“Dengarkan nyanyi sangsai Seruling Bambu Mendesah selalu, sejak direngut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.”
(Rumi)
Tan Malaka sebagai seorang pelarian politik adalah unik karena dia termasuk pengarang yang meninggalkan banyak tulisan.
Bagaimanakah proses kreatif Tan sebagai pengarang yang paling berpengaruh dalam sejarah Republik Indonesia? Ini didapatkannya dari dua buah proses. Pertama Tan menyerap ide-ide penting terutama ketika masa sekolahnya di Negeri Belanda selama enam tahun.
“Proses pertama sudah berlaku dalam pergolakan hidup selama 6 tahun di Nederland itu. “Keadaan sudah membentuk paham” yang rasanya tak lekang dek panas tak kan lapuk dek hujan.”
Walaupun kehidupan Tan Malaka terlihat sunyi kalau dilihat dari luar, tapi di dalam kepala bukan main ramainya terjadi pergolakan pemikiran yang tidak kasat mata. Tapi apakah itu cukup untuk membuatnya menjadi seorang pengarang yang produktif dan kreatif? Ternyata tidak. Ada proses kedua yang sifatnya unik yang merupakan pengalaman pribadi sang pengarang yaitu ketika Tan menjadi seorang pelarian politik yang terbuang dari tanah air. Pada masa inilah maka pengalaman hidupnya menjadi “buku” yang bisa dibaca. Pada saat menjadi pelarian politik sekaligus menjadi proses merantaunya. “Rantau terkembang menjadi Guru.” Pada periode kedua ini juga tulisan akan menjadi senjata buat perjuangan seorang pelarian politik. Tulisan menjadi alat perpanjangannya sebagai seorang guru yang tidak bisa bertatap muka dengan para murid-muridnya.
“Proses kedua: “Paham berkehendak membentuk masyarakat”. Inilah yang dirasa satu kewajiban hidup yang mesti dilakukan dalam hujan atau panasnya penghidupan.”
Maka Kesengsaraan akibat terusir dari Tanah Air dan tanpa teman seperjuangan yang dialami Tan Malaka menjadi hikmah, seperti puisi yang ditulis oleh Rumi:
“Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus menerus tiada henti, “Mengapakah engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku seperti ini? Sang isteri memukulnya dengan penyendok. “Sekarang,” katanya, “jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api. Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat.
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan. Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan masuk ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini jadilah singa hutan!
Hidup Tan Malaka menjadi seperti “buncis” dalam puisi Rumi diatas “direbus” oleh “api kehidupan sampai akhirnya menjadi matang lezat. Pengusirannya, membuat Tan Malaka merantau dari satu negri ke negeri lain untuk menghindari musuh yang hendak menangkapnya. Penderitaan yang dijalananinya membuat dia sengsara, hampir-hampir tak tertahankan. Sang Buncis sudah berteriak minta dikeluarkan dari dalam panci, namun Sang Koki belum membolehkannya keluar sampai sang buncis benar-benar matang dan menjadi singa hutan.
Kedua proses yang terjadi inilah yang membuat tulisan Tan Malaka sangat memikat dan hidup pada hampir semua tulisannya, menjadi tidak kering dan gersang seperti layaknya tulisan akademis termasuk juga buku Madilog walaupun topik-nya sangat “berat” tetap enak dibaca. Apalagi membaca Otobiografinya Dari Penjara ke Penjara.
Berikut contoh narasinya yang puitis di Otobiografinya:
“Hawa mulai sejuk, hujan rintik-rintik, angin bertiup sepoi-sepoi basah, November 1919. Kapal Samudra mengangkat jangkarnya dengan gemuruh, memutarkan mesin sayap di buritan, mengombak gelorakan air, lebih hebat daripada rodanya ikan paus mengacaukan lautan sekelilingnya, waktu mulai berenang. Perlahan-lahan kota Amsterdam ditinggalkan sampai hanya kelihatan kelompokan rumah yang kabur, sayup-sayup dipandang mata….”
Siapa yang mempengaruhi gaya bahasa tulisan Tan Malaka?
