Sejak dulu, keberhasilan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi selalu menuai kecaman. Masalahnya juga hampir sama, keuntungan pembangunan tidak memberikan perbaikan bagi rakyat miskin.
Perbedaan pendapatan terjadi semakin lebar, dan penguasaan asset semakin konsentratif dan akumulatif dan kemudian menjadi monopolistik.
Strategi pembangunan dengan mengharapkan tetesan pertumbuhan dari atas ke bawah (trikcle down effect) tidak memberikan harapan dan yang terjadi justru akumulasi semakin besar.
Keserakahan ternyata tidak ada batasnya hingga benar apa yang dikatakan Mahatma Gandhi ( 1869-1948), bahwa seluruh dunia ini tidak akan cukup untuk menuruti keserakahan satu orang.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi bersifat diametral terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat keseharian.
Nilai-nilai luhur Pancasila yang bersifat tremendaus tercerabut dari kehidupan sehari-hari kita dan kehidupan demokrasi kita masuk dalam sistem demokrasi banal, demokrasi politik liberal.
Lepasnya tanggungjawab bisnis, pasar dari kepentingan publik telah ciptakan sub-ordinasi dari negara dan masyarakat terhadap pasar yang semakin kosentratif, akumulatif dan monopolistik serta ciptakan krisis ekologis.
Manusia telah kehilangan hubungan harmoni dengan alamnya dan defisit kearifan lokal.
Perlu adanya arah baru perubahan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih partisipatorik dan menaruh supremasi manusia lebih tinggi dari yang material.
Hal ini dapat diwujudkan melalui agenda reformasi regulasi tentang perekonomian agar menjadi demokratis, mendorong bagi tumbuh dan berkembangnya model-model bisnis yang demokratis dan perlunya arah kebijakan fiskal dan moneter yang menaruh kepentingan nasional sebagai prioritas utama.
Keputusan ekonomi dalam sistem bisnis inklusif harus dibuat oleh masyarakat luas melalui demokrasi yang partisipatif karena dengan demikian pertumbuhan ekonomi akan menguntungkan sejumlah besar warga negara.
Mampetnya demokrasi kita saat ini adalah momentum tepat untuk menengok bisnis inklusif. Dengan harapan keadilan dan kesejahteraan bersama itu menjadi nyata bagi masyarakat luas.
Dalam sistem ekonomi Pancasila, pembangunan adalah suatu proses yang “inner will”, yaitu proses emansipasi diri, inisiatif dan partisipasi kreatif masyarakat. Dengan demikian, demokrasi ekonomi musti jadi landasan pembangunan dengan menghadirkan dalam ruang hidup keseharian warga negara.
Dalam sistem demokrasi ekonomi, ekonomi pancasila itu rakyat hadir dalam ruang –ruang keputusan sosial ekonomi mereka, bukan negara hadir. Negara berfungsi secara subsidiar terhadap kepentingan masyarakat.
Model patronase bisnis dalam sistem plutokharkhi hanya lahirkan “kapitalisme yang diciptakan oleh Negara” (state-led capitalism) juga tak diharapkan di dalam sistem ekonomi yang demokratis.
Perubahan orientasi pembangunan ekonomi saat inu mengarah pada trend privatisasi,liberalisasi dan deregulasi dan lainnya sebagainya. Orientasi perubahan kepada orientasi pasar (market-led capitalism) tak lebih hanya akan sekali lagi memperkuat posisi kapitalisme di dalam struktur ekonomi kita.
Demokrasi ekonomi adalah jaminan atas peran partisipasi seluruh masyarakat dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi.
Perekonomian yang dalam arti mikro adalah perusahaan itu menghendaki agar berikan peluang terhadap setiap warga negara untuk terlibat sebagai subyek dan bukan obyek ekonomi.
Demokratisasi ekonomi adalah cara untuk berikan rakyat peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan secara adil. Dan ini tidak bisa kita selesaikan dengan voting, bukan dengan sabotase, dan apalagi hanya dengan pemajakan dalam model negara kesejahteraan (welfare state). Demokrasi ekonomi itu adalah sebuah perubahan permanen. Perubahan kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat! Bukan segelintir orang.
Agenda Demokratisasi Ekonomi
Istilah demokrasi ekonomi disebut dalam konstitusi kita, demokratisasi ekonomi selalu dijadikan konsideran undang-undang yang mengatur persoalan perekonomian. Dalam urgensinya telah menjadi ketetapan khusus Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam ketetapan TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Ekonomi Politik dalam rangka Demokratisasi Ekonomi. Namun struktur ekonomi dualistik kita tidak berubah sejak jaman kolonial Belanda.
Kesenjangan struktural yang dilihat oleh para pendiri republik ini tidak mengalami proses transformasi sama sekali. Struktur ekonomi kita tetap terbelah menjadi dua. Deretan kemakmuran segelintir orang diatas, dan barisan besar rakyat dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Semua UU mengenai perekonomian kita bahkan disesuaikan agar pro terhadap pasar liberal kapitalistik. Pemilik modal besar jadi begitu kuasa, rakyat jadi korban dan pemerintah jadi gedibal kepentingan modal besar asing dan lokal dan bukan untuk pikirkan kesejahteraan rakyatnya. Demokrasi politik prosedural kita bahkan berjalan secara ultra liberal. Sementara, demokrasi ekonomi sebagai salah satu agenda reformasi yang penting dalam kehidupan berdemokrasi ditinggal jauh tak tersentuh di belakang.
Sistem kapitalisme negara (state-led capitalism) yang jadikan negara sebagai penjaga malam. Meminjam istilah Dawam, profesinya kini berganti sebagai penjaga kakus dalam pola kapitalisme pasar (market-led capitalism). Tugas negara bersihkan kotoran kapitalisme yang berupa kebangkrutan dengan bail-out, konflik dengan “kompromosi” tanpa dibawa kearah kerjasama, kerusakan lingkungan dengan kompensasi, kemiskinan dengan charity, kebodohan dengan pendidikan gratis. Semuanya tentu dibayar dengan pajak rakyat sendiri, dan sementara korporasi besar kapitalistik dibiarkan terus lakukan ekploitasi.
Tidak ada perubahan permanen. Panduan sistem ekonomi kita bukan lagi Konstitusi, sumber hukum kita bukan lagi Pancasila, tapi berupa pasar yang telah didominir pemilik modal besar lokal dan asing. Demokrasi ekonomi justru secara cepat telah terpreteli oleh berbagai undang-undang (UU) yang mengarah pada penguasaan pada segelintir orang dan kuasa asing. Sebut saja UU BUMN, UU Perbankkan, UU Penanaman Modal, UU Perkoperasian, UU Minerba, UU Ketenagakerjaan dan lain sebagainya.
Kesenjangan ekonomi kita telah jatuh dititik akut akibat liberalisasi ekonomi. Demokrasi Ekonomi yang juga berarti pemerataan akses ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan diabaikan. Perekonomian kita berada dalam titik yang rapuh, seperti istana pasir yang rentan terhadap goncangan setiap datang badai krisis yang setiap saat mengancam.
Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai konsep yang maju dari paradigma pembangunan telah tempatkan beberapa aspek penting dalam pembangunan. Aspek tersebut adalah menyangkut keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik ( Hagen Hendry, 2012). Sejak tahun 1997, International Court of Justice (ICJ) juga telah akui konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pengakuan secara tegas juga telah ada dalam Konstitusi kita terutama pasal 33.
Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan termasuk kita juga telah berkomitmen dalam platform pembangunan berkelanjutan ini guna mencapai target tujuan Sustainable Development Goal (SDG’s). Itu berarti dimensi pembangunan harus diarahkan kedalam agenda demokratisasi ekonomi.
Konsentrasi kekayaan pada sejumlah kecil orang itu membahayakan bagi kepentingan bangsa dan juga sekaligus mengancam keberlangsungan dari kehidupan berdemokrasi kita. Sebab segelintir orang kaya itu bisa melakukan upaya apapun untuk semakin meningkatkan akumulasi kekayaannya yang bersumber dari keserakahan. Hukum bahkan akan terbeli karenanya dan rakyat banyak dan kedaulatan rakyat hanya akan menjadi jargon semata.
Beberapa agenda penting demokratisasi ekonomi tersebut adalah :
Pertama, lakukan refoma regulasi dengan revisi seluruh undang-undang menyangkut masalah perekonomian dan kemasyarakatan yang sudah liberal kapitalistik melalui agenda uji legislasi, dan uji materi lagi ke Mahkamah Konstitusi dan keluarkan undang-undang Sistem Perekonomian Nasional yang sudah jadi mandat Konstitusi sebagai undang-undang payung penyelenggaraan demokrasi ekonomi.
