“Ada Ratna, ada Sukma.
Dua-dua wanita perkasa.
Dua-dua berkata-kata.
Bukan sekadar cerita.
Ada Ratna bicara fakta
Punya relasi petinggi kota
Bebas dia berlagak laga
Rame-rame manusia bicara tiru gaya.
Bully juga ujung-ujungnya.
Ada Sukma bertutur kata
Dalam lagu irama jiwa
Tafsir sini,tafsir sana
Banyak rupa menimbang makna
Air mata sudah bicara
Tetap saja tak kuasa
Tenang teduh itu mahal harganya
Menanti kita dalam relungasa
Adakah salam sapa santun kata bebas rasa bangun asa demi utuh bangsa kita?”
Jika RA Kartini tidak berkawan penadengan Jacques Henrij Abendanon pada awal abad ke-20, bisa jadi kasus yang menimpa Ratna dan Sukma tiadaa kan bergema. Kaum wanita kita memilih
lebih banyak diam seribu basa sebagaimana dahulu kita diajar begitu.
Buah pikiran Kartini yang dibukukan kedalam “Habis Gelap Terbitlah Terang” menja dipilar utama kaum wanita Indonesia beroleh peluang kesetaraan pendidikan. Salah satu wujudnya adalah kebebasan berwacana. Kebebasan berekspresi.
Dijaman “now“, kebebasan berbicara, atau kebebasan mengungkapkan isi sukma itu dilindungi undang undang. Maka semakin banyak orang lah yang berani berkata-kata.
Miris juga kita jadinya, jika membandingkan kata-kata yang terucap dari mulut Ratna dan Sukma.
Ibarat manusia, bangsa ini seolah sedang melalui fase akil-balig. Umur boleh tua,70 tahun lebih. Namun, sikap berbangsa, agaknya, masih tidak tetap hati. Arus massa membelokkan makna kesana kemari. Tergantung siapa yang merasa lebih kuat.
Ketika seorang wanita berani bicara pada apanya tentang hal yang melintas dipikirannya dalam keadaan terdesak, lalu memilih memakai relasi pejabat kota sebagai senjata pembebasnya, dan dia pun bebas, apakah pola serupa bisa dilakukan oleh wanita-wanita lainnya?
Ketika ada seorang wanita lainnya terpaksa menjadi terbata-bata didalam kata, dengan berurai air mata pula, sendirian ia melawan arus massa, entahkah adakah pejabat kota yang sama bersedia menjadi pembebasnya?
Kata-kata itu mengandung misteri. Apalagi jika didalam bahasa sastra. Dia yang bersuara, dia yang tenggelam dalam renungan sarat makna.
Akankah kita, belajar dewasa, menggumulinya, bukan sekadar asal mengekor gerak massa?
Ibu kota selalu punya cerita.
Sayang sekali, dua wanita itu berbeda narasi akhirnya.
Penulis Adalah Konsultan Manajemen dan Penulis Lepas