Kekaguman atas persatuan semangat dan organisasi Jerman, pada waktu permulaan membaca buku yang berisi, menarik saya kepada ahli filsafat Jerman yang sangat mempengaruhi pemuda penggempur Jerman di masa itu: Friedrich Nietsche.
Di sudut Jacobijnen-straat ada sebuah toko buku waktu berangkat dan pulang sekolah saya melalui toko buku tadi. Perhatian ke toko buku ini memuncak bersama-sama dengan memuncaknya gelora perang di medan pertempuran Eropa, dan masa Strum und Drang yang mengikat usia saya. Tak ada buku yang berarti luput dari mata dan pembacaan kilat. Cuma kesanggupan membeli amat terbatas, dan bisa dilakukan hanya dengan menutup mata terhadap barang lain yang bukan buku, disertai mengikat pinggang lebih erat.
De groote denkers der eeuwen dipasang dipasang di belakang kaca: Friedrich Nietsche zoo sprak Zarathustra. Buku karangan Nietsche yang lain yang tak kurang popule rnya di antara Pemuda Jerman di masa itu ialah De Wil tot Macht.
Kalau pernah saya ditarik oleh bahasa, maka bahasa Nietchelah yang mengambil bagian amat besar: “Die Umwertung aller Werten”, pembatalan nilainya segala nilai.
Betapa besar memang pengaruhnya sebuah buku pada perjalanan intelektual seseorang. Ide seperti mempunyai “kaki yang terus berjalan sampai jauh” Padahal filsuf Schopenhauer mempengaruhi Nietzche.
Pengalaman membaca karya Schopenhauer adalah salah satu peristiwa terpenting dalam kehidupan intelektual Nietzche. Dan ini juga terjadi di Leipzig pada akhir Oktober 1865. Saat itu ia sedang mengalami kegelisahan dan kegundahan yang amat mendalam. Ia sedang merasa amat pesimis akan hidupnya. Ketika ia mengunjungi sebuah toko buku-bekas, ia tertarik pada salah satu buku bekas karya Schopenhauer (1788-1860), yaitu Die Welt als Wille und Vors-tellung (The Worlds as Will and Idea, Dunia sebagai Kehendak dan Ide, 1819). Semula ia membeli buku ini hanya karena ‘iseng’ saja. Tetapi setelah membaca buku itu sampai habis, ia segera menyatakan diri pada temannya bahwa ia sudah menjadi seorang pengikut Schopenhauer.
Lantas seperti apakah pengaruhnya bahasa Nietzsche pada Tan Malaka?
Hampir semua buku Nietzsche tidak ada yang ditulis secara sistematis. Untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya ia menulis dalam bentuk aforisme. Satu aforisme terdiri dari beberapa kalimat saja atau hanya satu paragraf. Bahkan ada juga satu aforisme yang terdiri dari satu kalimat. Satu aforisme ini merupakan gagasan utuh, yang tidak tergantung pada aforisme sebelum dan sesudahnya.
Sedikit perbandingan pengaruh Nietzsche pada filsuf penyair Muhammad Iqbal yang juga bapak Republik Pakistan.
Tidaklah mudah untuk menentukan sejauh mana pengaruh Nietzsche terhadap seorang eksistensialis Muslim ini, disebabkan banyak gagasannya terasa begitu personal dan orisinal.
Berbicara tentang pengaruh, Iqbal sendiri mengakui bahwa dia adalah seorang pengagum Goethe (1749-1832) dan Hegel. Goethe dan Hegel, kata Iqbal, telah mengajaknya ‘masuk’ ke dalam segala sesuatu. Dia merasa berhutang banyak pada Goethe dan Hegel. Dia bahkan mengakui bahwa pujangga Jerman ini telah ikut membentuk hidupnya. Kalau berbicara tentang dua orang ini, dia seolah-olah tidak kuasa untuk tidak mengikuti mereka. Dia merasa iri pada bangsa Jerman yang menjadi tempat kelahiran Goethe dan Hegel.
