Al-qur’an telah menjelaskan bahwa bumi diciptakan dengan segala isinya adalah untuk kebutuhan manusia. Artinya, bumi diciptakan oleh Allah sebagai sebuah lingkungan tempat manusia hidup, baik untuk memenuhi kebutuhannya, sebagai tempat tinggal dan untuk merawat keturunan. Dan dengan itu pula bumi sebagai lingkungan yang memiliki korelasi dan jalinan satu kesatuan alam raya yang lebih besar, yang kemudian dinyatakan didalam al-Qur’an diciptakan dengan keseimbangan.
Oleh karena itu, posisi manusia sangat strategis dalam merawat dan menjaga bumi beserta isinya demi keberlangsungan kehidupan dan dalam rangka memelihara alam raya sehingga tetap terjaga keseimbangannya.
Dewasa ini masalah tentang lingkungan terus menjadi agenda yang dibicarakan oleh banyak negara. Laporan penelitian tentang pencemaran dan kerusakan lingkungan dimuka bumi telah menjadi suatu hal yang menakutkan dan mengerikan terhadap keberlanjutan kehidupan manusia.
Akan tetapi, krisis lingkungan hidup yang melanda dunia dewasa ini bukan hanya persoalan teknis, ekonomis, sosial-budaya, dan teologis semata. Melainkan juga sangat terkait dengan pilihan ideologi pembangunan yang dikembangkan oleh sebuah negara.
Disisi lain agama atau kepercayaan sebagai nilai yang seharusnya menjadi basis perilaku ekologi ternyata belum mampu menggerakkan manusia secara konstruktif dan aktif dalam merawat alam dan melastarikannya sebagai investasi dimasa depan. Ada problem internal rakyat Indonesia, baik problem pengaruh agama, budaya, maupun tradisi dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Berbagai studi menyimpulkan bahwa masalah lingkungan (environment) yang dihadapi manusia di berbagai belahan dunia merupakan akumulasi dari persoalan kemanusiaan yang lain. Persoalan ledakan penduduk (population explosion), dampak ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan bahkan kehampaan spiritual. Selain itu, pengaruh industrialisasi berdampak signifikan pada krisis ekologi.
Industrialisasi sebagai dampak perkembangan IPTEK yang dikembangkan oleh negara, pada faktanya telah menjadi pintu masuk kerusakan-demi kerusakan lingkungan. Perkembangan industri yang semakin mereduksi kualitas lingkungan hidup dan mengancam kehidupan rakyat tak mampu menggoyahkan pendirian pemerintah untuk keluar dari jeratan industrialisasi ala kapitalis. Teori ekonomi kapitalis menjelaskan bahwa sumberdaya alam merupakan salah satu dari tiga faktor produksi yang utama, selain human resources (manusia) dan financial resources (dana).
Jika dicermati, setiap tahun tak kurang dari 4,1 juta hektar hutan di Indonesia berganti menjadi areal pertambangan, perkebunan besar, dan kawasan industri. Hutan yang selama ini menjadi tempat berburu, sumber obat-obatan dan sumber pangan dan kehidupan bagi komunitas lokal semakin banyak yang dikuasai oleh pemodal. Akibat yang lebih berbahaya lagi adalah dengan hancurnya hutan-hutan di Indonesia memiliki andil cukup besar dalam memicu perubahan iklim dan pemanasan global akibat’bolongnya’ lapisan ozon.
Disadari atau tidak, cepat atau lambat kegiatan eksploitatif yang tidak disadari dan tanpa adanya timbal balik terhadap alam dan sumberdaya akan berakibat kepada manusia itu sendiri. Dampak-dampak yang terjadi semakin tidak terelakkan, akibat perilaku eksploitatif yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok sehingga menjadikan sumber kesengsaraan yang berkepanjangan seluruh umat manusia.
Masalah ini memerlukan kesadaran semua umat manusia untuk mengembalikan dunia pada ekosistem ekologi yang normal berdasarkan hukum alam. Dengan dimasukkannya aspek perilaku manusia sebagai salah satu penyebab bencana alam, hingga kesehatan global dan kemiskinan yang keseluruhannya merupakan akibat perbuatan manusia. Jika alam tidak dijaga keharmonisan dan keseimb angannya, maka secara hukum alam (Sunnatullah) keteraturan yang ada pada alam akan terganggu dan dapat berakibat munculnya bencana alam. Al-Qur’an selalu menegaskan akan perlunya keselarasan karena alam ini diciptakan secara teratur.
Hubungan Antara Ekologi dan Tafsir
Salah satu pesan yang disampaikan disini adalah bahwa ekologi merupakan ruang-ruang hidup manusia yang meliputi segala yang ada di alam raya, yang menyiapkan segala kebutuhan dan sumber daya yang tak pernah habis jika dimanfaatkan secara benar. bahkan agama pun mengatur bagaimana memperlakukan alam dengan tanpa merusak dan tetap menndapat keuntungan darinya.
Jelas, manusia sangat bergantung kepada alam, dan adanya fenomena krisis ekologi tidak lain dan tidak bukan juga karena ulah manusia yang tidak bisa menahan hawa nafsu dan syahwatnya sehingga terjadi arogansi antroposentrisme. Yaitu paradigma arogan yang menjadikan alam sebagai pemuas kebutuhan manusia. Sebagaimana telah tercantum secara eksplisit didalam al-Qur’an surat Ar.Rum : 41
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Hal itu seharusnya menjadi cambuk dan bahan evaluasi, inspirasi, sekaligus motivasi bagi pengkaji al-qur’an dan para mufassir untuk segera merumuskan episteme agar menghasilkan sebuah produk tafsir yang memiliki perspektif dan keberpihakan ekologis yang jelas demi keberlanjutan ekologi. Mengingat peran tafsir sebagai interpretasi sebuah teks keagamaan suci yang dekat dengan agamawan sehingga memberikan kontribusi yang massif terhadap masyarakat luas, juga banyaknya ayat-ayat kauniyah yang menjelaskan tentang ruang-ruang ekologi.
Hal ini mengingatkan seperti yang dikatakan Abdul Mustaqim bahwa perilaku masyarakat (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought). Sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks keagamaan, kemudian menjadi sistem teologi yang mereka yakini. Karena itu, Dari posisi teologi yang mesti dilihat adalah mana dari tindakan manusia itu yang menimbulkan pelanggaran atas harmoni alam.
Tafsir-tafsir klasik dan abad pertengahan agaknya memang tidak menjelaskan, meskipun ada seperti Tantowi Jauhari dalam kitab tafsirnya Jawahir al-qur’an yang juga membahas ekologi secara sains dan bercorak ilmy, namun butuh penafsiran secara massif rinci serta sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan melakukan pola relasi dengan alam ini, agar misi kekhalifahan manusia di muka bumi dapat terlaksana dengan baik.
Hal itu bisa dimengerti, sebab boleh jadi problem ekologis ketika itu memang tidak separah sekarang ini, meskipun sejak masa nabi persoalan ekologi dan agraria sudah ada dan semakin berkembang hingga kini. Oleh sebab itu, di era modern ini merumuskan paradigma tafsir ekologis menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk memberikan kontribusi etis-teologis bagaimana semestinya manusia menjalin komunikasi yang baik dengan alam yang menjadi tempat tinggalnya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Sebagaimana relasi trilogi, yaitu antara manusia sebagai Khalifah yang ditugaskan untuk menjaga bumi, Tuhan sebagai sang pencipta dan Alam sebagai tempat dan ruang hidup, sudah semestinya memiliki sinergi dan keseimbangan yang harmonis.
Ala kulli hal dengan kitab suci sebagai wasilah dan petunjuk dalam manusia berbuat, serta mengingat fenomena alam yang begitu ganas, perumusan tafsir berbasis ekologis menjadi sebuah desakan yang sangat relevan di era kontemporer saat ini sebagai spirit ekologi dan keberagamaan.
Menyukai ini:
Suka Memuat...