73 tahun sudah usia Bangsa Indonesia merdeka. Kemerdekaan Bangsa Indonesia, merupakan sebuah proses sejarah dan berbangsa yang tidak pernah berakhir.
Sebab, kita dapat mengatakan tentang merdeka yang sesungguhnya ketika setiap warga negara mempunyai otonomi dalam arti yang seluas-luasnya yaitu menentukan hukum untuk dirinya sendiri (autos: sendiri, Nomos: hukum). Namun hal itu hanya bisa terjadi kalau kondisi-kondisi sebagai syarat-syaratnya, seperti politik dan ekonomi serta sosial – budaya yang kuat sungguh terpenuhi.
Sebetulnya, Presiden Jokowi di pemerintahan pusat sudah memulainya. Hanya saja, itu belum banyak didukung oleh daerah. Problem besar sekarang ada di kreativitas daerah .
Bukan karena mereka tidak menguasai, tetapi aturan dibuat terlalu banyak sampai akhirnya pusing sendiri.
Mungkin ada baiknya, jika para kepala daerah dikumpulkan lagi oleh presiden, diberi arahan khusus untuk bagaimana membangun daerah secara kreatif. Skema triple helix bisa berjalan: pemerintah – swasta – lembaga-lembaga pendidikan. Apalagi dalam era otonomisasi daerah. Otonom artinya menentukan sendiri hidup daerahnya. Seperti yang dikatakan bung Karno, berdikari berdiri diatas kaki sendiri.
Apakah kita sebagai bangsa sudah sampai pada pemenuhan tersebut? Saya pikir belum, meskipun Presiden Jokowi sudah mulai membuka jalan, memberi harapan, dan optimis.
Contohnya di bidang politik, kita sudah relatif bebas , meskipun dominasi oligarkis elit partai tetap kuat. Dalam dinamika politik yang terjadi ingatlah selalu bahwa kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya.
Memang, kita harus mengakui bahwa konstelasi politik kekuasaan saat ini, memaksa kombinasi nasionalis-religius. Ini jangka pendek. Karena menyangkut pemilihan umum demi kelanjutan program pembangunan .
Keutuhan yang riil hanya bisa terjaga bila kesenjangan pembangunan bisa diperkecil, dan hidupnya UMKM, koperasi, dll.
Yang perlu diperhatikan saat ini adalah kemerdekaan di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya.
Merdeka di bidang ekonomi, artinya menghidupkan ekonomi kreatif di daerah, penggalangan swasembada pangan (bukan beras), redistribusi tanah, hutan untuk masyarakat.
Apalagi untuk saat ini
Pasar bebas memang sangat dominan, tapi tidak semua negara mengikuti doktrin pasar bebas yang membiarkan persaingan bebas antara pemodal kuat dengan pemodal kecil. Menghendaki minimalnya campur tangan negara terhadap pasar. Ini adalah doktrin lama Adam Smith tapi dihidupkan lagi oleh rezim neoliberal hari ini yang kaki tangannya adalah IMF dan WB. Mereka ini yang memaksakan SAP untuk negara berkembang termasuk Indonesia, melalui kebijakan deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi segala sektor. Namun, dalam kenyataannya, semua itu hanya cara negara maju untuk tetap menguasai negara berkembang. Mengapa?
Pertama: Konsep deregulasi, privatisasi dan liberalisasi hanya cocok untuk negara-negara yang sudah maju industrinya dan relatif seimbang dalam kemajuan. Tapi, itu tidak bisa berlaku dalam hubungan dengan negara maju-negara berkembang. Namun sialnya, negara berkembang mesti menerima hal tersebut karena banyak dana yang dipinjam oleh negara berkembang dari negara maju melalui instrumen penting seperti WB dan IMF.
Kedua, dengan adanya perang dagang hari ini antara AS dengan China, dll, memperlihatkan bahwa negara pendukung utama pasar bebas seperti AS ternyata menyadari kerapuhan sistem yang dibuatnya sendiri, kemudian melakukan proteksionisme terhadap industrinya dengan berbagai macam cara. Naiknya suku bunga The Fed untuk menarik kembali pelaku industri AS yang sudah berpindah ke China, dll, juga perang regulasi antara US+Selandia baru dengan Indonesia akhir-akhir ini merupakan bagian dari deregulasi, proteksi dan liberalisasi yang jadi fundamen pasar bebas.
Dengan alasan seperti itu, apakah kita masih harus mengikuti apapun yang didoktrin oleh teoretisi pasar bebas?
Di bidang sosial: bantuan sosial, jaminan sosial dan kesehatan mesti ditingkatkan.
Di bidang budaya: kebanggan terhadap budaya sendiri, budaya daerah. Mestinya banyak diadakan festival budaya pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional. Hal ini bisa dipadu dengan kegiatan olahraga. Sangat berguna untuk promosi parawisata dan menghidupkan UMKM.
Terpenting bahwa faktor budaya, terutama budaya literasi sangat berpengaruh. Para pemimpin politik kita hari ini tidak punya budaya literasi yang kuat. Mereka tidak seperti CV para founding fathers kita. Itu juga mencerminkan masyarakat kita yang banyak bodohnya, dan bisa gampang diadu domba.
Lihatlah : Jerman, Prancis, Inggris (Eropa) yang budaya literasinya sangat tinggi. Mereka sangat stabil dalam hal politik, ekonomi dan budaya. Mereka melek dan waras berpolitik.
Oleh sebab itu
Pentingnya waktu untuk masyarakat lebih giat lagi belajar , dimana semua hal tersebut harus dimulai dari keluarga. Orang tua bersama anaknya harus siapkan waktu 1 jam sehari untuk membaca buku, majalah, koran, bersama-sama. Ini harus merupakan gerakan nasional.
Sangat pentingnya membangun budaya literasi, seharusnya dimulai dari kalangan intelektual seperti dosen dan guru.Mereka harus terbiasa membaca dan menulis, melakukan riset dan mempublikasikannya. Negara mesti memaksa mereka demikian disertai sanksi hukum yang perlu. Ini untuk memaksa kaum ilmuwan dan intelektual untuk produktif. Tujuannya adalah agar hal ini dapat menjadi kebiasaan yang baik dan berguna bagi negara kedepannya.
Hal tersebut diatas tidak dapat berjalan dengan baik, karena tidak ada paksaan dan tidak ada sanksi hukum. Coba dipaksa dan disanksi, misalnya gaji dipotong, tunjangan dihapuskan, pasti mereka akan produktif.
Otonomi seorang warga sangat ditentukan oleh cara berpikirnya yang tidak sekedar mengikuti tuntutan perubahan zaman, tetapi terutama keterarahan kepada kemanusiaan: hormat terhadap martabat manusia, kebenaran, keadilan, keindahan, keutuhan negara dan perdamaian internasional. Cara berpikir seperti itu dimungkinkan oleh budaya literasi yang kuat. Sebab, bukti yang sah tentang fondasi peradaban berkualitas tinggi bangsa-bangsa maju adalah budaya literasi di mana institusi pendidikan menjadi motor utamanya.