendaraan yang lebih nyaman. Begitu terus. Semua menghendaki perbaikan. Saya harus melayani keinginan masyarakat Jakarta.
Pada 1972 kami menertibkan rute oplet. Kami atur oplet-oplet untuk menjadi angkutan ke arah luar kota saja. Untuk mengisi kekosongan akibat perubahan rute oplet, kami mendatangkan 500 bus. Bus-bus itu menjadi angkutan utama dalam kota. Selain itu, didatangkan taksi-taksi secara bertahap.
Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit. Salah satu masalahnya adalah kurangnya jumlah dan panjang jalan, serta sempitnya jalan yang sudah ada.Tak sebanding dengan jumlah kendaraan
Kondisi ekonomi masyarakat membaik pada sekitar 1972. Ini memberi pengaruh pada gairah masyarakat untuk lebih maju, berarti semakin meningkat pula tuntutan masyarakat.”
Sumber: Bang Ali Demi Jakarta 1966 – 1977 karya Ramadhan K.H.