Oleh: Ernadi, S.H.I
Konon, Raja Asoka termashur sebagai penguasa kuat tapi keji. Kehendak kuasa terus ia luapkan, nyaris tak terperi. Ia bahkan bisa meluluhlantak Kerajaan Kalinga yang terkenal megah dan kebal itu, dengan hanya beberapa serdadu. Raja Asoka adalah baginda yang diagungkan.
Dengan pedang dan perang, wilayah teritori kuasanya tersebar ke semua semenanjung, meliputi hampir semua anak benua India. Ambisi kuasa membuat Raja Asoka tersohor di mana-mana.
Tetapi, sudah tiga tahun Baginda Raja Asoka gundah hati dan pikirannya. Mahkota yang terpasang gagah di kepalanya serasa digugat. Bukan oleh rakyatnya. Bukan juga karena siasat bangsawan lain. Andaikata hanya mereka, Raja Asoka akan remeh menumpas mereka dengan artileri dan serdadu yang dipercaya. Akan tetapi, nada gugatan itu berseru justru dari seluk nuraninya sendiri. Dari suara hatinya sendiri.
Baca Juga: Menjalar Langkah Anies Membatalkan Sertifikat Pulau Reklamasi
Ya, pesona kuasa telah membutakan nurani Raja Asoka. Arsitektur kekuasaan memang selalu memunculkan kesan berharga. Itulah kenapa banyak sekali orang memperebutkan “mahkota”. Karena, pada dasarnya, berkuasa berarti alokasi nilai secara otoritatif (Easton:1995). Yang berkuasa otomatis memiliki tongkat ajaib untuk memoles sesuatu apapun, secara otoritatif, melalui desain kebijakan atas nilai.
“Nilai” inilah yang terus menjadi ukuran keberhasilan kekuasaan itu. Nilai dalam praksis politik memiliki banyak makna: nilai kemakmuran, keamanan, kebenaran, keadilan, kesejahteraan. Tentu saja, seorang kuasa bukan sekadar “tuan yang memerintah”, tetapi ia juga memiliki aspek nilai yang menjadi domain atas kebijakan dan kebajikannya. Raja, yang berkuasa, pemimpin, ketua, dan padanan istilah lainnya, pantang gugup dan gagap kepada nilai moral dan sosial.
Bersambung dari itu, diskursus soal nilai akhir-akhir ini banyak digunjingkan. Menginjak tahun pemilihan, isu nilai menjadi debateble. Tetapi, tulisan ini akan concern pada satu angle saja: setelah 100 hari Anis-Sandi. Bahasan tentang Anis-Sandi memang tak pernah layu, sebagaimana kajian soal Jakarta yang tak pernah kering. Gubernur dan Wakil Gubernur di Ibu Kota itu terus menjadi sorotan publik dan media.
Menariknya, timbul polarisasi atas kacamata itu. Sebagian memuji 100 hari Anis-Sandi dengan beberapa terobosannya, sebagian lain menghujatnya. Tetapi, landasan polarisasi itu tampaknya bukan atas sorotan argumen “nilai politik”, tetapi melalui sentimen “dendam politik”—sebagaimana memang mulai terbentuk jauh hari sebelum Pilkada DKI 2017. Bagaimanapun, fanatisme atas sesuatu hal apapun tidaklah benar!
Perdebatan 100 hari Anis-Sandi jalan di tempat pada soal yang paling artifisial dalam politik: aku dukung dan aku tidak dukung. Padahal, yang harus dijejal terus-menerus kepada mereka mestinya soal res publica, yakni kedaulatan dan kesejahteraan “hati nurani” masyarakat.
Jakarta selalu menjadi lokus kajian yang seksi. Ibu Kota menjadi barometer nasional, soal apa saja. Jakarta adalah benteng kekuasaan—yang karena itu pula Jakarta juga menjadi—episentrum persoalan. Nyaris semua pemberitaan di media adalah tentang Jakarta, tepatnya, orang-orang di Jakarta.
Sebelum merengsek sebagai calon gubernur di DKI tahun lalu, Anis Baswedan bukanlah media darling, meski ia adalah sosok intelektual par-exellent yang ketokohannya diulas di beberapa media populer internasional, seperti majalah top Amerika, Foreign Policy pada 2008, World Economic Forum pada 2009 juga memasukkan namanya sebagai Young Global Leader, dan Majalah Foresight pada 2010.
Anis, waktu itu, bukanlah buah bibir media. Semua berubah sejak dilantik pada Oktober tahun lalu. Anis selalu mengisi lini masa sosial media dan menjadi sorot pemberitaan publik. Atas dasar inilah, tanpa mesti menghakimi, tulisan ini mencoba menerawang gugatan dan pujian atas kinerja Anis-Sandi tanpa kacamata primordial-fanatis.
100 hari tentu bukan waktu yang cukup untuk menilai kualitas alokasi nilai “kuasa” Anis-Sandi. 100 hari hanya idiom politik yang lazim digunakan publik, sebagaimana selametan dan pengajian untuk 100 hari lahirnya seseorang. Pada 100 hari awal, Anis-Sandi rupanya telah bergegas untuk melunasi “piutang politik” saat kampanye: kebijakan penutupan Alexis dan proses a lot pencabutan HGB terhadap penghentian reklamasi Teluk Jakarta.
Setidaknya, beberapa hal terobosan Anis-Sandi adalah bukti konkret keberhasilan “nurani” mereka untuk membuktikan kepada publik, bahwa janji adalah piutang yang harus dikelarkan. Meski begitu, bukan berarti Anis-Sandi berhasil di segala hal. Ada beberapa kebijakan “prematur” yang terburu-buru dan ada indikasi maladministrasi yang memang perlu disoal, seperti: penutupan Jalan Jati Baru Raya untuk lapak PKL, OK-Otrip, hingga pengembalian becak sebagai angakutan warga.
Selain itu, masih berjibuk persoalan di Jakarta yang harus segera ditangani Anis-Sandi. Jakarta memang episentrum masalah karena ia adalah Ibu Kota dengan beragam kompleksitasnya. Persoalan krusial banjir, macet, urbanisasi, pengangguran, kriminalisasi, harus segera dipikirkan matang oleh Anis-Sandi.
Publik akan mengingat retorika Anis-Sandi saat kampanye. Visi, 5 misi, dan 23 janji kerja Anis-Sandi akan segera ditagih publik Jakarta. Masyarakat yang cerdas akan melihat nilai daripada sentimen yang tak kunjung selesai. Lagipula, desain demokasi kita menempatkan pemimpin pada rumah dengan pintu terbuka untuk kritik dan saran rakyat yang membangun. Karena demokrasi tanpa kritik seperti gula tanpa semut.
Yang paling penting, jangan menghujat dan membela Anis-Sandi dengan keras kepala, dengan hanya mengandalkan alur media (sosial) yang tak jelas juntrung datanya. Sampaikan aspirasi melalui spirit yang bernilai “membangun”, bukan muslihat untuk “menghukum”.
Bukankan Raja Asoka terketuk menyesal karena bisikan lembut hati nuraninya, sehingga ia tobat dari perang dan hendak mengisi tempurung kerajaannya dengan air-air kearifan.
*Ketua Umum Jaringan Rakyat (JARRAK), Jakarta.
SerikatNews.com adalah media kritis anak bangsa. Menyajikan informasi secara akurat. Serta setia menjadi platform ruang bertukar gagasan faktual.
Menyukai ini:
Suka Memuat...