Kedua, lakukan agenda reforma agraria secara progresif dengan dan kembalikan sistem pertanian keluarga. Kondisi para petani kita menurut statistik 74 persennya adalah para petani gurem alias sudah tidak memiliki lahan garap atau hanya sebagai buruh tani. Sementara siasanya, menurut Susenas, tahun 1980 kepemilikkan lahan petani kita masih 1, 05 hektar perkapita, kemudian tahun 1990 menurun jadi 0,75 Hektar perkapita dan saat ini tinggal 0,23 hektar perkapita. Penguasaan lahan oleh korporasi yang bahkan ada yang sampai satu orang/keluarga kuasai juataan hektar harus dihentikan.
Dengan kepemilikkan lahan sebanyak ini tentu petani tidak akan mungkin dapat mencukupi kehidupan keluarganya dari hasil pertanian mereka. Kondisi ini telah ciptakan kemiskinan di desa dan sebabkan urbanisasi besar seperti yang kita lihat dalam beberapa dekade terakhir. Para urbanus yang tidak memiliki pendidikan dan keterampilan yang cukup karena warga kita yang 55 persen hanya tamatan Sekolah Dasar kebawah itu tentu timbulkan berbagai persoalan sosial baru.
Berbagai Undang-Undang (UU) sektoral bagi terlaksananya reforma agraria harus dirombak total. Petani rumah tangga harus menjadi prioritas untuk kembalikan sistem daulatan pangan kita. Distribusi tanah dan dimbangi dengan tata kelola secara kolektif dalam sistem pertanian koperasi bagi para petani itu akan kembalikan sistem kedaulatan pangan kita.
Sistem pertanian basis korporasi itu telah gagal. Pertanian korporasi yang hanya ditujukan untuk mengejar keuntungan itu ternyata telah gagal total dan telah dibuktikan oleh riset ilmiah dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan kampanye besar untuk kembalikan sistem pertanian keluarga. Ternyata sistem pertanian keluarga tidak hanya dekatkan petani dari terhadap pangan, dan kembalikan kedaulatan pangan dan keadilan pangan, tapi juga memiliki nilai bagi perbaikan kualitas hidup karena makanan yang sehat adalah makanan yang ada disekitar kita. Bukan makanan yang distimulasi oleh pestisida, dan pupuk tidak organik yang dikembangkan sistem pertanian korporasi yang tujuanya hanya demi kejar keuntungan, abaikan lingkungan dan kesehatan itu.
Ketiga, ciptakan kendali bisnis ditangan banyak orang dan terutama mereka yang hanya punya modal tenaga melalui Program ESOP (employee share ownership plan) dan koperasi. Pergerakan modal saat ini terjadi secara liar untuk satu tujuan, mengejar keuntungan semata dan lupakan aspek kemanusiaan, lingkungan, dan juga keadilannya. Saham yang beredar di bursa dan juga komodifikasi pasar uang yang dilandasi oleh keserakahan para pemilik modal besar telah ciptakan sistem bubble economic atau ekonomi gelembung yang rentan terhadap spekulasi yang setiap saat telah ciptakan kondisi krisis dan kebangkrutan yang setiap saat mengancam persoalan kemanusiaan. Perusahaan yang tidak dapat kita kendalikan itu dan juga mata uang yang terus jadi bahan gorengan para spekulan itu setiap saat telah menaruh sistem ekonomi kita pada cawan retak dan seperti gunung pasir yang selalu tak tahan terpaan ombak.
Perusahaan yang tak dapat kita kendalikan itu, telah juga ciptakan krisis sumberdaya alam dan lingkungan karena eksploitasi besar-besaran demi motif pengerukkan keuntungan semata. Barang-barang publik (public goods) dikomodifikasi, dan layanan umum dimana-mana jadi bahan komersialisasi. Perusahaan yang hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki modal besar itu pada akhirnya perlakukan buruhnya secara semena-mena. Batas gaji Upah Minimum itu tidaklah dapat menjadi solusi karena pada dasarnya perusahaan yang jauhkan dari mereka yang bekerja dadn hasilkan keuntungan itu hanya bekerja untuk para pemilik modal dan digerakkan oleh satu motif saja, mengejar keuntungan bagi diri mereka sendiri.
Harus ada regulasi bahwa setiap mereka yang bekerja dalam perusahaan itu memiliki kuasa kepemilikkan. Dalam skema yang berlaku internasional biasa disebut dengan ESOP (employee share ownership plan) atau kepemilikkan saham oleh pekerja. Dalam skema yang lebih maju bahkan sudah masuk ke tahapan ESOP Demokratis, dimana separuh ditambah satu persen saham berada ditangan para pekerja.
