SULIKI 1897– JALAN RAYA POS – SUNGAI SINAMAR
PANDAM GADANG
Asal mula leluhur Tan Malaka dari garis ibu tinggal di Kamang (Bukittinggi).
Tanah di sana tidak cukup subur memberi makan pada para penduduknya yang semakin banyak jumlahnya.
Awal abad 19, Datuk Tan Malaka berikut kemenakan-kemenakannya meninggalkan Kamang untuk menetap di tempat lain (menuju Pandam Gadang di sebelah Utara).
Di tengah perjalanan mereka singgah di sebuah lembah. Mereka mendapati serumpun pandan besar yang di bawahnya mengalir mata air. Datuk Tan Malaka memutuskan untuk menetap di tempat itu. Lembah subur inilah yang dipilih menjadi tempat tumbuh beranak pinak.
Kampung yang baru itu diberi nama Pandam Gadang. Desa itu berkembang dan maju di bawah pimpinan Datuk Tan Malaka dan kemudian di bawah pimpinan Datuk Mahurun Basa.
Kampung terdiri dari 25 rumah. Ladang-ladang. Kebun kelapa dan tebu. Banyak Empang.
Masjid, balai desa, sekolalah.
Pemerintah kolonial Belanda menempatkan seorang kontrolir, pejabat setingkat camat di Pandam Gadang. Penanda kekuasaan Belanda pada waktu itu adalah penduduk diwajibkan menanam kopi di seperlima lahan untuk diserahkan kepada pemerintah. Pada 1908 pemerintah Belanda mengganti kewajiban tanam kopi menjadi pajak.
RUMAH KELAHIRAN
Rumah gadang di Nagari Pandam Gadang kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu utama dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan“Tan Malaka”. Rumah ini didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka.
(keterangan: Sejak Februari 2008, rumah ini beralih fungsi menjadi museum. Buku-buku karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ.)
Keluarga Ibra mendiami sebuah rumah gadang milik kaum, lengkap dengan lumbung padi, surau, dan beberapa kolam ikan.
Berlatar perbukitan, di rimbuni pohon kelapa, lengkap dengan sungai dan hamparan sawah. Kehidupan warga kampung tidak terlalu sulit. Alam begitu pemurah. Sawah dipanen dua kali setahun. Air gunung siap mengaliri sawah dan mengisi empang sepanjang tahun.
(Ibra dilahirkan di sebuah surau – juga dijadikan tempat tinggal – yang cuma beberapa langkah dari rumah gadang. Kini surau itu tidak ada. Tanah tempat surau itu berdiri telah menjadi sawah.)
Ayah Ibrahim bernama Rasad
(Berasal dari puak Chaniago. Leluhurnya datang dari Bonjol, utara Payakumbuh, ketika pecah Perang Paderi, keluarga mereka lari dan menetap di lembah Pandam Gadang. Meski cuma 23 kilometer dari pusat Kota Payakumbuh, lembah ini susah dijangkau karena jalan yang rumit berliku.)
Rasad bekerja sebagai vaksinator (mantri suntik) pemerintah daerah di Alahan Panjang dan Tanjung Ampalu dan mendapat gaji sebanyak beberapa puluh gulden setiap bulan. Ayah Ibra hanya pegawai rendahan.
(Tapi menurut cerita Kamaruddin, Rasad adalah mantri yang bertugas mengatur distribusi garam – yang dimonopoli penguasa – di kampung.)
Yang jelas, keduanya jenis pegawai rendah yang cuma bergaji belasan gulden.
Ibu Ibrahim bernama Sinah. (Berpuak Simabur)
1897 lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Ibrahim. (Catatan: Tahun kelahirannya masih belum disepakati, diperkirakan antara 1894-1897).
Ibra adalah potret bocah lelaki Minangkabau.
Gemar sepakbola, main layang-layang, dan berenang di sungai.
Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu kelaziman setempat, segan menginap di rumah ibunya. “Ibra seorang anak pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Ia hafal Quran.
Ibrahim belajar di sekolah kelas dua Suliki. (Sekolah kelas dua yang terbesar dipimpin oleh seorang siswa kweekschool dan lainnya dipimpin oleh seorang guru pembantu).
Para murid sekolah kelas dua harus membayar uang sekolah sebanyak 10 sampai 50 sen setiap bulan tergantung pada pendapatan.
Ketika mengunjungi ayahnya di Tanjung Ampalu, Sawahlunto.
Ibra ditantang anak-anak setempat buat menyeberangi Sungai Ombilin. Orang dewasa pun kewalahan menyeberangi sungai selebar 50 meter itu karena arusnya deras. Tapi Ibra memenuhi tantangan itu. “Maka tewaslah napas dan hilanglah ingatan diombang-ambingkan ombak deras.”
Tubuh lemah Ibra terapung di sungai. Beruntung seorang teman bertubuh besar menyeretnya ke tepian sungai.
“Setelah ingatan kembali, tiba-tiba Ibu sudah berada di depan saya dan siap memukulkan rotan sebagai pelajaran.” Baru beberapa kali kena pukul, Ibra “diselematkan” ayahnya.
(Rasad menyadari betapa sakitnya pukulan dengan sapu lidi itu, mengusulkan supaya ia diberi hukuman yang lebih lunak.)
“Dengan alat yang biasanya digigit kuda, dimasukkan ke dalam mulut Ibra. Ibra harus berdiri di pinggir jalan, menjadi tontonan bagi anak-anak kaum priayi yang tidak boleh bermain-main dengan anak-anak kampung seperti dia dan hanya boleh bermain dengan anak-anak yang sederajat.”
Tapi hukuman psikologis ini rupanya tidak memuaskan Sinah. Sinah kemudian pergi ke seorang pejabat yang lebih tinggi, yaitu guru kepala, yang menghukumnya dengan memutar pusarnya, suatu hukuman yang paling ditakuti para murid.
Dan bukan kali itu saja, Ibra dihukum.
Pernah Ibra dihukum karena bersama kawan-kawannya melintasi sungai dengan menyelam di bawah perahu. Ketika ia dihukum, anak-anak lainnya dari Suliki juga hadir.
Lain kali Ibra dihukum karena berkelahi di dalam sungai. Anak-anak lainnya pada suatu ketika meninggalkannya semua. Ini mengherankan Ibra. Tapi Ibra tetap saja memukul air supaya menang. Ketika Ibra kembali ke tepi sungai berpakaian, guru kepala sudah berdiri di sana untuk memberi hukuman pilin pusat padanya.
Ibra juga dihukum karena pecahnya “perang frontal” antara anak-anak dari berbagai kampung, yang awalnya memakai jeruk berubah memakai batu sebagai senjata yang dilemparkan kepada lawan. Ibrahim dihukum sebagai penjahat perang. Ia dimasukkan ke dalam kandang ayam.
Tapi hukuman ini masih belum memuaskan Sinah, ibunya. Oleh guru gadang, Ibra dihukum lagi dengan cara yang paling ditakuti itu: Pilin Pusat!
Karena selalu Ibra yang harus menjadi korban hukuman pilin pusat itu oleh Guru Gadang, di kalangan kawan-kawannya, Ibra menjadi semacam “jagoan”.
Ibrahim mempunyai seorang adik laki-laki yang diberi nama Kamaruddin.
Bagi Sinah, seorang perempuan Minangkabau ini, kelahiran Kamarudin yang juga seorang anak lelaki merupakan sumber kesedihan.
“Seorang ibu Minangkabau merasa terpukul berat apabila tidak mempunyai seorang anak perempuan. Di Minangkabau adat menentukan bahwa anak-anak perempuan mewarisi milik, rumah, sawah, ladang, dan harta lain. Suasana dalam rumah Minangkabau yang tidak ada anak perempuannya sepi sekali, karena tidak ada pewaris yang menguasai rumah, halaman, dan tanah-tanah lainnya.
