Prolog
Kenyataannya kehidupan sekarang adalah super instan, merupakan awal posisi buku secara esensi terpinggirkan sebagai kumpulan ide dan warnanya kehidupan. Kenapa tidak? Perhatikan saja di sekeliling kita, sangat sulit dan sedikitnya kita temukan orang yang termenung dengan buku, apalagi sekedar memegang dan membaca buku di tempat umum, misalkan di taman, kafe, dll. Bukankah itu sebagian bukti menyatakan mereka enggan lagi menggunakan peran buku untuk ide inspiratif? Ataukah itu arti bahwa mereka memulai diri untuk berproses menata ide yang cemerlang tanpa peran buku? Walaupun benar itu tidak menjadi alasan utama peran buku saat ini di era digital.
Gedung besar yang memiliki setumpuk gagasan ide seperti perpustakaan sekarang menjadi lebih sepi daripada tempat parkir wisata atau kafe yang sepi pengunjung. Padahal semua umat manusia menyadari perpustakaan adalah wahana dunia, tempat berkumpulnya ide-ide berada. Benar, dua sampai tiga tahun belakangan ini generasi buku sudah sangat kalah daripada generasi gadget. Sekalipun buku sudah memiliki waktu momentum secara khusus setiap tahunnya (23 April untuk dunia dan 17 Mei di Indonesia), bagi Riduan Situmorang, itu lebih seperti waktu kita untuk berziarah bukan lagi berbentuk representasi peran buku.
Hal tersebut juga mengundang instan-story (Medsos) bersuara mengenang hari perkasa buku (23/17 April), menorehkan buku sebagai catatan ilmu pengetahuan, announcement buku sebagai bukti otentik sejarah itu ada. Tetapi pada kenyataannya itu hanya sekedar nada dering yang kemudian ditinggalkan begitu saja. Dan gadget menjadi pengganti buku yang dianggap lebih praktis, juga bisa menjawab segala masalah dan pertanyaan dengan cepat dan tanggap daripada buku?
Refleksi
Seperti mall, di sana terdapat banyak aneka ragam kebutuhan manusia, sebaliknya juga buku, terdapat banyak varian gagasan, petuah, petunjuk, dan ruang tentang dunia. Berharganya lagi, buku adalah barang yang akan selalu berguna untuk generasi kita selanjutnya. Karena buku tidak hanya sekedar varian gagasan saja, tetapi membuka dan meluaskan pola pikir (imajinasi) kita memandang dunia. Jika meninjau nilai positif buku, kita akan dihadapkan tentang nilai filosofis kehidupan, yaitu membahasakan dan menangkap dunia.
Artinya, dari sini kita melihat dunia tidak sekedar hidup dari ruang waktu untuk tidur, makan, dan bersuara di gadget masing-masing. Melainkan kita akan dihadapkan tatanan kehidupan yang luas dan dinamis. Jika hanya terkutip di dunia gadget, maka yang akan dihasilkan adalah era menonton keseharian setiap orang yang nyatanya itu sama dan berulang kali. Jika dilihat dari langit, kita hanya melihat cahaya gadget yang menerangi wajah kita dan meredupkan otak kita. Sadar bahwa menyentuh gadget lebih nyaman dan menyenangkan ditimbang memegang buku, apalagi melihat dan meneliti setiap kosakata pada lembaran kertas buku.
Seperti yang disuarakan Nietzsche ‘jadikan harimu seperti aforisme bahasa’, yaitu mencatat setiap kejadian, membaca setiap waktu dan kemudian dibentuk (buku) untuk menggambarkan perubahan dunia. Maka semua yang telah terjadi akan terpantau dan menginspirasi langkah gaya hidup selanjutnya. Hal tersebut kemudian menjadi peran buku sebagai pembawa wahyu untuk setiap generasi selanjutnya.
Seolah hidup ini ditentukan oleh seberapa eksis update story, dan memantau beranda sosial media. Menjadi kepentingan besar mengenai berapa kunjungan, berapa like, berapa share dan berapa komentar di sosial media. Semuanya itu diungkapkan sebagai gaya hidup kekinian dan menghindari kejadulan. Nyatanya itu semua sekedar mencerahkan wajah dan menenggelamkan dimensi otak kita.
Alih-alih Membuang Waktu
Kebutuhan apa pun akan segera selesai jika ditangani oleh sebuah gadget. Menangkap emosi seseorang akan lebih mudah jika dengan gadget. Hidup tanpa gadget adalah kesulitan tanpa batas. Hidup dengan buku adalah ketertinggalan dengan pola hidup yang cepat berubah. Mungkin itu ungkapan yang menggambarkan posisi keadaan sekarang; rendahnya minat baca, dan rendahnya upaya mengembangkan peran buku.
Disadari membaca buku membutuhkan banyak waktu, membutuhkan minat dan fokus memahaminya. Tetapi kesadaran itu menjadi bomerang setiap orang menghindari membaca buku. Dianggapnya kurang praktis, membuat minimnya waktu aktivitas lain—butuh keadaan sunyi dan jauh dari kerumunan orang. Padahal semua itu tidak lain hanya utopis kita saja. Menganggap bermain games tidak butuh waktu lama, menggeser ke atas ke bawah sosial media tidak dianggap menyia-nyiakan waktu yang berharga, atau jika tidak, mereka menyadari itu tetapi tak berani menegaskan diri. Dalam artian mereka takut menuntut diri untuk berpaling dari sensasi gadget.
Dari semua itu memang benar bahwa buku sedang berada dalam posisi termarjinalkan. Hampir setiap tahun produksi buku semakin minim. Itu sangat membahayakan bagi generasi selanjutnya. Menurut UNESCO, minat baca di negeri kita bisa sampai 1 banding 1000 orang. Dari beberapa penelitian minat baca dari 61 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-60. Itu menunjukkan begitu sangat rendah minat baca kita. Petanda akan terjadi degradasi besar-besaran minat baca buku di negeri kita apabila kaum muda belum ada upaya membangun kembali minat baca mereka.
Dunia itu cepat berubah, jika kita tidak segera memupuk diri dengan membaca, maka yang akan terjadi kita akan diperbudak oleh apa yang kita ciptakan (gadget, dkk.). Alhasil, gerak dan aktivitas otak kita akan semakin kaku, suram dengan gagasan, dan kurangnya kreatifitas otak kita. Memang mungkin sudah menjadi kenyataan apa yang dibicarakan oleh Socrates bahwa manusia akan malas berpikir panjang (mediasi) dan sulit mendiskusikan dunia (retorika).
Memang manusia sendiri yang membentuk dirinya, dan sebagai subyek yang membentuk dan menciptakan objek. Tapi karena itu, manusia sebagai subyek senyatanya sadar bahwa objek yang ia bentuk—buat akan menjadi dirinya sebagai evolusi subyek setelahnya. Artinya, manusia disebut sebagai makhluk istimewa, karena memiliki otak untuk berpikir dan mempertimbangkan tindakan—sifat. Tetapi istimewa tak berlaku jika otak manusia sudah tak berperan, misalkan (seperti) orang gila.
Penikmat Filsafat, Teologi, dan Sosial