LAGI-LAGI kasus kebocoran data kembali marak terjadi. Yang terbaru saat ini adalah berdasarkan hasil temuan peneliti keamanan siber dari VPNMentor yang mengungkapkan adanya kebocoran data dari aplikasi e-HAC atau Electronic Health Alert (e-HAC) pada 15 Juli silam. Di mana terdapat 1,3 juta pengguna di dalamnya. Padahal aplikasi ini merupakan milik kementerian kesehatan yang seharusnya keamanan datanya harus terjaga.
Bila kita perhatikan secara seksama, maraknya kebocoran data pribadi warga negara Indonesia, pemerintah cenderung lalai. Padahal negara harus memiliki suatu protect system yang diharapkan memberikan perlindungan dan keamanan privasi data warga negaranya dengan memberikan payung hukum yang jelas kepada rakyat terkait ancaman kebocoran data yang berakibat hilangnya hak-hak tiap individu tersebut. Namun, masih mandeknya Pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi & RUU Keamanan dan Ketahanan Siber yang hingga kini masih digodok di parlemen belum menemui titik cerah.
Melihat dari kondisi hari ini terkait realisasi pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi ini belum terlaksana. Padahal dalam era digital yang berlangsung cepat dan tak terduga dibutuhkan payung hukum yang berguna untuk menjamin hak-hak warga negara. Padahal RUU ini sudah masuk Prolegnas pada tahun 2016, selama kurun waktu 4 tahun ini belum memiliki tanda-tanda yang jelas kapankah RUU ini akan disahkan. Perlu adanya sinergitas antara pemerintah selaku lembaga eksekutif dengan DPR sebagai lembaga legislatif untuk mencari titik temunya, agar permasalahan ini tidak terlalu berlarut.
Saat ini kurang lebih 25 negara di dunia mempunyai undang-undang mengenai perlindungan data pribadi. Bahkan negara tetangga (Malaysia) sudah terlebih dahulu daripada Indonesia mengatur mengenai perlindungan data pribadi dalam bentuk undang-undang tersendiri. Malaysia mengaturnya dalam Personal Data Protection Act (PDPA) 2010. Malaysia Personal Data Protection Act (PDPA) 2010 akhirnya disahkan oleh parlemen Malaysia pada awal Mei 2010. Dengan berlakunya Undang- Undang ini, maka Malaysia untuk pertama kalinya memiliki Undang-undang yang mengatur secara spesifik mengenai privasi dan memberikan perlindungan terkait data pribadi.
Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara tertinggal dalam urusan perlindungan data pribadi yang sampai saat ini belum ada UU yang mengatur terkait hal tersebut.
Saya sepakat apa yang dikatakan oleh Bapak Syaifullah Tamliha Anggota Komisi I DPR RI menyatakan bahwa melihat posisi Indonesia yang memiliki penduduk sekitar 267,7 juta jiwa diperlukan kebijakan khusus dalam hal penangangan perlindungan data pribadi. Tentunya, melalui Undang-Undang, sebagai pijakan dasarnya. Meskipun privasi data pibadi di Indonesia memang dilindungi, namun tidak diatur dalam Undang-undang yang spesifik, itu sebabnya masih banyak kasus pelanggaran hak privasi terkait data pribadi. Menurutnya, hadirnya RUU ini juga untuk meyakinkan masyarakat agar tidak perlu khawatir datanya tersebar, karena sudah dilindungi oleh Undang-Undang.
Bila RUU ini dapat disahkan menjadi suatu Undang-undang, ini merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah dalam menghadapi ancaman nyata saat ini yakni ancaman keamanan siber yang sudah menjadi ancaman secara global. Di mana setiap negara perlu memproteksinya. Tentunya, tetap memegang prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk bertindak cepat dalam mengatasi permasalahan ini. Supaya kebocoran data tidak kembali terulang dan hak privasi warga negara memang betul-betul dilindungi dengan payung hukum yang kuat.
Founder Forum Intelektual Muda