HAKIM merupakan wakil Tuhan di dunia dalam menegakkan keadilan hukum. Dipundaknya mandat berat harus dijalani sesuai sumpah suci yang diucapkan saat pertama dilantik. Dalam menjalankan tugasnya, ia tidak boleh membeda-bedakan status sosial. Tidak boleh pula menolak kasus hukum atau perkara-perkara yang diajukan oleh pihak-pihak berperkara. Apalagi berdalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili hingga memutuskan perkara hukum yang ditanganinya, sebagaimana diatur di dalam pasal 10 ayat 1, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Merujuk pada Lawrence M. Friedman (1998), hakim harus bisa menyesuaikan diri dalam menangani perkara hukum melalui kewenangannya yang tidak hanya berpatok pada legal structure, melainkan juga didukung pada legal subtance yang saling menguatkan dalam penegakan hukum secara berkelanjutan. Maka, tidak berlebihan jika hakim sebagai pembentuk hukum yang tidak selamanya menjadi corong undang-undang (bouche de la loi). Hakim juga turut merespons secara baik dalam menelaah kasus hukum dengan sudut pandangnya (judge made law) apabila tidak ada sandaran hukum atau pasal-pasal yang tertulis di dalam undang-undang.
Karena itu, tidak menutup kemungkinan bagi hakim untuk memilih sumber hukum yang menurutnya lebih baik, yaitu mengacu pada ijtihad pribadi hakim, di antaranya melalui yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis (meskipun terkait perkara pidana terdapat silang pendapat dari para ahli hukum). Dari situlah, hakim akan memberikan putusan melalui proses penalaran yang ekstra hati-hati. Tidak ada alasan bagi hakim pasif terhadap tindakannya untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.
Ahmad Hasan dalam bukunya The early Development of Islamic Jurisprudence, berpandangan bahwa hukum bertujuan untuk mengendalikan masyarakat. Ia adalah sistem yang ditegakkan, terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun masyarakat. Sistem hukum setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkupnya sendiri. Demikian pula, Islam memiliki sistem hukumnya sendiri yang dikenal dengan fikih.
Demikian pula, dalam sudut pandang Prof. Ali Yafie—terutama dalam konteks Indonesia—bahwa materi fikih sudah jauh berkembang dalam yurisprudensi, hukum kebiasaan, dan pendapat umum, sehingga telah mempunyai akar yang kuat dalam sumber-sumber formal dan materiil hukum itu sendiri. Fikih sebagai instrumen produk ijtihad penting dalam menjangkau segala permasalahan hukum, tak terkecuali hukum Islam.
Khazanah fikih yang telah terbina berabad-abad lamanya secara berkesinambungan dan terpelihara dengan baik, telah meringankan beban ijtihad yang dibutuhkan di masa kini. Jadi, negara yang sudah memiliki perundang-undangan yang lengkap, menjadikan tugas pembuat undang-undang dan para hakim tinggal menambah yang sudah ada. Tujuannya untuk pengaturan dan penataan hal-hal baru yang hukum tersebut sebelumnya telah diatur dan ditetapkan.
Perilaku Hakim
Satjipto Raharjo dalam buku berjudul Sisi-sisi Lain dari Hukun di Indonesia (2009) mengatakan perilaku hakim sedikit banyak dapat dibedakan menjadi dua kategori: Pertama, ketika bertanya kepada hakim, dia terlebih dahulu bertanya tentang hati nuraninya atau mendengarkan keputusan hati nurani. Baru kemudian mencari undang-undang untuk mendukung keputusan tersebut. Kedua, ketika mengambil keputusan, hakim pertama-tama “berkonsultasi” dengan kepentingan nalurinya. Kemudian mencari pasal-pasal yang membenarkan “keputusannya”. Jenis hakim ini digambarkan di surat kabar sebagai hakim yang ingin melakukan hal buruk untuk menjadi kaya.
Menurut penulis, hakim kategori pertama tidak langka ditemui di pengadilan di pelbagai daerah. Dengan tidak bermaksud menggeneralisir, namun begitulah macam karakter bahwa tidak semua hakim busuk serta terpedaya uang berlimpah, hingga kasus hukum bisa ditutup begitu saja. Hakim sejatinya selalu berpegang teguh pada kebersihan hati dan pikiran dalam memutuskan perkara hukum yang ditanganinya.
Hakim kategori kedua sering muncul di siaran televisi, akan tetapi hakim yang demikian banyak yang abal-abal. Hakim jenis ini justru berpihak pada pelanggar hukum, seperti koruptor. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi degradasi moralitas hakim, sehingga perannya mendapatkan reaksi negatif di mata publik. Hukum tidak ada gunanya jika hakim mengubah posisi atau memperdagangkan jabatannya untuk kepentingan materi daripada membela hak pencari keadilan hukum itu sendiri.
Last but not least. Jangan sampai hakim di peradilan Indonesia tergiur dengan semboyan “suap jalan, perkara hukum hilang alias selesai.” Karena itu, hakim harus memiliki law in action yang siap dan berani tanpa ada intervensi pihak-pihak yang salah untuk menang perkara hukum, yaitu menggunakan kekayaan mata dan suara hati nuraninya paling dalam. Yakinkan masyarakat Indonesia agar tetap percaya bahwa menempatkan tugas agung serta menjaga kerhormatan para hakim setinggi-tingginya merupakan sebuah keharusan.
Alumni Magister Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta