Senin pagi yang cerah, di tahun anjing tanah, diawali oleh ingar-bingar etika dan protokoler, cari-cari kambing hitam pasca kemenangan Persija. Bukan ditutup dengan sorak sorai dan ucapan syukur, melainkan jadi kian ramai oleh Gubernur DKI yang ditolak turun ke podium.
Ada caci-maki, ada pembelaan. Ada yang semakin dihina, ada yang kian dicinta. Jika dikumpulkan kubu lepas kubu, saya percaya, orang yang mencaci dan membela adalah orang yang sama. Fans itu menggila tanpa disuruh. Namanya juga fans, akal sehat menyingkir lah dahulu.
Namun, mari senyap sejenak.
Kita lupa kepada alam. Bahwa alam merespon kata dan suara. Gelombang anda menciptakan energi dengan daya tolak, daya dorong, atau daya tarik.
Apa yang ingin Anda terima kembali (penolakan, dukungan, atau tawaran) sungguh-sungguh tergantung energi di dalam diri Anda menggetarkan apa ke luar nya. Alam tak pernah tidur. Dia berbaur karena Anda.
*Suara-suara dan tulisan itu sama bisingnya, hanya beda rupa belaka. Maknanya sama: akankah alam kita banjiri dengan kegembiraan, atau kita banjiri dengan keriuhan kata-kata yang saling berperang?*
John C. Maxwell menulis, “People may hear your words, but they feel your attitude“. Orang mendengar kata-katamu, tetapi mereka merasakan sikapmu. Sedangkan antara kata-kata dan sikap itu selalu ada korelasi. Jika bersebrangan, tahulah kita di mana manipulasinya.
Saya menonton petikan siaran TVOne “Memelihara Persatuan di Tahun Politik” pada sesi Aa Gym menjawab pancingan pemandu acara. Dalam bahasa saya, Aa Gym bilang, *”Jangan sibuk dengan casing yang cuma titipan, akan tetapi perhatikan isinya. Di kesimpulannya, Aa Gym mengingatkan kembali perihal manajemen hati”.*
Kata-kata itu meluap dari hati. Sikap juga cerminan hati. Jika hati berisi perbendaharaan busuk, maka sikap pun buruk. Jika antara kata dan sikap tidak selaras maka itu maknanya “akal” mengendalikan ujar dan di situlah bercokol segala macam skenario yang memungkinkan hadirnya *manipulasi yang dikelola*. Kesantunan berkata-kata untuk tujuan tertentu.
Tidakkah kita belajar melihat sikap Anies dalam ajang tersebut? Dia tampil sebagai pribadi, atau sebagai Gubernur?
Anda tahukah bedanya?
Jika dia membawakan diri sebagai Gubernur, maka dia akan hadir mengikuti aturan penyelenggara. Dia mendukung pemimpinnya, yaitu presiden. Wujudnya sederhana sekali. Dia memakai baju apa, di situ? Jika Anies memilih selera sendiri dalam berkostum, ketika acara di sorot ratusan juta pasang mata, bisakah Anies menjawab dengan tulus dan jujur, mengapa dia ingin tampil beda? Karena dia merasa sebagai Gubernur boleh bersikap menurut apa yang dia mau, bukan apa yang dia harus?
Ingin menerima privilege, karena merasa tuan rumah sih boleh-boleh saja. Sah, kok. Namun, Panitia tentu tidak akan sibuk dengan “rasa istimewa” dari seorang gubernur yang memilih menjadi dirinya sendiri ketimbang belajar peran menjadi gubernur.
Saya lebih melihat, terjadinya keanehan penolakan Anies turun ke podium penyerahan trophy lebih sebagai akibat dari pilihan sikap Anies sendiri ketika memutuskan hadir di situ. Dia hadir sebagai dirinya sendiri, dan karena itu dia tidak menerima respons yang benar dari sikap tersebut.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan quotes Harold S. Geneen, “Leadership is practiced not so much in words as in attitude and in actions.”
Jika tidak ingin menerima kesalahpahaman atau apalagi penolakan, jadilah pemimpin yang sikap dan tindakannya selaras dengan kata. Jangan sekadar casing!
Salam menjuah-juah, agar berkat turun melimpah!
*Penulis adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan