“Sudah saatnya kita memahami sifat dan gerak-gerik COVID-19 dengan saksama, dari data yang bisa diandalkan keabsahannya.”
Sejak awal terjadinya pandemi COVID-19, data surveillance menjadi tolok ukur keterjangkitan virus di tengah masyarakat dunia. Surveillance sendiri memiliki tujuan untuk mengendalikan dan mengetahui dampak penyakit tersebut dengan mengamati kasus suspek, probable, konfirmasi dan cluster. Data yang didapat utamanya berasal dari tes laboratorium, baik menggunakan PCR ataupun Rapid Test yang lebih cepat hasilnya dibandingkan Elisa, walaupun memiliki banyak kelemahan.
Sayangnya, tanpa melihat gejala sakit pada objek tes, hasil positif langsung dimasukkan ke dalam kategori terkonfirmasi. Padahal, data positif dengan menggunakan tes PCR mayoritas merupakan data asimtomatik yang masih menjadi polemik di antara ahli kesehatan. Orang positif asimtomatik bisa terjadi karena memang seseorang hanya terpapar virus inaktif yang tidak dapat dibedakan oleh PCR, atau ia memang belum menunjukkan gejala karena virus masih dalam masa inkubasi (presimtomatik).
Data positif asimtomatik yang merupakan jumlah mayoritas ini yang kemudian menjadi angka yang menunjukkan “keganasan” COVID, padahal positif dalam keadaan asimtomatik tidak bersifat menular. Penularan pada COVID hanya terjadi bila seseorang menunjukkan gejala sakit sebagai indikasi bahwa virus memperbanyak diri (bereplikasi).
Permasalahan pendataan surveillance tidak berhenti sampai di sana, angka kematian yang bertambah setiap harinya ternyata terbagi atas kasus probable dan terkonfirmasi. Probable, yang berarti “kemungkinan”, didapat bila seseorang mengalami ARDS sebelum kematian sebagai indikator infeksi berat COVID-19. Namun permasalahannya, ARDS tidak selalu berkaitan dengan COVID-19 dan bisa juga diakibatkan oleh penyakit lain. Pada kasus kematian terkonfirmasi, hasil swab positif adalah penanda apa pun gejala klinis pada pasien yang meninggal.
Data surveillance yang seperti ini, dengan tanpa otopsi pada kasus meninggal, ditambah kasus asimtomatik akibat paparan dan bukan infeksi, menyebabkan COVID-19 bertahan sebagai virus yang keberadaannya mengancam dunia. Khususnya di Indonesia, virus ini belum diperlakukan secara ilmiah dengan melakukan penelitian mendalam dengan mengisolasi virus dan memurnikannya dari kontaminasi virus lain. Yang sudah dilakukan adalah sebaran data surveillance dan berita-berita kematian yang hanya menimbulkan ketakutan yang berdampak panjang pada kehidupan.
Kegiatan ekonomi Indonesia dan bahkan dunia nyaris terhenti. Kegiatan pendidikan anak terpaksa dilakukan dengan tidak mumpuni. Para pekerja seni dan pekerja lepas hampir mati berdiri. Ketakutan yang kadung tersebar membuat masyarakat menahan aktivitas jual beli yang membuat negara-negara di ambang resesi, termasuk Indonesia.
Oleh karenanya, sudah saatnya kita memahami sifat dan gerak-gerik COVID-19 dengan saksama, dari data yang bisa diandalkan keabsahannya. Positif asimtomatik yang tidak menularkan seharusnya tidak disertakan dalam data surveillance. Begitu juga dengan data kematian yang tidak bisa hanya melihat kondisi ARDS pra kematian atau swab positif. Dengan memahami semua aspek secara komprehensif, maka kita akan dapat menentukan tindakan yang efektif dan efisien untuk hidup bersama COVID-19, sebagaimana kita telah hidup dengan normal bersama bakteri TBC, virus DBD dan ribuan virus, bakteri dan mikroba lainnya.
Kontributor Serikat News Batam