Kantin mahasiswa siang hari. Saya sedang menghentikan musik keroncong di perut saya. “Pak Xavier, boleh saya duduk semeja dengan Bapak?” ujar seorang mahasiswi dengan sopan.
Saya pikir dia ingin tanya masalah perkuliahan. Ternyata bukan.
“Saya ingin jadi penulis”, ujarnya singkat.
“Why not?” sahut saya lebih singkat.
Meluncurlah dari bibirnya kerinduannya yang membuncah untuk jadi cerpenis.
“Kok tidak mencoba mengirimkannya?”
“Saya malu jika karya saya dibaca orang lain. Bahkan jika adik saya mengintip dari belakang layar komputer saya saat saya menulis, langsung saya usir keluar”, katanya dengan mata tajam.
“Aneh sekali”, pikir saya. “Dia mau jadi penulis tetap tidak mau karyanya dibaca orang lain. Bukankah itu pernyataan yang kontradiktif?”
“Jika you mau jadi penulis, ya artinya you siap kalau karyamu dibaca oleh banyak orang. Bukan hanya adikmu”, itu yang keluar dari mulut saya.
Dari perbincangan kami siang itu di kantin mahasiswa sambil makan bersama, saya tahu inti persoalannya. Dia tidak tahan dikritik.
“Lovers and haters itu biasa di bidang tulis menulis. Jika you tidak siap untuk dikritik yang sampai kapan pun karyamu tidak akan publish”, ujar saya.
Sebelum berpisah, saya minta dia mengirimkan tulisan terbaiknya kepada saya untuk saya baca. Yang tidak saya katakan kepadanya adalah bahwa sayakarena punya akses ke penerbitanmengedit naskah itu dan mengirimkannya atas namanya. Tidak lama kemudian cerpennya publish, bahkan menjadi cerpen pilihan redaksi.
Pada pertemuan berikutnya, saat tahu kalau cerpennya dimuat, dia gembira luar biasalebih cenderung euforiasehingga lupa segalanya, termasuk lupa mentraktir saya. Wkwkwk
Kritik yang memantik kritik
Belakangan kata ‘kritik’ kembali naik daun. Penyebabnya adalah pernyataan para tokoh yang mengkritisi pemerintahan yang sedang berjalan. Ada yang mengatakan Jokowi ngibulin rakyat saat bagi-bagi sertifikat. Ada juga yang meramalkan Indonesia bubar. Ada pula yang beranggapan pembangunan infrastruktur terutama jalan toldianggap sebagai pencitraan belaka. Ada yang bahkan menyerang secara frontal hutang luar negeri yang dilakukan pemerintah sekarang. Jika lokomotif diserang, gerbong ikut meradang. Mengapa? Karena Sri Mulyani pun ikut terkena panasnya arang. Bukankah dia ikut menjadi think tank presiden dalam pengelolaan uang negara? Apalagi ketika dolar Amerika mulai mengamuk lagi terhadap rupiah. Untung menteri keuangan terbaik versi luar negeri ini tidak meradang, malah memberikan penjelasan secara gamblang. Ruhut pun ikut tersulut.
Kritikan ini langsung memicu lovers dan haters Jokowi bertemu di ring yang sama: media massa baik cetak, elektroning maupun daring. Adu pukulan mulai jab, hook sampai kalau bisa meng-KO lawan. Tujuannya jelas menjungkalkan lawan baik di pihak yang pro maupun anti-Jokowi.
Namanya saja bertarung, meskipun sebenarnya ada peraturan yang ketat, karena emosi yang tersulut, bisa saja logika semaput. Saling serang di media daring sungguh membuat warganet merinding. Tanda tagar ‘ganti presiden’ ramai mewarnai ring tinju di media sosial.
Perdebatan seru di dunia maya itulah yang mengingatkan saya kembali dengan pertemuan saya dengan mahasiswi di kantin mahasiswa yang saya ceritakan di atas. Seperti mahasiswi yang ingin menjadi penulis tadi, sebenarnya, kritik terbesar yang kita takuti itu bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Bukan apa yang masuk dari telinga kiri dan kanan kita, melainkan yang berasal dari antara keduanya, yaitu di dalam otak kita sendiri. Apa yang kita takutkan? Ini: “Apa kata orang?” The war inside the head itulah yang justu paling seru.