Salah satu catatan yang memberikan isyarat tentang bagaimana sikap Iqbal terhadap pemikiran Nietzsche dapat ditemukan dalam salah satu catatan hariannya yang berbunyi:
“Filsafat Nietzsche – paling tidak dalam bidang etika – adalah sebuah usaha rasional untuk membenarkan perilaku bangsa Eropa, tapi nabi besar aristokrasi ini juga dikutuk hampir di seluruh Eropa. Hanya sedikit sekali yang mengerti arti kegilaannya”.
Di satu pihak, catatan ini menunjukkan pengakuan Iqbal atas usaha Nietzsche, di lain pihak catatan ini melukiskan keterbatasan orang-orang Eropa menangkap seruan “nabi” dari Jerman ini. Dengan pernyataannya ini tak dapat disangkal bahwa Iqbal merasa sebagai salah seorang dari kelompok yang “hanya sedikit” dalam memahami pemikiran Nietzsche. Memang, dalam tulisan-tulisan Iqbal, Nietzsche seolah bagaikan sumur tanpa dasar. Nietzshce tampil sebagai pribadi yang diajak dialog terus menerus. Hal ini kadang-kadang membuat sulit untuk membedakan mana pandangan Nietzshce dan mana pandangan Iqbal.
Perbandingan Kesepian dan kegelisahan: Nietzsche, Iqbal dan Tan Malaka
Salah satu temperamen kepribadian Iqbal adalah pendiam. Dia adalah tipe orang yang memendam kesepian. Inilah, paling tidak, kesan-kesan yang ditangkap oleh orang-orang yang mengenalnya secara dekat termasuk oleh Javid Iqbal, putra sulungnya. Kesepian merupakan bagian dari pengalaman hidup Iqbal yang cukup menonjol. Sejauh mana hubungannya antara pengalaman kesepian dan hasil-hasil pemikirannya, sulit untuk menilainya. Berbicara tentang Nietzshce dan Iqbal dari segi kesepian, ada satu hal yang sangat menarik. Keduanya merupakan tipe orang yang tidak hanya dilanda kesepian namun juga lama-kelamaan menjadi pemuja kesepian. Nietzshce pernah mengatakan: “Kesepian adalah rumahku”, dan Iqbal mengatakan: “Keadaan dasar jiwa manusia adalah kesepian.”
Javid Iqbal, anak pertama Muhammad Iqbal, dalam artikelnya berjudul “Ayahku”, tak henti-hentinya menyebutkan sisi kehidupan ayahnya yang kesepian dan pendiam. Pengalaman kesepian Iqbal tampak sangat mencolok terutama pada tahun-tahun terakhir hidupnya sebagaimana disaksikan oleh Javid:
“Pada fase kehidupan ini, dia dikejar-kejar oleh perasaan kesepian yang sangat. Dia sering meratap: “Aku menghabiskan seluruh hari-hariku berbaring di sini, seakan-akan aku orang asing. Tak seorang pun yang datang dan duduk bersamaku.”
Bagi Iqbal kesepian bukanlah sekedar merupakan pengalaman psikologis. Seperti sudah diungkapkan diatas, dia sampai pada kesimpulan bahwa “keadaan dasar jiwa manusia adalah kesepian”.
Temperamen Iqbal ini berpengaruh pada cara hidupnya sehari-hari. Dia, menurut pengamatan Javid, sangat menyukai kesendirian dan kesunyian. Dia sangat tidak suka dengah hal-hal yang memecah keheningan. “Satu-satunya aturan”, demikianlah kata Javid, “yang begitu ketat dijaga oleh ayah adalah untuk tidak berisik di dalam rumah. Temperamennya ini juga berpengaruh pada kedudukannya sebagai ayah. Iqbal bukanlah tipe seorang ayah yang hangat. Javid memberikan kesaksian:
“Sekilas dia mengesankan seorang ayah yang pendiam dan agak dingin. Ketika melihatku berlarian ke sekeliling rumah, dia tersenyum kecil, seakan-akan memaksanya tersenyum. Tapi, seringkali aku menyaksikannya duduk sendirian di kursi malas, dengan mata terpejam, tenggelam dalam pikiran-pikirannya sendiri”.