Jauh di dalam dirinya, Sinah menyembunyikan kesedihannya karena tidak mempunyai seorang anak perempuan. Ibrahim dan Kamaruddin, tidak memenuhi tuntutan sistem matriarkhat, tuntutan-tuntutan yang hanya berlaku bagi wanita. Dibandingkan dengan lain-lain wanita Minangkabau, Sinah selalu berdiam diri. Anak lelakakinya akan pergi meninggalkannya, yang memang sering terjadi di Minangkabau dan juga diketahui semua penduduk desa, tetapi untuk waktu yang lama sekali, dan Sinah tidak mempunyai kawan perempuan yang dekat ataupun seorang anak angkat perempuan.”
Walau sering mendapat hukuman, guru-guru sangat mengingini Ibra melanjutkan pelajarannya karena dia mempunyai otak yang tajam sekali. Hal ini bisa terlaksana kalau ada jalan bagi Ibra untuk belajar di kweekschool (sekolah guru) Fort de Kock.
Keluarga Ibrahim mendukung keinginan para guru itu. Walau ayah Ibrahim pegawai rendah, tetapi para guru menunjuk pada keturunan Ibra yang tinggal (Keluarga besar Datuk Tan Malaka), disamping kecerdasannya yang luar biasa, sebagai alasan-alasan supaya ia diterima di sekolah guru.
Pada akhir masa sekolah rendah Ibrahim, Kultur kopi secara paksa dihapuskan oleh pemerintah. Pajak dipungut secara langsung. Ini menimbulkan perasaan-perasaan tidak senang. Akhirnya meletus dalam ledakan-ledakan setempat yang banyak memakan korban.
Bulan Juni pemberontakan berakhir setelah pertempuran berdarah di Kamang pada 1908.
Ibrahim yang sangat berkesan padanya. Ibra melontarkan banyak pertanyaan tentang kejadian itu. Dia merasa dirinya terlibat di dalamnya, karena nenek moyangnya (dari pihak ayah) berasal dari daerah yang sama.
FORT DE KOCK
Sekolah Guru Negeri untuk “Guru-Guru Pribumi” di Fort de Kock merupakan satu-satunya lembaga untuk pendidikan lanjutan bagi orang Indonesia di Sumatera. Sekolah guru itu didirikan tahun 1856. Sekolah guru harus mempunyai tiga guru bangsa Eropa di samping beberapa guru pribumi. Untuk mendirikan sekolah itu, disediakan dana yang cukup besar, sedangkan para murid pun diberi bayaran setiap bulan. Rencana pelajaran disusun dengan teliti sekali. Sekolah itu menarik murid-murid dari berbagai daerah.
Resort dari sekolah guru itu mencakup seluruh Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka, Belitung, dan Kalimantan Barat; 40 persen dari murid-murid itu berasal dari Minangkbau. Murid ini telah dipilih melalui suatu ujian, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibrahim pun berhasil lulus dari ujian itu.
Tan Malaka merupakan salah seorang dari murid asal Minangkabau yang diterima; untuk ketiga tempat ini setiap tahun terdapat antara 200 dan 300 calon.
Fort de Kock (Bukit tinggi) adalah rantau pertama Ibra. Para tetua kampung melepasnya.
(Merantau adalah jiwa masyarakat Minangkabau. Seorang perantau diyakini bakal membawa nilai-nilai kebaikan yang ada di dunia luar sana. Sistem matrilineal, juga adat anak lelaki yang tidur di luar rumah, adalah sebagian instrumen yang mendorong lelaki yang beranjak dewasa segera “terusir” dari kampung.)
Sekolah itu mempunyai 76 murid (Tujuh belas di antara mereka mengikuti pelajaran untuk menjadi pamong praja pribumi.)
Kelas pertama mempunyai 14 murid, diantaranya seorang gadis. Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa.
Semua murid mendapat uang saku sebanyak f 19,- setiap bulan (untuk biaya makan sehari-hari), selain dari pelajaran cuma-cuma, buku-buku, alat-alat sekolah, dan satu kamar gedung asrama.
Pendidikan enam tahun lamanya. Tahun yang terakhir merupakan tahun praktek. Enam hari setiap minggu diberi pelajaran dari pukul 7.30 sampai pukul 13.00.
Pada sore hari dari pukul 16 sampai pukul 17.
Murid-murid dari kelas 6 pada siang hari memberi pelajaran di sekolah ekstern, sebuah sekolah rendah pribumi biasa dengan 200 murid.
Pada malam hari para calon guru mendapat pelajaran dari pukul 18.30 sampai pukul 20.30. Murid-murid lainnya pada waktu itu menyelesaikan pekerjaan rumahnya dalam sebuah ruangan sekolah yang besar.
Sekali setiap tahun para murid diberi masa libur selama enam minggu.
Mata pelajaran yang terpenting adalah bahasa Belanda. Dari 35 jam belajar, 15 sampai 18 jam digunakan untuk pelajaran bahasa tersebut di semua kelas.
Setelah dua tahun, bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran.
Bahasa Melayu pun (3-5 jam) sering meminta banyak perhatian, karena bahasa-bahasa para murid sering jauh menyimpang dari bahasa Melayu.
Mata pelajaran lain ialah: berhitung, ilmu ukur, mengukur tanah, ilmu bumi, sejarah pribumi, ilmu alam (yang dianggap penting untuk melenyapkan takhayul), ilmu hayat, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, (sebuah kebun di pekarangan belakang sekolah dipakai dalam mata pelajaran ini, yang juga membicarakan masalah penyuluhan pertanian), ilmu pendidikan, menggambar, menulis, dan menyanyi.
Di pekarangan belakang berdiri suatu asrama dengan 74 kamar, dan juga sebuah gedung sebagai tempat mandi.
Para murid makan di rumah keluarga-keluarga di kota, yang memberi makan tiga kali sehari dengan bayaran f7 sampai f 8 setiap bulan.
Para murid harus mematuhi peraturan-peraturan rumah tangga yang sedikit sekali memberi kesempatan pada mereka untuk berbuat di luar garis.
Selambat-lambatnya pukul 6 pagi para murid harus bangun.
Setelah pukul 9 malam, setiap murid sudah harus di kamarnya dan tidak boleh ribut-ribut.
Pada pukul 10 malam semua lampu harus dimatikan.
Sewaktu-waktu diadakan ronda, dan dalam perondaan itu paling sedikit lima kamar dibuka sebagai kontrol.
Pakaian para murid harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dan “mereka pun harus menyeka bersih pegangan pintu dan harus menyapu bersih ruang depan dan pinggiran-pinggiran selokan.
Sebagai imbalan atas kewajiban-kewajiban itu ada hal-hal yang menarik. Di lapangan ada lapangan tenis dan di dekatnya lapangan sepakbola.
Juga ada sebuah perkumpulan musik, dengan 15 anggota yang dilatih setiap Sabtu Malam. Perkumpulan itu membeli sendiri alat-alat musiknya.
Sekolah mempunyai perpustakaan. Para murid membentuk sendiri suatu perkumpulan pembaca.
Pada waktu-waktu tertentu para murid bertamasya dengan jalan kaki melihat pemandangan di sekitarnya.
Ketika Ibrahim masuk sekolah guru, staf bangsa Eropa terdiri atas empat guru: B.J. Visscher (direktur), T. Kramer (guru kedua), G.H. Horensma, dan C.F. Ijspeert (guru pembantu).
Horensma tidak lama kemudian menjadi guru kedua dan jabatan itu dipegangnya sampai tahun 1913. Direktur ketika adalah G. Ch. Levell, dan sebagai guru pembantu yang bekerja di sekolah itu terdapat: J.S. Bakker, J.H. Klein, dan G.P. Leenhouts.
Pelajaran dalam bahasa Melayu diberikan oleh tiga orang Indonesia yang bekerja di sekolah itu. di antaranya terdapat S. Nawawi gelar Sutan Makmur yang sudah sejak 1883 bekerja di sekolah itu. Anak perempuannya (Sarifah) belajar di sana sebagai satu-satunya murid perempuan.