Kritik membangun?
Ada yang berkata, “Asal kritik membangun tidak apa-apa”. Apa betul pernyataan ini? Menurut saya, kata ‘masukan’ lebih luwes ketimbang ‘kritik’. Yang namanya kritikmembangun atau tidak bisa memanaskan telinga dan memerahkan muka sertadalam banyak kasusmembuat penerimanya kebakaran jenggot, meskipun belum tentu dia punya jenggot karena seorang wanita.
Mengapa bisa demikian? Roy F. Baumeister and Ellen Bratslavsky dari Case Western Reserve University, mempublikasikan tulisan ilmiahnya berjudul Bad Is Stronger Than Good. Bersama Catrin Finkenauer dari Free University of Amsterdam dan Kathleen D. Vohs dari kampus yang sama dengannya, Roy dkk menulis demikian: “The greater power of bad events over good ones is found in everyday events, major life events (e.g., trauma), close relationship outcomes, social network patterns, interpersonal interactions, and learning processes. Bad emotions, bad parents, and bad feedback have more impact than good ones, and bad information is processed more thoroughly than good. The self is more motivated to avoid bad self-definitions than to pursue good ones. Bad impressions and bad stereotypes are quicker to form and more resistant to disconfirmation than good ones. Various explanations such as diagnosticity and salience help explain some findings, but the greater power of bad events is still found when such variables are controlled. Hardly any exceptions (indicating greater power of good) can be found. Taken together, these findings suggest that bad is stronger than good, as a general principle across a broad range of psychological phenomena. (Review of General Psychology 2001. Vol. 5. No. 4. 323-370, cetak tebal dari saya: Xavier).
Pengalaman empiris saya dan rekan-rekan penulis mengaminkan hasil penelitian itu. Meskipun cara saya dan penulis lain sudah memakai prinsip baku jurnalistik cover both sidesdan memberikan yang terbaik bagi tanah air tercintamasih ada celah untuk diserang dan dituduh sebagai pendukung ini dan penentang itu. Bisa saja hal itu membuat kami perih dan sedih. Saya buat disclaimer di sini, bahwa saya mendukung apa saja yang saya anggap baik meskipun pengertian baik saya tentu saja bisa bisa sekali berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan pengertian baik orang lain. Bukankah beda pilihan pun harus dihargai di alam demorkrasi? Bukan dimaknai dengan saling hantam apalagi dengan palu godam.
Karena menyadari bahwa kritikan itu berarti peduli, maka saya berusaha menempatkan kasih di atas kata risih dan perih. Mengapa pula saya harus memaksakan kehendak bahwa semua orang setuju dengan apa yang saya tulis? Bukankah orang bijak berkata, Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya? Waktu makan di sebuah rumah makan kuno di Malaka, saya dengar bahwa penjual mie di sana, ada yang menggosok-gosokkan, maaf, pantat mangkuk yang kasar satu sama lain agar menjadi halus sebelum dipakai untuk menyajikan mie yang luar biasa sedapnya itu.
Reaksi atau respons
Lalu, bagaimana cara ‘bijak’ untuk menanggapi kritik? Saya tidak merasa lebih bijak dari siapa pun, tetapi saya mencoba untuk berbagi dari pergumulan saya pribadi menghadapi kritik. Saya berhutang budi terhadap seorang sahabat saya yang dulu suka sekali balapan. “Bagaimana caranya agar you bisa memenangkan balapan?”
Atas pertanyaan saya itu dia memberikan jawaban yang sampai sekarang masih melekat di benak saya: “Setiap kali balapan, saya mengarahkan mata saya ke jalan di depan saya, dan bukan pembalap lain di kiri kanan saya.” Bahkan dengan nada bergurau dia berkata, “Musuh saya bukan pembalap di lintasan yang sama dengan saya, melainkan tiang listrik di depan saya!”
Jika musuhnya tiang listrik di depan, dia akan terus-menerus memacu gas kendaraannya untuk melampaui setiap tiang listrik itu sampai finish. Jika dia toleh ke kiri atau ke kananapalagi mendengar ocehan atau hinaan pembalap lain yang ingin membuat kita downbisa jadi dia malah menabrak pagar pembatas di lintasan balap.
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...