Sekalipun Iqbal menyukai keheningan, dia juga dikenal sebagai orang yang penuh humor. Akan tetapi sekalipun dia mengakui bahwa keadaan jiwa manusia adalah kesepian, dia sangat membenci kesepian. Salah satu perjuangan hidup Iqbal adalah bagaimana keluar dari rasa getirnya kesepian ini. “Apa yang dimilikinya”, kata Daud Rahbar, “ paras yang tampan, rasa humor yang tinggi, dan gaya bicara yang brilian – semuanya itu hanyalah pasir, batu dan adonan semen dari semuanya itu hanyalah pasir, batu, dan adonan semen dari sebuah bendungan yang menyimpan aliran deras air mata.
Walaupun Tan Malaka juga mengalami psikologi kesepian, namun Filsafat Marx yang menyerukan untuk merubah dunia menjaganya tidak larut dalam eksistensialisme.
“Revolusi Rusia sudah hampir satu tahun berlaku. Keyakinan saya bertambah erat, tetapi untuk kembali ke Indonesia saya harus menunggu sehabis perang. Nafsu yang terhambat di satu pihak itu terpaksa meletus di lain pihak. Faham yang meluap itu apalagi dalam dada pemuda, tak mudah disimpan di belakang pagar gigi terus menerus. Dalam percakapan hari-hari tentu terlihat juga bayangannya.
Nyonya R, nyonya teman saya, kalau berjumpa di Den Haag memberi tabik dengan “Hallo meneer Bolsjewik”, mulailah saya insaf benar akan perubahan dalam jiwa saya.
Revolusi Rusia inilah yang membuatnya memasuki periode kedua dalam hidupnya yang akan membuatnya juga menjadi seorang pelarian politik dan menjadi sumber kreatifnya sekaligus. Berikut Tan Malaka menulisnya:
Sedikit perpisahan!
Indonesia baru diingat dan diingini bumi serta iklimnya, kalau kita anak Indonesia, disalah satu bahagian bumi ini bergetar kedinginan menghadapi angin sejuk meniup salju dikelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pemandangan mata.
Masyarakat Indonesia baru kita ingat dan ingini, kalau kita berada ditengah-tenga bangsa lain yang sepatahpun kita tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.
Barulah kita hargai sesuatu pekerjaan yang mengandung tujuan dan hasrat yang pasti, apabila kita berada di negeri asing,merasai diri sendiri laksana sebiji pasir dihempaskan oleh gelombang kesana kemari, lepas dari ikatan masyarakat yang biasa kita kenal dan lepas dari hasrat hidup dan pekerjaan sehari-hari.
Lama kita menyesuaikan diri dengan hawa iklim negara baru masyrakat dan pekerjaan di negeri asing pada tingkat kemajuan Internasional sekarang ini. Teristimewa pula kalau kita berada dalam kemiskinan di tengah-tengah hawa iklim masyarakat dan semuanya asing. Dalam hal ini banyak iman yang pecah, orang buangan kembali diam-diam atau bunuh diri atau hidup terus sebagai hewan (demoralisasi). Jarang yang bisa memegang paham bermula, terus, teguh pegang hasrat dan imannya.
Perpisahan dengan masyarakat yang bersimpati pada dirinya, membuatnya pengusirannya semakin pilu. Ini dialaminya setelah meninggalkan Filipina yang dianggapnya merupakan tanah airnya, bagian dari Indonesia Asli.
Hidup setahun sebagai orang buruan, sama dengan hidup damai entah berapa tahun. Dalam tahun 1926-1927 saya pernah menjadi koresponden di Selatan. Bahannya seorang wartawan berita yang baru hangat. Tetapi setelah warta berita menjadi sepi dingin, dan keluarga seperjuangan disampingnya bertambah besar, maka terpaksa pula saya mencari pekerjaan lain yang lebih banyak memberikan hasil untuk hidup bersama. Belum lama menjabat pekerjaan itu pada suatu firma import Jerman, terpaksa pula melarikan diri. Di Bangkok terkatung-katung oleh 1001 macam sebab dan soal.
Bantuan yang berupa benda dan uang dari mereka yang tak dikenal namanya mengalir dengan deras. Dalam sikap mereka memberi bantuan itu kita mendapat keyakinan, bahwa rakyat Filipina mempunyai sejarah revolusi dan tahu akan kesulitan hidup para pemimpinnya di masa lampau. Kaya miskin, tukang warung nasi atau tukang gunting sama saja sikapnya. Seolah-olah mereka mengingat kembali suasana di masa penindasan Spanyol. Tak boleh saya lupakan sikapnya kaum Muslimin yang berasal dari Hindustan, penduduk Manila. Pada satu hari andong saya diberhentikan oleh teriak seorang Islam Hindustan: “Sir, we hear you are a moslem from Java. We have already collected some money for you”. (Kami dengar tuan adalah seorang Islam dari Jawa. Kami sudah mengumpulkan uang buat tuan). Kelak di Hongkong akan diketemukan pula tanda solidarity Muslimin Hindustan itu kepada bangsa Indonesia.
Akhirnya kaum buruh kota Manila, di bawah pimpinan Legihairo del Trabaho (gabungan Serikat Sekerja) memutuskan akan mengadakan rapat raksasa, buat membela politik parlemen dan Quezon terhadap “The right of asylum”, dan mengumpulkan uang buat bekal saya.
Lantas apa yang membuat Tan Malaka untuk tetap kuat bertahan? Tan Malaka menyadari penderitaan ini merupakan Thesis dan Anti Thesis yang “ditulis di atas kulitnya” sebagai Alam Terkembang.
Tak seberapa salahnya, kalau dikatakan bahwa alam raya kita ini, laksana satu gelanggang perjuangan yang tak putus-putusnya, antara dua kodrat yang dalam hakikatnya berderajat sama, ialah kodrat negatif dan kodrat positif. Dipandang dari sudut lain dan bergerak di lapangan lain, kedua kodrat yang sederajat ini menjelma berupa kodrat penolak dan kodra penarik (repulsion and attraction).
Rupanya Ilmu modern sedang memusatkan semua cabang pengetahuan dalam golongan ilmu alam dan ilmu kimia. Pada ilmu listrik, ilmu alam dan ilmu pisah keduanya mempunyai sari yang sama, ialah ilmu listrik. Memangnya dalam ilmu listrik inilah perjuangan terus menerus antara dua kodrat di atas tadi, nyata sekali. Mulai dari badan terkecil yang dinamai atom, maka kodrat negatif dan positif tadi menjelmakan pertentangan terus menerus.
Adapun dua kodrat tersebut berbadan pada dua bahagian atom itu, ialah elektron dan proton. Badan atom yang oleh ilmu modern dianggap terkecil itu, adalah hasil perjuangan dua kodrat positif dan negatif tadi, atau dipandang dari sudut lain adalah hasil perjuangan kodrat menolak dan kodrat menarik. Pun adanya Badan Terbesar di seluruhnya Alam Terkembang ini, seperti Bumi, Bintang, Komet dan Matahari, adalah hasil kodrat negatif-positif, serta tolak-tarik dalam juta-milyunan tahun.
Tegasnya perjuangan Adil dan Zhalim yang memakai diri dan hidup penulis ini sendiri sebagai medan perjuangan itu; perjuangan antara Adil dan Zhalim yang bersangkutan dengan hukum yang dilakukan atas diri dan hidup Sahibul hikayat ini sendiri oleh Imperialisme Belanda, Amerika dan Inggris. Akhirnya oleh Republik Indonesia yang berdasarkan KeTuhanan, Kemanusiaan, Keadilan Sosial, Persatuan dan Kedaulatan Rakyat ini dan ke apa lagian itu.
Perlakuan atas diri dan hidup kami itu tidak dipandang dengan mata dan perasaan perseorangan semata-mata, melainkan dengan jiwa yang mengakui adanya perjuangan dan kodrat, juga yang mengakui Alam Raya kita. Menurut paham kami maka masyarakat golongan dalam masyarakat itu, bahkan seorang anggotapun dalam cabang penghidupan yang mananapun juga, tak dapat luput dari kekuasaan dua kodrat itu. thesis dan anti thesis.
Buku kecil ini meriwayatkan dan anti thesis di atas kulit kami.
