Ratusan ribu orang minta FPI dibubarkan. Lewat petisi. Karena FPI dipandang meresahkan. Saat bersamaan ada kejutan. Kivlan Zen dilepas. Karena unsur paling mendasar sebuah gerakan makar belum terpenuhi. Lain lagi dengan Eggi Sudjana. Maka, Tjahjo Kumolo tepat soal FPI. Tito Karnavian benar soal Kivlan Zen.
Politik adalah seni. Politik bukan cuma nafsu. Ngomong ngawur tanpa data. Politik bukan hanya berteriak-teriak Allahu akbar. Politik bukan sekedar memakai jubah atau kopiah.
Aristotle, filsuf Yunani menyebutkan bahwa manusia secara alamiah adalah binatang politik (political animal). Oleh karena itu, kita harus memahaminya dari sudut itu. Tendensi untuk bertahan sebagai binatang juga kita harus hargai. Salah satunya adalah hak untuk mencari makan. Dan, politik adalah kekuasaan, politik adalah uang. Uang adalah alat tukar untuk makan.
Maka menurut ilmu kebinatangan politik (animal political science), segala perilaku politik itu sah dan benar. Buktinya? Andi Arief menyebut ada pekerjaan politik menggalang massa, lalu dapat duit, lalu beli makanan. Ya benar. Cocok dengan teori dasar.
Kivlan Zen juga benar. Dia menerapkan teori politik paling mendasar itu. Dia menjelek-jelekkan Presiden ke-6.
“Dia junior saya. Saya yang mendidik dia. Saya tahu dia orangnya licik. Dia mendukung 01 waktu menang di tahun 2014,” kata Kivlan Zen saat memimpin demo di depan Kantor Bawaslu, Jakarta (9/5/2019).
Perilaku Kivlan Zen ini cocok dengan teori ilmu kebinatangan politik ala Aristotle. Sebagai senior, dia dengan entengnya menjelekkan SBY. Serampangan dia ngomong soal 01 di tahun 2014. Jokowi saat itu 02 bukan 01.
Dalam animal kingdom (kerajaan binatang), senior dianggap kuat. Contohnya? Singa jantan senior adalah raja. Itu berlaku sampai kekuatannya habis. Yakni ketika ada singa muda yang berani melawan. Kivlan Zen, adalah singa tua tanpa tenaga. Dia hanyalah pion. Ada mantan jenderal yang lumayan penting: Djoko Santoso.
Dalam gambaran ini, maka tepat Tito Karnavian melepaskan Kivlan. Dalam hitungan politik cerdas, nangkap Kivlan Zen kontra produktif. Pun omongan Kivlan Zen soal People Power, seperti tulisan saya sebelumnya, hanya buih-buih di lautan. Tak akan pernah jadi ombak. Omong kosong.
Jadi, cekal dicabut. Kivlan mau kabur dari Indonesia? Silakan. Mau bergabung dengan para pendukung khilafah syariah di Brunei Darussalam? Please. Mau ke Arab berbagi kost-an dengan Rizieq? Juga boleh. Itu arahan pemikiran cerdas Jenderal Tito. Mantap. Kivlan tak usah diberi panggung.
Demikian pula soal FPI? Tjahjo Kumolo benar. Dia tidak perlu melarang FPI, izin akan tetap diberikan. Urgensinya membubarkan FPI sekarang tidak tepat.
Masih meminjam teori Aristotle. Dalam dunia binatang, gerombolan monyet (shrewdness of apes), monyet-monyet tua reot tidak pernah diserang oleh monyet kuat dan muda. Kenapa? Lah monyet reot tinggal menunggu mati.
Tjahjo dan Tito cerdas. Mereka paham timing. Saat ini, FPI kehilangan kekuatan, loyo, lesu. Makanya tanggal 9-10 Mei 2019 hanya 13 juta orang yang mengepung Bawaslu dan KPU. Hahaha.
Kubu 02 sudah berantakan, disarray. Andi Arief serang Kivlan Zen. Arif Poyuono menggebrak Demokrat. Kivlan mencerca SBY. Prabowo berteriak curang. Sandi limbung mikirin duit keluar terus. Meski sudah kalah. Stress.
Nah, di mata Tjahjo dan Tito, 02 tak perlu diberi panggung. Biarkan Oplet reot teronggok di Republik Kertanegara. Jangan jadikan mereka playing victim, merasa seolah didzolimi. Prabowo, Sandi, Kivlan, hanya perlu waktu. Agar sadar.
Sekali lagi soal FPI dan Kivlan Zen. Tjahjo dan Tito cerdas. Karena oplet reot rongsokan itu tidak akan pernah menjadi Bumblebee. Namun, jika anarkis oplet reot itu akan disingkirkan, ditenggelamkan sekalian dengan delusi Republik Kertanegara. Agar kita tidak perlu passport untuk ke sana.
Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu teori filsafat I am the mother of words. Saya induk kata-kata.