Timur Tengah merupakan kawasan dengan suhu geopolitik yang senantiasa fluktuatif dan penuh gejolak. Jalinan relasi antarnegara Timur Tengah juga rumit. Perseteruan Israel-Palestina dan bangsa Arab lain yang tak kunjung reda, perang saudara yang meluluhlantakkan Suriah dan Yaman, hingga rivalitas dua raksasa kawasan teluk, yaitu Arab Saudi dengan Iran. Rivalitas ini bertambah pelik dengan adanya campur tangan kepentingan masing-masing sekutu, termasuk negara-negara besar di belakang keduanya.
Pada Mei lalu, terjadi insiden sabotase terhadap empat kapal tanker di dekat pelabuhan Fujairah milik Uni Emirat Arab (UEA), yang terletak tepat di luar Selat Hormuz, sebuah jalur pengiriman minyak dan gas global terpenting yang memisahkan negara-negara Teluk Arab sekutu Amerika Serikat (AS) dan Iran. Meski serangan itu tidak menimbulkan korban atau tumpahan minyak, namun menyebabkan kerusakan signifikan pada struktur dua kapal.
Penyelidikan gabungan yang dilakukan oleh pihak terkait yaitu UEA, Arab Saudi, dan Norwegia menyimpulkan bahwa sabotase tersebut dilakukan melalui operasi canggih dan terkoordinasi, dan kemungkinan diprakarsai oleh satu negara. Meski hasil penyelidikan tidak menyebut pihak tertentu, AS dan Arab Saudi menyebut Iran sebagai dalang sabotase yang bertujuan menaikkan harga minyak.
Hanya selang sebulan setelah insiden pelabuhan Fujairah, perairan Timur Tengah kembali terguncang. Dua kapal tanker, yaitu Front Altair milik Norwegia dan Kokuka Courageous milik Jepang diserang ketika tengah melintasi Selat Hormuz di Teluk Oman. Kokuka Courageous yang berangkat dari Arab Saudi dan tengah dalam perjalanan menuju Singapura, terbakar pada saat yang sama dengan tanker Front Altair pada Kamis (13/06) pukul 6:00 pagi waktu setempat.
Lagi-lagi secara kompak Arab Saudi, AS, dan kini ditambah Inggris menuding Iran berada di balik serangan terhadap dua kapal tanker yang tengah mengangkut minyak dan bahan kimia tersebut. Bahkan AS lebih dulu melontarkan tuduhan melalui Presiden Donald Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo dan secara khusus menuduh Korps Garda Revolusi Iran (IRGC), kesatuan elite militer berpengaruh Iran sebagai pelaku penyerangan.
Iran telah membantah dengan keras tudingan AS dan sekutunya, dan menyatakan tuduhan tersebut tak berdasar. Iran bahkan merespons tuduhan AS tersebut dengan mengancam akan segera meningkatkan batas uranium yang diperkaya, yang otomatis melanggar kesepakatan nuklir 2015. Di hari yang sama, Pejabat Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan mengumumkan akan mengirim 1.000 pasukan tambahan Amerika ke Timur Tengah, yang ia klaim untuk menangkal ancaman Iran. Tak lama Iran kembali merespons AS dengan mengancam akan memblokir Selat Hormuz jika AS melakukan serangan terbuka. Ancaman Iran itu berpotensi mengganggu lalu lintas kapal tanker yang keluar dari kawasan Teluk menuju Samudera Hindia, sehingga dikhawatirkan akan mengancam suplai minyak global.
Bukti tuduhan yang diajukan AS terbilang cukup lemah, hanya berupa rekaman video dan foto yang tidak menunjukkan secara jelas peristiwa penyerangan kapal. Bahkan keterangan dari pemilik salah satu kapal menyanggah kesaksian dari pihak AS tentang asal mula ledakan. Insiden ini tak pelak juga memunculkan tanda tanya besar atas motif penyerangan, jika benar Iran menjadi dalang pelaku, mengingat di hari yang sama PM Jepang Shinzo Abe tengah melakukan pertemuan dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Hassan Rouhani yang justru membawa pesan untuk meredakan ketegangan AS-Iran.
Upaya Meredam Eskalasi Konflik AS-Iran
Memburuknya hubungan antara AS-Iran dipicu oleh keputusan sepihak Presiden Donald Trump yang memilih menarik diri dari perjanjian nuklir Iran yang dikenal dengan nama Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada Mei 2018 lalu. Perjanjian yang digagas di era Barack Obama sejak 2015 itu menyepakati bahwa Iran akan membatasi program pengembangan nuklirnya dengan timbal balik pencabutan serangkaian sanksi ekonomi terhadap Teheran. Penarikan diri AS dari JCPOA sangat berimbas pada perekonomian Iran dan semakin menutup pintu perdamaian.
Boikot terhadap produk Iran kembali diberlakukan AS dan sekutunya, dan baru-baru ini mencakup delapan negara pengimpor minyak Iran yang sebelumnya mendapat keringanan pengecualian sanksi. Salah satu dari delapan negara tersebut adalah China, yang memiliki hubungan baik dengan Iran. China bahkan dikabarkan telah membuat perjanjian jual beli senjata dan teknologi komunikasi secara terselubung dengan Iran sebagai siasat bertahan mereka terhadap sanski AS tersebut.
Masuknya China ke dalam percaturan geopolitik Timur Tengah melalui celah perdagangan tentu perlu mendapat perhatian. Jika AS dan para sekutunya dapat lebih melonggarkan ‘hukuman’ terhadap Iran serta menerapkan aturan main yang lebih fair, hal itu tentunya akan mengurangi potensi Iran untuk bermain mata dengan China maupun dengan negara lainnya. Pun demikian, jika China terlalu dalam memaksakan diri masuk ke pusaran Timur Tengah, dikhawatirkan akan semakin mempengaruhi kualitas hubungan AS-China yang tengah diuji melalui perang dagang yang turut berimbas pada naik-turunnya perekonomian global. Meski kedua negara adidaya tersebut sepakat untuk bertemu dan kembali bernegosiasi di ajang G20 di Jepang pekan depan, tidak ada jaminan bahwa perang dagang AS-China akan usai dalam waktu dekat.
Dengan mengalkulasi berbagai skenario dan kemungkinan tersebut, konflik terbuka AS dengan Iran bukanlah sebuah pilihan tepat. Selain terlalu prematur dan gegabah, tuduhan bertubi-tubi AS kepada Iran justru semakin memperpanjang catatan buruk relasi AS-Iran, dan sekaligus memprovokasi stabilitas keamanan kawasan. AS dan sekutunya sebaiknya menunggu investigasi independen atas insiden penyerangan kapal tanker di Teluk Oman. Jika memang ditemukan bukti yang memadai atas siapa saja pihak yang bertanggung jawab, hendaknya diambil tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Bisa saja terdapat pihak ketiga di balik insiden yang mengambil keuntungan atas eskalasi konflik AS-Iran, atau kawasan Timur Tengah pada umumnya.
Alangkah baiknya jika tiap pihak yang terlibat menghindari provokasi lebih lanjut yang justru hanya akan memperkeruh situasi. Ketertiban dan keamanan kawasan tentunya harus menjadi agenda utama bagi semua pihak yang tengah berseteru di Timur Tengah.
Penulis Anggota Komisi Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI )
Menyukai ini:
Suka Memuat...