Islam, bagi Bung Karno bukan hanya sekedar agama (menjalankan syariat), tapi Islam adalah pedoman hidup (way of life) dan posisi Islam sama sekali berbeda dengan apa yang dipahami Barat dengan ungkapan de scheiding tussen kerk en staat (pemisahan antara agama dan negara). Pernyataan Bung Karno itu disampaikan secara panjang lebar di depan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) atas undangan Ketua Umum PB HMI Dahlan Ranuwiharjo di tahun 1953.
Bung Karno mempertegas sikapnya sebagai Presiden Republik Indonesia dalam persoalan Negara Islam dan Negara Nasional dengan menyatakan Indonesia adalah Negara Nasional. Pidato Bung Karno di hadapan Rektor UI, jajaran dosen dan mahasiswa itu merupakan jawaban problem stelling dari pidato beliau di Amuntai Kalimantan Selatan, yang telah memancing reaksi tokoh Muslim modernis khusus kalangan Masyumi.
Persoalan yang diungkap oleh Dahlan Ranuwiharjo terkait isu Negara Islam yang terus disuarakan oleh kalangan muslim modernis terpusat pada soal bentuk negara, Indonesia ini apakah dikatakan Islamic State, National State, Socialism State ataukah Socio-Nationalism State. Bahkan apakah pula pola negara Indonesia mirip dengan Komunism State.
Dahlan Ranuwiharjo lebih lanjut menengarai Indonesia perlu ada kejelasan sistem bernegara sekalipun secara konsensus sudah disepakati di tahun 1945 di sidang BPUPKI sebagai negara yang mendasarkan dirinya pada Pancasila, yang oleh kalangan Ulama NU mempertegasnya sebagai Daaru al-‘Ahdi (negara yang dibentuk dengan konsensus) atau Daaru al-Mitsaq (negara kesepakatan) dengan Pancasila sebagai the final of ideology.
Pada pidato tersebut Bung Karno menjelaskan bahwa Indonesia adalah Negara Nasional (national state) yang berbentuk republik dengan sistem kesatuan. Menyatukan seluruh wilayah Nusantara, bukan persatuan atau federasi. Negara dengan dasar utamanya adalah Pancasila dan UUD 45 yang sudah menjadi konstitusinya, meskipun demikian haknya warga negara untuk memperjuangkan ideologinya masing-masing sebagai kelanjutan dari cita-cita dan peruangannya dalam politik kekuasaan.
Bagi Bung Karno kepada golongan Islam dipersilahkan untuk mewujudkan ideologi Islamnya sebagai perwujudan hak warga (citizen) tapi bukan berarti harus mengubah Negara Nasional menjadi Negara Islam. Bung Karno banyak menyerap pandangan Moh. Kafrawi Ridwan (tokoh muslim) tentang persinggungan istilah Negara Islam, Darul Islam, Darul Bawar. Bung Karno memilih istilah al-Daulah dengan pemahaman bahwa itu adalah negara dalam istilah Arab, bukan al-Daru atau al-Jumhur. Meskipun ia tidak ingin mengaitkan dengan kedaulatan atau souvereiniteit dalam istilah Barat, tapi kata al-Daulah lebih tepat pada negara.
Bung Karno pada konteks itu (Negara Islam) tidak berarti menolak tapi paham kebangsaan atas heterogenitas bangsa-bangsa senusantara adalah menjadi yang utama, sebab Indonesia adalah negeri yang didiami suku-suku, banyak ras, banyak marga, adat istiadat yang berbeda, dan pemeluk agama yang berbeda.
Ijtihad politik Bung Karno untuk mewujudkan negara bangsa telah banyak diilhami oleh pemikiran Ernest Renan dan Otto Bauer. Kedua filsuf ini telah mengantarkan jalan keluar dari problem stelling yang dialami banyak kaum pergerakan saat itu (pra dan pasca kemerdekaan). Otto Bauer telah merumuskan bahwa natie (bangsa) adalah eine karakter gemeenschap dat geboren ist uit een gemeenschap van lotgevellen (satu karakter, persamaan kedudukan jiwa yang dilahirkan oleh persamaan pengalaman). Dari rumusan pemikiran Ernest Renan bahwa natie itu adalah le desire d’etre ensemble (sekelompok manusia yang berkeinginan untuk bersatu).
Pada pidato tersebut (tahun 1953) Bung Karno tidak sama sekali bulat 100% mengambil pemikiran kedua filsuf tersebut sebagai acuan dalam menyusun suatu negara, suatu konstitusi negara, tapi lebih sebagai guidence (petunjuk jalan). Konteks Indonesia bukan sekedar charakter gemeinschaft tapi lebih dari itu Indonesia adalah geopoltische eenheid (geopolitik yang satu).
Dengan fakta itulah Indonesia tidak bisa disatukan oleh hanya ideologi yang mewakili seperti ideologi Islam untuk kemudian memperjuangkan tegaknya Negara Islam, atau ideologi Kristen/Katolik untuk kemudian memperjuangkan tegaknya Negara Kristen. Tapi, Indonesia satu kesatuan yang mengikat semua ideologi yang tumbuh di dalam diri jiwa bangsanya yang tidak bisa dimusnahkan atau diabaikan.
Dengan itulah paham kebangsaan (nasionalisme) dengan tujuan mengayomi semua golongan adalah keniscayaan bagi kita untuk mendirikan sebuah negara di atas kepentingan dan kesepakatan bersama (al-Mitsaq), bahwa negara nasional adalah kesepakatan semua golongan, heefs niests te maken met ideologie (ingin dengan ideologi sendiri).
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Menyukai ini:
Suka Memuat...