Buku merupakan media pengetahuan yang amat penting bagi kehidupan kita. Dengan membaca buku, kita dapat melepaskan diri dari jerat kebodohan. Tentu segala informasi dari sejumlah sajian isi buku memberikan gizi pengetahuan yang berlimpah. Maka dari itu, melestarikannya merupakan keniscayaan bagi kita yang bersungguh-sungguh. Sebaliknya, jika kita tidak menyisihkan waktu untuk membaca buku, jangan harap dapat mengetahui serta memahami aneka ragam keilmuan yang telah lama dikontribusikan oleh sejumlah penulis yang berkontribusi untuk mencerdaskan anak bangsa.
Oleh karena itu, perlunya kesadaran komprehensif bagi kita—sebagai generasi muda masa depan—untuk membudidayakan membaca buku sebagai referensi pengetahuan. Dampak positifnya akan terasa kala bersinggungan dengan permasalahan dengan apa yang telah kita baca. Maka benarlah apa yang diungkapkan pepatah Arab; khairu jalîsin fi al zamâni kitâbun. Buku diibaratkan teman sepanjang masa.
Jika kita mampu berlama-lama berinteraksi atau berakrab-akrab ria dengan teman kita, mengapa dengan buku tidak?
Betapa pun, buku sebagai media interaksi antara karya penulis terhadap pembacanya sendiri. Tidak dapat dipungkiri, jika hari buku tidak hanya sebagai bumbu penyedap tahunan, ketika sudah lewat masanya, tidak dimaknai secara mendalam. Maka dari itu, buku dapat memberikan nutrisi maupun gizi selain mengonsumsi makanan siap saji. Selain itu, otak kita dapat terangsang ketika mencerna substansi dalam setiap buku-buku yang diminati.
Dengan banyaknya buku yang kita serap, maka kita menjadi pembaca sekaligus editor. Ada banyak manfaat yang dapat kita petik. Pertama, kita melatih diri terus membaca buku agar menjadi kebiasaan yang dapat kita petik hasil dari apa yang kita baca. Kedua, pemberi saran dan kritik terhadap buku yang kita baca. Karena selazimnya buku yang kita baca, tak luput dari kesalahan baik secara teknik penulisan maupun kedalaman dari sekian bahasan di buku tersebut (karena kurang kejelian dari penulis dan editor buku yang kita baca). Ketiga, kita dapat menuliskan dari apa yang kita baca, kemudian dibenturkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fenomena atau peristiwa yang terjadi.
Maka benar kata pepatah bahwa buku memiliki nilai serta makna yang tinggi, karena buku sebagai jendela dunia (window of word) sehingga budaya membaca buku terus digalakkan di tengah kecanggihan teknologi dan informasi yang kian canggih, pola pergeseran gaya hidup (life style) yang dapat berimbas efek negatif dalam melestarikan buku agar menjadi teman sehari-hari.
Tidak bisa dihindari kita memang memasuki era milenium. Fakta yang tak bisa kita elak dari kebiasaan malas membaca. Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan yang terbuang sia-sia, salah satunya menonton televisi yang terlalu berlebihan. Ini dapat menyita banyak waktu, bila kita tidak menyeimbangkan dengan tugas yang mestinya kita harus kerjakan. Apalagi kualitas tontonan yang dilihat. Seakan penyakit frustrasi bila sehari saja tidak menonton televisi. Boleh-boleh saja menonton televisi, asal tidak menyita waktu terlalu banyak. Apalagi tontonannya hanya dijejali dunia tenelovela, sinetron, road show, dan ragam hiburan lainnya. Padahal masih banyak stasiun TV yang menyuguhkan mengenai ragam pemberitaan, talk show seputar kesehatan, todays dialogue, dll. Hal itu, menurut penulis jauh lebih penting.
Khusus untuk peran orang tua dalam mendidik anaknya agar tidak dimanjakan dengan tontonan televisi, melainkan memberikan tuntunan yang baik agar lebih mengedepankan budaya baca buku. Selain itu juga, cukup beralasan menyangkut konteks dunia maya. Bila kita mencermati realitas yang ada, di mana kuantitas pengguna jejaring sosial seperti Facebook yang tidak dipungkiri untuk dilewatkan. Waktu yang banyak tersita hanya lebih memfokuskan diri asyik berselancar di dunia maya, ketimbang melakukan aktivitas riil yang bermanfaat (khususnya membaca buku).
Bertolak belakang dari itu pula yang jauh lebih ironis lagi, jika rak bertumpuk buku-buku, akan tetapi lama tidak dibaca (disentuh pun tidak). Andaikan buku itu bernyawa, tentu ia merasa tidak berguna. Bahkan hanya jadi hiasan kamar, agar orang lain menganggap “kutu buku”. Saya tidak mungkin munafik, karena saya suka menonton televisi, dan termasuk pengguna jejaring sosial. Namun, kadar keseimbangan itu perlu dilekatkan dalam hidup kita masing-masing.
Berangkat dari tulisan di atas, yang lebih penting “mari mulailah dari kita sendiri”. Betapa berharganya waktu ini jika kita senantiasa menghargai dengan mengisi hari-hari yang gemerlap minat membaca apalagi plus menulis. Apa pun yang kita baca, apa pun yang kita tulis akan berharga. Ada ungkapan yang tak kala pentingnya bahwa; negara akan maju salah satunya jika pemuda masa depannya memanfaatkan waktu dengan banyak membaca. Dangkalnya daya pikir serta nalar kita bergantung seberapa kualitaskah bacaan kita terhadap buku sebagai teman itu. Namun tidak memungkiri untuk banyak mengonsumsi buku lainnya.
Oleh karena itu, maju tidaknya sebuah bangsa bergantung kepada kualitas muda-mudi sebagai aset bangsa, di mana persoalan kebangsaan akan mereka panggul untuk menatap masa depan lebih baik.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta