Mata Rusmini terbeliak. Kadang seketika terlonjak. Dari ujung tikungan jalan setapak, terlihat samar-samar ada kelebat anak kecil menjerit, meminta tolong agar bebas dari seseorang yang menjerat. Namun, ketika Rusmini berdiri, hanya lambai daun kering yang nampak. Daun-daun itu sesekali jatuh berserak, memenuhi gundukan tanah kuburan yang basah.
Rusmini kembali duduk. Tak kuasa menyudahi air mata yang deras. Tidak ada pilihan lain kecuali pasrah. Andai saja boleh memilih, ia lebih suka menyerahkan dirinya, bahkan nyawanya sendiri kepada para begal itu daripada harus anaknya yang menjadi korban.
Sore menjelang maghrib, Delia berangkat ke langgar. Seperti biasa setiap malam ia pergi mengaji bersama teman-temannya. Beberapa temannya mengatakan, selesai mengaji Delia pulang bersama Raisa. Setelah ditanya kepada Raisa, ia mengatakan, ada seorang lelaki yang menjemput Delia saat mereka berpisah tikungan jalan itu. Dalam pikiran Raisa, lelaki itu adalah ayahnya yang biasa menunggu di dekat pekuburan setapak. Padahal, malam itu ayah Delia dalam keadaan sakit dan tidak bisa menjemput anaknya.
Delia, sudah dua minggu hilang. Laporan Rusmini yang dilempar kepada bapak kepada desa, lalu ke kantor polisi kecamatan, tak berujung pangkal. Terakhir, polisi hanya menduga, bahwa Delia menjadi salah satu korban penculikan. Ia dibegal. Apakah benar Delia diculik atau tidak? sampai kini belum ada kepastian.
Rusmini sudah berkali-kali datang ke rumah kepada desa, menanyakan kabar pencarian anaknya. Tapi, kepala desa itu belum mendapat kabar mengenai keberadaan Delia. Bukan hanya ke rumah kepala desa, Rusmini juga hampir setiap hari datang ke kantor polisi kecamatan, memohon-mohon agar kepala polisi mengerahkan jajarannya untuk mencari tahu keberadaan anaknya.
“Tolonglah, Pak..!” kata Rusmini.
“Bersabarlah, Bu. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian di kabupaten. Mereka sudah menyebar fotocopy foto Raisi. Tapi sampai sekarang belum ada yang memberi laporan. Belum ada masyarakat yang melihat Delia.” Jawaban itu sudah berkali-kali Rusmini dengar.
Rusmini keluar dari kantor polisi dengan langkah gontai. Ia pulang berjalan kaki. Menyusuri jalan berbeda dari hari-hari sebelumnya. Mungkin saja, tanpa diduga dapat ia temukan sosok anaknya di ruas-ruas jalan tersebut, pikirnya.
***
Delia pulang, Delia sudah ditemukan..!
Delia pulang, Delia sudah datang..!
Teriak teman-teman Delia setelah melihat satu mobil polisi menuju rumah Rusmini. Mereka mengira, polisi itu datang mengantar Delia ke rumah ibunya. Orang-orang di sekitar rumah Rusmini berbondong-bondong ke arah rumahnya. Ia ingin tahu, bagaimana kabar Delia saat ini.
Mobil polisi itu berhenti pada jarak seratus meter sebelum rumah Rusmini. Orang-orang pada menghampiri, menatap dengan mata nyalang ke arah mobil yang tak lama lagi daun pintunya akan segera dibuka. Dari arah rumanya, Rusmini pun terbirit-birit sambil menenteng sarungnya.
“Anakku datang, anakku sudah ditemukan…!”
Sambil berteriak, Rusmini berlari menuju pintu mobil polisi. Di sekelilingnya orang-orang dengan kompak menaruh tatapannya pada mobil warna putih itu.
Rusmini berdiri paling dekat di sisi mobil. Kemudian seorang polisi keluar.
“Anakku mana, Pak? Anakku mana?”
“Tenanglah, Bu. Saya bukan mau mengantar anak Ibu. Saya ke sini mau menjemput Ibu.” Kata polisi itu.
Orang-orang disekelilingnya membelalak. Ia menunggu penjelasan lebih lanjut dari polisi itu. Mengapa ia malah hendak menjemput Rusmini, bukan membawa Delia ke mari?
“Mari, Bu.., silahkan masuk ke dalam mobil!” Kata polisi itu. Lalu ia menuntunnya ke pintu mobil.
“Saya akan dibawa ke mana?!” Rusmini menahan tangan polisi itu.
“Ikutlah kami. Pihak polisi kabupaten memberi kabar, bahwa telah ditemukan seorang anak seumuran Delia. Tapi, wajah anak itu sudah sulit dikenali. Mungkin saja itu adalah Delia, anak Ibu yang hilang.” Sontak, tubuh Rusmini lemas dan hampir saja roboh dari posisinya berdiri. Tetapi, untung saja polisi itu sigap menyambar tubuh Rusmini. Lalu dipapahnya masuk ke dalam mobil polisi.
Mobil itu pun melaju membawa Rusmini pergi. Tak ada seorang pun yang ikut menemaninya. Bahkan, suami Rusmini pun belum tahu apa-apa soal kabar ini. Ia masih berbaring lemas di rumahnya.
***
Di kantor polisi kabupaten, Rusmini disuruh duduk menunggu anak itu. Dengan penuh kecemasan, ia berharap semoga saja anak itu adalah Delia. Meski dia belum tahu, apakah anak itu akan datang di hadapannya dalam keadaan hidup atau mati.
Rusmini menebar pandang ke beberapa pintu ruang kantor. Ia tidak sabar melihat wajah anak itu. Sebagai seorang ibu, ia yakin akan mengenali Delia meski dari jarak jauh memandang. Bahkan meski dalam keadaan apa pun.
Dari sebuah ruang kantor, seorang polisi keluar mendekati Rusmini.
“Maaf, Bu. Ternyata anak itu bukan Delia. Pihak kepolisian bersama keluarganya, telah membawa mayat anak itu ke rumah sakit untuk diautopsi.
Rusmini diam bergeming. Tatapannya kosong. Ia mencemaskan nasib Delia yang entah ada dimana?
“Mari, Bu. Saya antar Ibu pulang.” Kata polisi itu.
Rusmini berusaha berdiri meski tubuhnya terasa lemas. Ia melangkah menuju mobil. Sebelum akhirnya, mobil itu melaju kencang membawa Rusmini pulang.
Sampai detik ini, Delia belum juga kembali. Setiap saat Rusmini hanya duduk di beranda rumahnya dengan mata terbeliak dan sering kali terlonjak. Seakan-akan ada kelebat anak kecil di ujung tikungan jalan setapak itu. Meski kelebat bayangan tersebut hanya lambai daun kering jatuh berserak memenuhi gundukan pekuburan.
Yogyakarta, Maret 2017
*Marsus, cerpennya tersiar di berbagai koran dan majalah. Mengelola Penerbit Sulur www.sulur.co.id. Tinggal di Jogja
Insan Pilihan Tanda-tanda kerasulan Terlahir tanpa sandaran Cinta yang dipisahkan Hadirmu cahaya penuh keyakinan Diuji dan ditempa penuh cabaran Ikhlas