Ketika memasuki gerbang bertuliskan “Makam Batoro Katong”, suasana sangat tenang, hanya anak-anak kecil bermain di pelataran masjid, yang memainkan tembang cublek-cublek suweng.
Di kompleks pemakaman yang berada di ujung sebuah desa bernama Sentono tersebut, terdapat juga sebuah Masjid, Pendopo dan Sekolah Dasar. Semua fasilitas itu terlihat dirawat dan dikelola dengan baik. Kecuali beberapa tembok yang dibiarkan menghitam.
Gerbang atau pintu yang mesti Anda lewati, ketika hendak berziarah ke sana berjumlah 5 gerbang, dan 6 kalau pintu makam dihitung.
Melihat dari kedua angka itu, kita akan merujuk pada jumlah dari Rukun Islam (5) dan Rukun Iman(6).
Pada maknanya, menginjakkan kaki di setiap daun pintunya, keislaman Anda bukan lagi untuk dipertanyakan.
Selain itu, cungkup makam Batoro Katong demikian mengesankan. Sebuah cungkup khas Jawa. Sebagai prasyarat untuk bisa melewatinya, Anda harus menunduk, menghormati alias bersikap tawadhu’.
Menurut Agus Sunyoto (2014), Ki Batoro Katong sendiri merupakan putra hasil pernikahan dari Prabu Brawijaya V (Sri Kertawijaya) dengan Putri Champa (Darawati) yang seorang muslimah.
Kondisi Majapahit sempat kurang kondusif tatkala Brawijaya V mempersunting Putri Champa. Banyak pihak kurang setuju, Brawijaya beristri seorang muslimah.
Ketidaksetujuan mereka lahir dari kekhawatiran yang, lebih spesifik berdasarkan ihwal keimanan. Bergantinya haluan dari Majapahit yang beriman Hindu-Buddha beralih ke Islam.
Kritik pedas pun tak segan dilayangkan ke Prabu Brawijaya V. Seperti yang dilakukan oleh Ki Ageng Kutu, dia menggambarkan kepala Macan (lambang kelelakian–Prabu Brawijaya) takluk alias ditunggangi oleh Dadak Merak (lambang perempuan–Putri Campa). Belakangan, manifestasi dari kritik itu dinamai dengan Reog.
Selain mengkritik, Ki Ageng Kutu berniat untuk memberontak kepada Majapahit. Tapi bau pengkhianatan itu tercium oleh Majapahit, yang lantas mengutus Batoro Katong untuk menumpas Ki Ageng Kutu.
Penumpasan itu berhasil dan Batoro Katong pada kurun tahun 1456 diangkat sebagai Adipati Ponorogo di era kepemimpinan Majapahit di bawah kuasa saudaranya sendiri yakni Hyang Purwwawisesa–anak sekaligus pengganti Sri Kertawijaya yang meninggal pada tahun 1451 M.
Proses berdakwah melalui akulturasi budaya salah satunya dengan pernikahan adalah ulah dari Walisongo. Mereka menginginkan kerajaan yang gagah menguasai Nusantara tersebut beriman dan berpegang kepada ajaran agama Islam.
Meskipun begitu, Brawijaya V mengumumkan dirinya tetap pada ajaran terdahulu. Namun, menurut Agus Sunyoto (2014) Sri Prabu Kertawijaya dikenal sebagai Maharaja Majapahit pertama yang menaruh perhatian besar kepada perkembangan agama Islam. Pada saat itu, Walisongo mendapatkan momentumnya.
Hal itu diperkuat dengan belakangan diketahui bahwa menurut Gus Dur dalam Membaca Sejarah Nusantara (2011) di akhir kekuasaannya, dalam kecamuk agama internal Majapahit, Brawijaya V lebih memilih berkhalwat. Dia lepaskan segala legitimasi dunia yang melekat padanya dan berdiam diri di Gunung Lawu sampai wafat dalam iman Islam–seperti terlihat pada model makamnya.
Akan tetapi, beberapa konflik internal di Majapahit itu mengakibatkan suasana di kerajaan kurang begitu nyaman bagi anak-anak Brawijaya V dengan Putri Champa. Intrik jahat berupa olok-olok dan caci maki kerap mewarnai.
Alhasil mereka diberi kebebasan berkelana untuk mengejar citanya. Menariknya, meski belum mengaku sebagai Islam kepada rakyatnya, anak-anak dari Putri Champa itu diasuh dan dididik dengan cara Islam.
Batoro Katong memiliki nama kecil Lembu Kanigoro. Seperti kakak tertuanya, Lembu Kenongo atau Raden Patah, Lembu Kanigoro mendalami Islam dengan berguru kepada Walisongo di daerah Bintaro. Kelak, Raden Patah diangkat pula menjadi Adipati di Bintaro.
Di sana ia ngaji di bawah bimbingan Sunan Kalijaga dan beberapa ulama yang lain. Seperti pada umumnya, pelajaran Sunan Kalijogo penekanannya ada pada ilmu laku dan ilmu ma’rifat.
Berkat pembelajaran itu, Batoro Katong mulai yakin untuk bisa menumpas segala bentuk pemberhalaan agama di sana. Kecuali beberapa kesenian terutama Reog yang masih dipertahankan. Padahal kita tahu, jika Reog merupakan buah kritik daari Ki Ageng Kutu kepada Ayahnya (Brawijaya V). Tapi, oleh Batoro Katong, kesenian itu masih dipertahankan. Sebab masyarakat menyukai. Dan tentu sebagai bukti sejarah kerajaan.
Batoro Katong terlahir menjadi sosok pemimpin agama sekaligus pemegang tampuk kuasa, ia mendapatkan banyak perhatian dari para rakyatnya. Alhasil, dalam rangka penyebaran agama sekaligus kuasa, babat alas pun dilakukan untuk kuasa wilayah di Wengker (Ponorogo). Hutan demi hutan ditebangi untuk pemukiman rakyatnya.
Di tangannya, Ponorogo menjadi tanah perdikan Majapahit yang memegang adat budaya sekaligus agama secara bebarengan.
Hingga pada saat ini, makam dan jejak pemimpin agama sekaligus pemimpin kenegaraan Ponorogo itu masih bisa dirasakan.
Peneliti Muda Isais UIN SUKA
Menyukai ini:
Suka Memuat...