Di Tiongkok
Di bulan Desember 1923 Tan Malaka tiba di Canton dari Moscow.
Orang belum berhak berkata mengenal Tiongkok, kalau belum tahu hidup di desanya. Karena sebagian besar, barangkali antara 80 dan 90 % penduduk Tiongkok yang 400 juta itu berdiam di ratusan ribu (800.000?) desa itu. Sesuai dengan sistem pemerintahan kekeluargaan yang dipisahkan oleh Guru Kung (Kong Tze), maka desa Tiongkok semenjak zaman purbakala terdiri dari satu atau beberapa suku. Desa Sionching, desanya Ki-Koq, terdiri cuma dari satu suku saja, ialah suku Tan.
Rumah desa di Hokkian amat praktis, cocok dengan hawa. Angin keras terus menerus, sering berupa to-fan, to-hong, bertiup dari utara, selama empat-lima bulan di musim sejuk tiada masuk ke dalam rumah, karena dinding batu, dinding belakang rumah, yang menghadap ke Selatan, dimana matahari berada, cahaya matahari dapat memasuki pintu gerbang. Di musim panas, cahaya matahari yang masuk dari Selatan dan tentulah panas hawanya, disejukkan oleh angin Selantan yang mahsyur itu (lam-hong); masyhur karena sangat menyegarkan, laksana obat balsem menyegarkan badan yang sakit atau penat. Demikianlah rumah-rumah di pesisir Hokkian yang saya kenal benar di musim dingin menghindarkan angin sejuk dan menerima panas matahari dan di musim panas mengurangi hawa panas dengan lam-hong-nya.
Semuanya ini adalah faktor yang penting dalam kehidupan manusia sebagai “sosial animal” (hewan yang hidup dalam pergaulan). Semuanya ini menjauhi saya di desa Sionching. Cuma dengan Ki-Koq saya bisa berbicara dua tiga kalimat dalam “broken English”nya, Inggris salah.
Perasaan kesunyian, terpencil dalam suasana segala asing, buat saya sudah menjadi perkara biasa. Saya memang turunan keluarga perantau tulen dan dari kecil sudah bercerai dengan ibu bapa. Tetapi berada di tengah-tengah orang desa Tionghoa, apalagi di musim dingin, bilamana angin sejuk dari Utara menderu-deru seringkali ada sedikit mempengaruhi perasaan saya. Saya yakin, bahwa perasaan sunyi terpencil itu oleh seorang buangan di Digul yang paling penggembirapun tak akan tertahan lama. Sedikitnya di Digul masih banyak teman seperjuangan, yang berideologi, berpemandangan berpengharapan dan berbahasa sama.
Namun kesepian bertahun-tahun hidup dalam masyarakat Tiongkok tidak membuat Tan Malaka menganut filsafat mistik sepeti Taoisme misalnya. Paham ini adalah suatu mistisisme alam. Para penganut Taoisme berusaha untuk mencapai kemanunggalan dengan Alam, yang disebut Tao. Di dalam suasana kehidupan kota-kota besar di negeri kita, Taoisme mungkin sekali dipandang sebagai omong kosong belaka. Tetapi kalau melihat ke luar, ke alam bebas, ke pepohonan, ke dunia unggas, ke pemandangan nun jauh, ke ketenangan tamasya alam di musim panas atau ke amukan badai yang ganas, maka akan tampaklah bahwa banyak segi ajaran ini memperoleh bukti-bukti yang lebih kuat dibanding bukti-bukti yang dapat diberikan oleh logika yang paling canggih sekalipun.
Lagi-lagi Masyarakat Manusialah yang mengembalikan pikiran Tan Malaka tetap memijak bumi, antara lain melalui Ki-Koq sahabatnya di rantau.
Bukan tak ada yang bersimpati kepada saya! Pada satu hari Ki-Koq membawa saya ke tempat kuburan bapak angkatnya. Di sini dia mengajak saya mengangkat tangan dan berjanji satu sama lainnya akan menganggap saudara kandung dan tolong-menolong. Ini dianggapnya sumpah sakti dan Ki-Koq pun terus memegang teguh sampai perhubungan kami terputus.