Di sekolah guru, Ibrahim merupakan seorang pemuda yang tertib, hormat, dan ramah. Setiap orang yang mengenalnya senang padanya. Disini, Ibra berkenalan dengan budaya negeri penjajahnya.
Dalam waktu singkat sekali otaknya yang cemerlang itu menarik perhatian. Terutama Guru Horensma dan istrinya, banyak memperhatikan Ibrahim. Mereka menganggapnya sebagai semacam anak angkat dan merasa amat senang padanya. Mereka memberikan julukan Ipie kepadanya, diambil dari Ibrahim.
Berkali-kali mereka mendorongnya untuk leb banyak belajar, tetapi dengan sia-sia.
“Lebih baik dikurangi sepak bolanya dan musiknya, kata mereka, supaya Ibrahim bisa belajar lebih lama.”
Tapi sia-sia. Anak pedalaman Suliki ini tetap saja gemar bermain. Untung saja, si badung memang cerdas. Dia tak perlu mengulang untuk menyerap pelajaran. Ia selalu menjadi siswa yang paling cerdas hingga Horensma begitu terkesima.
Untuk belajar ia memerlukan tidak begitu banyak waktu seperti kawan-kawannya sekelas.
Dengan demikian, masih banyak waktu terluang baginya untuk memenuhi kegemarannya, yaitu sepak bola dan musik.
Ibrahim turut main dalam orkes sekolah guru dan dalam orkes Eropa di Fort de Kock sebagai pemain cello pertama. Kedua orkes itu dipimpin oleh Horensma.
Ketika musim liburan tiba, Ipie kembali ke Pandan Gadang.
Di rumah, ia memastikan adiknya, Kamaruddin, belajar sungguh-sungguh. Ia memang tidak mengajari adiknya. “Tapi dia marah jika adiknya yang cuma satu itu mendapat nilai rendah”.
Pernah suatu ketika Kamaruddin mendapat nilai merah. Tak banyak cakap, Ipie menyeret adiknya ke empang dan berulang kali membenamkannya. “Bodoh, kamu harus belajar!”
Masa yang menyenangkan bagi Ibrahim di sekolah guru itu terputus pada bulan Juni tahun 1912 (Setahun sebelum ujian teori akhir) Ibra dipanggil pulang oleh keluarga besar di Pandam Gadang. Ia harus menerima penobatan sebagai pemangku Datuk Tan Malaka, menggantikan pemegang gelar terdahulu yang sudah uzur
Biasanya orang mendapat gelar itu bersamaan waktunya dengan mengikat diri dalam pertunangan yang diatur oleh para orangtua.
Rapat tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, berlangsung sengit.
Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk. Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur.
“Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin,”
Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.
Pesta itu sekaligus penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi dan pesta perpisahan. Sebab, datuk muda itu akan segera ke Belanda.
Guru Horensma akan membawa Ibrahim melanjutkan sekolah guru di Rijkskweekschool, Haarlem.
Rupanya, penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur Sinah, ibunya, ada bersebab.
Telah ada gadis lain di hatinya: Syarifah Nawawi, anak keempat Nawawi Sutan Makmur – guru bahasa Melayu di Kweekschoo (yang membantu Charles van Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe (dikenal sebagai tata bahasa Ophuijsen) pada 1901)
Ibrahim menolak pertunangan itu. Ibrahim berkata “Jika pertunangan itu dipaksakan padanya, ia tidak mau menerima gelarnya.”
Keluarganya menganggap soal mendapat gelar itu lebih penting, dan pertunangannya dibatalkan. Penolakan Ibrahim itu membawa suasana kurang meriah pada perayaan pada hari itu.
Menurut perkiraan kawan-kawannya, Tan Malaka tidak mau bertunangan karena ia mau kawin dengan satu-satunya murid perempuan di sekolah guru, yakni Syarifah Nawawi. Tetapi rasa cinta Syarifah yang rupanya timbul di dalam hatinya bagi Ibrahim, kawan sekelasnya itu tidak terjawab.
Setelah kejadian ini yang membuktikan bahwa Ibrahim mempunyai sikap tidak bisa dipengaruhi.
Kembali ke Fort de Kock, Ipie tenggelam dalam pelajaran dan hobinya.
Pada 1913 ia merampungkan ujian teori akhir dan ikut praktek mengajar di sekolah rendah pribumi.
Di sekolah rendah ini, dia mendapat kesenangan baru mengajar baris-berbaris.
Ibra memperlihatkan bakat yang luar biasa untuk pedagogi. Dalam masa istirahat ia selalu bergaul dengan anak-anak dan mengajarkan pada mereka antara lain berbaris di bawah komando sendiri. Latihan-latihan seperti itu amat disukai para murid,
(Kelak, di Eropa, ketertarikan pada dunia militer mendorong Ipie melamar sebagai legiun asing tentara Jerman. Sayangnya, Jerman tidak membentuk legiun asing. Impian Tan memasuki dunia militer tak tercapai.)
Alangkah sedihnya mereka ketika Ibrahim harus meninggalkan mereka.
Horensma menyarankan agar sang datuk muda belajar di Belanda. Terbukalah suatu kesempatan yang unik untuk Ibra.
Atas bantuan W. Dominicus, kontrolir Suliki, pemuka warga mengumpulkan f 30 per bulan untuk biaya sekolah Ipie di Belanda. Rijkskweekschool. Jaminannya adalah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya.
Horensma pada akhir tahun 1913 akan berangkat ke Negeri Belanda untuk menghabiskan masa cutinya di sana. Selama ia mengajar di sekolah guru, ia serta istrinya sangat tertarik pada Ibrahim. Horensma sangat mengingini supaya Ibrahim setelah ujiannya yang terakhir berhasil baik akan melanjutkan studinya di Negeri Belanda.
Atas usul Horensma, mereka pergi ke Suliki untuk berjumpa dengan seorang kawan baik Horensma, yaitu W. Dominicus, yang bekerja sebagai kontrolir (kepala suatu onderafdeling)
Atas prakarsa mereka didirikan suatu yayasan, dengan memakai sebagai jaminan milik keluarga Ibrahim sejumlah orang yang berada berjanji akan menyetor setiap bulan f 30 untuk turut membiayai pelajaran Ibrahim di Negeri Belanda selama dua tahun atau tiga tahun. Jaminannya adalah harta keluarga Tan Malaka. Ia harus kembali setelah tiga tahun dan membayar utang itu dengan gajinya setelah kembali ke tanah air. Orang tua Ibrahim tidak mungkin dapat menyediakan sebagian kecil pun dari uang sebanyak itu.
Anggota-anggota yayasan itu terdiri atas para guru di sekolah guru, pegawai negeri, dan terutama sejumlah orang yang berada di Suliki.
Pada bulan Oktober 1913, Ibrahim berangkat bersama keluarga Horensma dengan kapal Wilis ke Negeri Belanda untuk bergabung di sana dengan sekelompok mahasiswa Indonesia yang jumlahnya hanya beberapa puluh saja.
Dari keluarga, hanya Kamaruddin yang melepasnya di Teluk Bayur. Ibra menyongsong hidup dan kematiannya yang lebih dahsyat ketimbang fiksi.
Setelah kepergian itu, Ipie putus hubungan dengan keluarga. Ia cuma dua kali menyambangi Suliki, itu pun sebentar, pada 1919 dan 1942.
Satu-satunya surat yang ia kirim justru ditujukan ke Syarifah – siswi semata wayang di Fort de Kock. “Isinya ungkapan cinta, tapi tak berbalas.”
Dari Bukittinggi, cakrawala Ibra betul-betul meluas. Dia kemudian menjejakkan kaki dan turut mengukir sejarah melalui persinggahannya di berbagai kota dunia, dari Manila sampai Moscow.
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)