Sekarang ini model kepemilikkan demokratik di berbagai belahan dunia telah mengalami perkembangan yang pesat. Sampai-sampai Gar Alperovits, profesor ekonomi politik dari Maryland University pernah menuliskan dalam artikelnya di The New York Times(14/12/2011) dengan judul provokatif “Worker Owners America, Unite!”.
Dia mengungkap fakta fantastis bahwa 130 juta orang Amerika berpartisipasi dalam kepemilikan perusahaan koperasi, 13 juta menjadi pemilik saham dalam skema ESOP (employee share ownership plan) di 11.000 perusahaan. Mahfum, karena di negara ini, ekonomi domestiknya memang dikelola secara demokratik. Ditunjukkan dengan prestasi dari 300 koperasi besar dunia versi International Co-operative Alliance (ICA) itu 36 persen adalah dari Amerika Serikat, dan 40 persen penduduknya adalah anggota koperasi. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1980 an muncul satu fenomena mengenai pembelian saham oleh buruh (worker buyout) dalam rangka penyelamatan perusahaan di Amerika Utara dan Eropa untuk mengamankan pekerjaan para pekerjanya. Sebagai manifestasinya, di Amerika Serikat diberlakukanlah undang-undang (UU) tentang ESOP sejak tahun 1984.
Sebagai contoh kecil lain bagaimana perusahaan demokratis itu bekerja misalnya Mondragon Worker Co-operative, di Basque, Spanyol. Koperasi pekerja atau perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh pekerjanya sebanyak 80.000 orang ini saat ini sedang menjadi kajian hangat masyarakat sipil di tingkat global. Bagaimana mereka itu dapat mengatur sistem gaji yang rasionya hanya 6 kali lipat dari gaji terendah dan tertinggi, bagaimana setiap orang pekerjanya berani menyebut dirinya “ Sayalah Pemiliknya”, dan bagimana setiap orang memiliki hak suara yang sama dalam tentukan kebijakan umum perusahaan. Ini adalah gambaran demokrasi di tempat kerja itu benar-benar dapat bekerja.
Contoh lain dari sistem mutakhir kelembagaan perusahaan demokratis yang menghubungkan kepemilikan perusahaan oleh produsen, pekerja dan konsumen sekaligus saat ini juga sedang bergeliat di berbagai negara. Sebut saja misalnya EROSKI di Spanyol, lalu ada I CO-OP di Korea Selatan, Sanasa Group di Srilangka, NTUC di Singapore, Kooperative Fourbundet di Swedia dan lain sebagainya. Perusahaan-perusahaan koperasi ini bukan hanya telah memangkas sistem mafia pangan, namun telah menjadi konglomerasi sosial yang berhasil integrasikan antar sektor.
Baca Juga: Mari Ikhtiarkan Pancasila Sebagai Ide Penuntun
Semua membuktikan bahwa perusahaan demokratis itu ada dan demokrasi di tempat kerja itu memang bisa terjadi. Tidak hanya itu, sistem pengendalian perusahaan oleh banyak orang juga dapat berjalan dan koperasi mampu bermain di pasar secara terbuka. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada sidangnya tanggal 26 Desember 2016 lalu telah mengakui koperasi, bangun perusahaan demokratis ini sebagai warisan tak benda (intangible herritage). Berkat demokrasi ekonomi ini, negara manapun mendapatkan kemajuan kemanusiaan dan pemertaan ekonomi yang berarti dalam sistem kehidupan sosial ekonominya.
Undang-Undang Dasar kita sebetulnya telah menaruh landasan yang kokoh tentang demokrasi ekonomi ini, tapi seperti macan kertas, praktek ekonomi keseharian kita adalah sangat kapitalistik sehingga keadilan sosial–ekonomi yang berarti mementingkan kemakmuran bagi banyak orang nihil. Kalau kita ingin serius membangun masyarakat demokratis, maka kita tak boleh lupa bahwa demokrasi politik saja tidaklah cukup. Disamping demokrasi politik, demokrasi ekonomi haruslah berjalan. Regulasi-regulasi yang tidak imperatif terhadap praktek demokrasi ekonomi musti dirombak total.
Secara ekonomi, ada dua sebab kemiskinan yang mendasar, adalah tidak adanya akses kepemilikan atas alat produksi dan juga sistem pendapatan yang tidak adil. Dua hal pokok ini perlu mendapatkan penanganan serius kalau kita benar-benar ingin melakukan perubahan mendasar kearah sistem demokrasi ekonomi. Di dalam sistem demokrasi ekonomi, masyarakat harus diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan dalam bentuk kepemilikan dan mendapatkan sistem pembagian yang adil dalam pendapatan.
Dalam sistem masyarakat yang demokratis dengan demikian, akses terhadap kepemilikan alat produksi dan juga sistem penggajian perlu diatur sedemikian rupa. Masyarakat perlu terlibat dalam kepemilikan dan pengawasan perusahaan secara langsung dalam skema ESOP. Demikian juga dengan rasio gaji yang terendah dan tertinggi disatu sisi juga harus dibatasi agar tidak terjadi kesenjangan yang tajam.
Hingga saat ini, isu perburuhan di tanah air yang menonjol masih berkutat pada masalah lama tentang tuntutan buruh atas kenaikan gaji dan fasilitas. Isu kepemilikkan saham oleh buruh atau employee share ownership plan (ESOP) belum menjadi tuntutan. Hubungan pengusaha dan pekerja menjadi sangat antagonistik. Kepentingan pemilik modal yang menginginkan adanya pengembalian modal dan keuntungan setinggi-tingginya. Bagi pekerja, ingin gaji atau kompensasi kerja setinggi –tingginya.
Dalam sejarahnya, model kepemilikkan buruh ini ada peranan negara, pasar dan juga organisasi buruh. Negara melihat ada persoalan serius mengenai masalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang mengancam stabilitas nasional. Sementara pasar memperlihatkan bahwa perusahaan yang bekerja dengan sistem bagi hasil antara pemilik modal dan yang bekerja ternyata menghasilkan produktifitas dan efisiensi sekaligus. Sementara dalam konteks perjuangan serikat kerja terjadi kejenuhan tuntutan atas tuntutan lama tentang kenaikan gaji yang selalu berkejaran dengan tingkat inflasi.
Kita harus membaca tanda-tanda jaman, dominasi kepemilikan model lama oleh negara dan pribadi atau keluarga secara perlahan mulai mengalami pergeseran kearah pemilikan masyarakat luas atau kolektif.
EFES (European Federation of Employee Share Ownership) mencatat, hingga tahun 2012, ada 32,8 juta orang menjadi pemilik dari 2.505 perusahaan besar di Eropa. Di Amerika Serikat, ada 13 juta orang buruh pada 11.000 perusahaan besar di sana. Hingga tahun 2012, hampir 1 milyard orang menjadi pemilik perusahaan koperasi yang bergerak di berbagai sektor, dari perbankan, ritel, asuransi, pertanian, manufaktur, hingga layanan publik seperti rumah sakit yang tersebar lebih di 100 negara.
Fakta tersebut isyarat bahwa demokrasi ekonomi itu penting untuk ciptakan keadilan bagi semua orang. Kepentingan perusahaan tidak bisa hanya semata mengejar keuntungan atau memberikan kompensasi dalam bentuk program karitatif dalam model tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) perusahaan.
Di Indonesia sistem pemilikan buruh itu belum banyak dipraktikkan. Dari 166.400 jumlah usaha menengah dan besar kita (BPS,2006), hanya 27 perusahaan saja yang menjalankan program kepemilikan saham oleh karyawan (ESOP). Itupun proporsinya jauh dari ideal, karena rata-rata hanya 6,5 persen dari total saham yang dimiliki dan inipun masih dilingkaran elit manejemen. Sementara dari model kepemilikan mutual seperti koperasi, fungsinya masih banyak disubordinasi kepentingan perusahaan kapitalis dan negara. Kontribusinya terhadap ekonomi kita juga masih sangat memprihatinkan karena tak lebih dari 2 persen.
Dalam regulasi bisnis kita, kepentingan untuk membela investor semata lebih menonjol dengan asumsi agar tercipta lapangan kerja sebanyak-banyaknya namun alpa terhadap arti penting kepemilikan saham oleh buruh yang bermakna penting bagi terciptanya kemakmuran bersama dan juga ekonomi berkelanjutan.
Demokrasi ekonomi dalam praktik seperti; koperasi, bisnis mutual, kepemilikan lokal (local ownership), dan ESOP (employee share ownership plan) memiliki peran penting untuk mewujudkan keadilan ekonomi secara distributif. Melalui jalan ini setiap individu memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam proses produksi, konsumsi dan distribusinya. Selain juga mengurangi keserakahan dan mempertinggi modal sosial yang penting bagi pembangunan.
Akankah sistem Ekonomi Pancasila kita abaikan terus dan hanya akan jadi jargon semata? semua tergantung kita.
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)