Begitu juga pada seorang perempuan yang menganggap Tan Malaka adiknya:
Selain daripada Ki-Koq ada seorang lagi yang sayang sekali kepada saya dan patut saya peringati di sini. Saya anggap sayang, karena tingkah lakunya terhadap saya adalah seperti kakak kepada adik. Kakak, toa-chi, karena dia seorang wanita yang lebih tua dari saya. Dengan suaminya ia mendiami satu kamar dalam rumah. Saya tak mempunyai baju tebal buat melawan hawa yang amat dingin. Toa-chi mengeluarkan anak-baju, baju dan mantel tebal dari petinya buat saya. Berbicara kami tak bisa, kecuali sepatah dua patah kata hokkian, walaupun toa-chi pernah di Filipina. Tetapi masakan extra seperti mihum dan misoa dan sekurangnya totao, kacang goreng, adalah bahasa Tionghoa yang senyata-nyatanya guna menunjukkan tanda kasih sayang.
Toa-chi bersama tiga orang wanita lainnya dalam rumah yang lama-kelamaan saya anggap seperti rumah saya sendiri, pada suatu hari petang sedang bermain kartu untuk perintang waktu, nampak tak kelihatan suatu apa pada dirinya toa-chi. Tetapi pukul 5 tiba-tiba toa-chi terpaksa pergi ke kamar berbaring, karena rupanya menderita kesakitan yang hebat dan tak dapat bersuara lagi. Meski demikian air mukanya tak berobah, tetap seperti biasa, yakni bagus mulia “holinang” (rangkaya Tionghoa).
Pada kira-kira jam 1 malam datanglah beberapa orang memikul “toa-pe-kong”, salah satu dari patungnya dewa Tionghoa. Patung ini dipikul dibawa mundar-mandir dan dibolak-balikkan di depan rumah. Maksudnya ialah seperti yang dikenal oleh bangsa Indonesia asli: menolak dan minta maaf pada hantu yang jahat dan meminta pertolongannya hantu yang baik. Saya merasa cermat setelah melihat mukanya Ki-Koq dan mendengarkan bisikan kiri-kanan.
Dengan merasa gelisah saya masuk kamar mencoba tidur. Baru saja saya tertidur, dibangunkan lagi oleh ratap-tangisnya kaum wanita, suatu tanda bahwa toa-chi sudah meninggalkan kami. Hampir pagi rapat-tangis tadi bergerak mengelilingi rumah menuju ke bukit tempat kuburan keluarga kita. Pada malam itu juga kuburan digali untuk menguburkan mayat pada pagi harinya. Penguburan kilat, mayat yang diserang penyakit pesat itulah salah satu daya upaya bangsa Tionghoa di desa-desa Hokkian untuk menghindarkan menularnya wabah pest. Jalan yang lain ialah meninggalkan desa yang sudah diserang oleh pest itu oleh seluruh penduduk desa laki-laki dan perempuan tua muda buat sekian lama.
Demikianlah pada pagi harinya toa-chi meninggalkan itu semua penduduk rumah Ki-Koq dan seluruh desa sionching berkemas-kemas mempersiapkan diri untuk berangkat entah kemana.
Dengan air mata berlinang-linang Ki-Koq mengucapkan maksud sekeluarganya kepada saya. Dia sendiri tak tahu kemana yang dituju, melainkan mengikuti saja para wanita dan anak-anak itu. Buat dirinya sendiri dan para laki-laki lainnya belum tentu entah ada tempat atau tidak bagi mereka.
Bagaimana saya? Sekoci berangkat menuju ke Amoy baru dua tiga hari lagi akan siap.
Dengan cepat saya putuskan mempersilahkan Ki-Koq mengikuti para wanita dan anak-anak, dan saya nasehatkan sekali-kali jangan memikirkan perihal diri saya.
Ki-Koq berangkat, rupanya dengan hati berat. Dia meninggalkan semacam kayu cendana buat dibakar menghalaukan tikus. Ditunjukkannya juga tempat beras untuk dimasak.
Kamar yang saya tinggali itu biasanya dianggap sebagai “hunted room” kamar hantu. Jamnya yang sudah tua dan rusak itu apabila berbunyi, apalagi sesudah lampu dipadamkan, menambah seramnya suasana kamar. Dalam kamar yang sunyi terpencil itu saya pernah menderita sakit demam berhari-hari. Disanalah saya tidur dua malam berturut-turut, sesudah toa-chi meninggal, dengan baju hadiahnya serta selimut yang dipinjamkannya dengan ikhlas.
Apabila sebelum tidur saya membakar kayu cendana pemberian Ki-Koq, maka terdengarlah suara riuh dari tikus, besar-besar di loteng yang tunggang langgang lari terusir oleh asam cendana tadi. Takjub memikirkan nasibnya seorang wanita yang masih muda, yang kemarin saja masih dalam keadaan sehat walafiat, yang mengandung simpati pula terhadap diri saya, dan insyaf akan percobaan terus-menerus atas diri sendiri. Maka tidurlah akhirnya menjadi obat.
Sesudah dua-hari dalam keadaan sedemikian datanglah seorang petani dikirimkan oleh Ki-Koq buat mengantarkan saya ke pelabuhan Tentang. Disana sekoci sudah menunggu buat membawa saya ke Amoy. Terbukalah pula kehidupan baru, penuh riwayat, tetapi masih sunyi-senyap dari apa yang masyarakat sebutkan “kesehatan dan kesentosaan hidup”.
Begitu juga kehangatan masyarakat yang dirasakan Tan Malaka waktu berobat dengan Tabib Cina menjadi pengobat kesepiannya.
Di suatu desa kecil di Tiongkok seperti Iwe, di musim dingin pula jadi yakni di bulan Januari, dimana segala masyarakat yang segala asing itu, menambah kesunyian, maka perawatan badan yang sudah banyak menderita dorongan alam, adalah satu peristiwa yang sedikit memberi penghiburan. Saya dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana ibu dan istri-istri Tien-Jin menyelenggarakan bebek hitam yang sudah dibeli. Pelajaran itu berguna sekali buat saya. Dengan resep yang saya terima dari Sensei Choa di belakang hari selama saya tinggal di Tiongkok saya sekali atau dua kali sebulan sendiri menyelenggarakannya chiak-ak itu dengan memakai bebek biasa sebagai bahan.
Tan Malaka juga menulis pada kesedihan sahabatnya yang ditinggalkan sang istri akibat sakit akhirnya akan terobati juga oleh perjalanan waktu, yang sebenarnya dia menuliskan juga bagi perasaan hatinya sendiri.
Topan sanubari, sebagai akibatnya kehilangan kekasihpun. Sang tempo berlaku sebagai balsem pada luka yang dalam. Manusia akan tenggelam saja dalam duka cita jikalau jurang dalam diantara duka cita dengan kegembiraan hidup itu tidak dapat ditimbun oleh sang waktu, walaupun perlahan-lahan.
Akhirnya Serangan Jepang membuat Tan harus kembali pergi meninggalkan orang-orang yang sudah dikenalnya dengan baik.
Tepat pada waktunya dengan segala surat dan barang saya sudah berada di kapal. Akhirnya kapal membongkar sauhnya, bergerak dan berlayar, mulanya perlahan-lahan, meninggalkan teluk Amoy yang permai itu. Dalam hati saya dengan terharu diucapkan: Selamat tinggal Hokkian, Iwe, Amoy! Selamat tinggal Foreign Languages School dengan pemuda-pemudinya. Selamat tinggal keluarga Kikoq. Keluarga Tien-Jin dan keluarga Tan Ching Hua dengan A.P. beserta tragedinya. Sekali lagi selamat tinggal. Mudah-mudahan berjumpa lagi.
Diatas karcis tertulis: menuju ke Birma. Tetapi tempat yang dituju belumlah tentu. Yang tentu cuma saya anggap aman dan bisa memberi kesempatan buat hidup dan bekerja. Entah dimana, belum dapat diketahui….pada tanggal 31 Agustus 1937 itu!
Penulis adalah anggota Tan Malaka Institute (TMI)