Seorang prajurit bertugas seperti biasa di benteng Troya yang dikepung bertahun-tahun oleh pasukan Sparta dari Yunani. Karena masa pengepungan berlangsung sangat lama—10 tahun—pekerjaan itu menjadi rutinitas yang begitu membosankan baginya. Namun, alangkah kagetnya dia ketika melihat patung kayu kuda raksasa di depan pintu benteng Troya yang perkasa. Hatinya tambah bersorak ketika melihat pasukan Sparta meninggalkan garis pantai untuk kembali ke tempat asalnya.
Dengan semangat prajurit itu memberitahu komandannya bahwa peperangan telah usia. Troya menang. Tempik sorak memenuhi udara kota Troya hari itu. Para petinggi keluar dan meminta prajurit Troya membawa masuk ‘hadiah’ dari musuh yang ‘kalah’. Seharian penuh euforia menguar di seluruh penjuru Troya. Wine dikeluarkan untuk merayakan ‘kemenangan’ yang gilang gemilang itu. Pada saat sebagaian prajurit Troya teler yang yang lainnya tidur, tiba-tiba patung kuda raksasa itu ‘hidup’. Dari lambungnya keluar para prajurit Sparta pilihan. Mereka tidak lagi menghadapi prajurit yang tangguh melainkan yang bingung dan linglung karena pengaruh alkohol. Dengan mudah mereka tidak saja membantai musuhnya, melainkan juga membuka pintu gerbang Troya dari dalam dan memberi jalan bagi prajurit Sparta yang tadinya bersembunyi diluar untuk merangsek masuk. Troya kalah dalam sekejap.
Hari-hari ini kita menyaksikan orang-orang yang sekuat prajurit Troya bisa mengalami kekalahan karena ada kuda troya di dalam dirinya. Kuda troya itu bisa berupa masalah rumah tangga, misalnya perceraian dengan pasangan, aib masa lalu yang terungkap menjelang pendaftaran calon pimpinan daerah, sampai tersangka koruptor yang memilih jadi justice collaborator karena tidak lagi memiliki protector karena immune system-nya tidak tahan gedor.
Saat menyaksikan film Troy, bisa saja kita kagum dengan stragegi licik yang prajurit Sparta lakukan terhadap pasukan Troya. Namun, di sisi lain, kita perlu waspada terhadap ‘istana’ kita sendiri. Tidak seorang pun steril terhadap kuda troya yang disusupkan di dalam benteng pertahanan kita, setangguh apa pun. Rumah tangga biasa juga bisa diserang kuda Troya tanpa peringatan, termasuk merasuk seorang istri yang merasa sah dan mem-bully pelakornya dengan melemparinya dengan uang setengah milyar rupiah.
Setiap ortu pasti memiliki kerinduan untuk mempersiapkan anaknya agar kuat menghadapi gempuran raksasa kehidupan. Demikian juga Achilles. Thetis, ibu Achilles, yang berharap agar anaknya bisa menjadi prajurit yang sakti mandraguna, mencelupkan tubuh anaknya ke Styx, sungai di Underworld dengan memegang tumitnya. Akibatnya, seluruh tubuh Achilles kebal terhadap semua senjata tajam, kecuali tumitnya yang tidak terendam air. Di situlah titik lemahnya.
Kita tidak berbeda. Kita bisa saja memiliki fisik seprima bina raga dan sekuat tentara, namun—seperti Achilles—pasti memiliki titik lemah. Kisah purba manusia pertama saat menceritakan permusuhan antara ular dan manusia, menunjukkan hal yang sama. Sang Khalik berkata, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturuanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
“Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Titik lemah setiap kita berbeda. Ada yang perkasa di takhta, namun lemah terhadap wanita (baca: lawan jenis). Ada yang kuat di wanita, namun mudah tergoda harta. Ada yang tangguh terhadap iming-iming harta, namun rapuh terhadap godaan takhta.
Saya pernah membaca kisah seorang rohaniwan yang dikenal amat saleh. Karena begitu salehnya sehingga Iblis pun gemas untuk menggodanya. Dia kirimkan setan pertama untuk menggodanya dalam hal harta. Gagal. Rohaniwan itu memilih untuk menjadi hidup sederhana dan menghindarkan matanya dari kemilau dunia.
Iblis mengirimkan setan kedua untuk menggoyahnya dengan takhta. Gagal juga. Rohaniwan itu memilih untuk tetap menjadi hamba.
Baca Juga: Saat Tuhan Nonton Bola
Iblis mengirimkan setan ketiga untuk menggoyangnya dalam hal wanita. Gagal total. Rohaniwan itu telah mematikan nafsu seksnya sehingga dia tidak lagi tergoda oleh wanita secantik dan seseksi apa pun.
Ketiga setan itu menghadap Iblis dengan wajah kalah perang. Karena begitu jengkel dengan performa anak buahnya, Iblis memutuskan untuk turba dan menggodai rohaniwan itu sendiri.
Berhasil!
Saat kembali ke neraka dengan senyum kemenangan di bibirnya, ketiga setan dengan malu-malu bertanya, “Kok Paduka bisa meruntuhkannya? Rahasianya apa?”
Dengan tetap mengumbar senyuman, Iblis berkata, “Saya hanya membisikkan ke telinganya bahwa rohaniwan yang jauh berada di bawahnya telah dianggap menjadi atasannya!”
Ternyata meskipun rohaniwan itu kuat di banyak titik, ‘tumit Achilles’-nya ada di hatinya yang tersembunyi. Dia tidak kuat menahan iri hati.
Saat mengamati banyak pelari tangguh yang tidak sanggup melanjutkan maraton kehidupan karena tumitnya melemah, ada banyak komentar yang menguar.
Pertama, tidak ada idola yang sempurna kecuali Tuhan. Itulah sebabnya larangan utama bagi kita adalah menduakan Tuhan. Apa arti idola? Berhala! Jadi apa pun yang kita tinggikan melebihi Tuhan adalah berhala kita.
Kedua, karena kita tidak sempurna, jangan kecewa jika melihat tokoh panutan kita tergelincir atau heran saat the untouchable tiba-tiba bisa diringkus. Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya tergelincir juga karena menabrak tiang listrik.
Ketiga, karena tumit kita pun lemah, jangan menertawakan apalagi menghakimi saat pelari lain terjatuh. Saat kita memaki-maki pelakor, jangan sampai lupa jika kita pun pernah menjadi pelakor. Bukan yang itu tuh, melainkan pelaku kotor alias curang. Ingat, kelak kita pun akan dihakimi, bukan oleh manusia, melainkan Tuhan sendiri.
Ketimbang melakukan ketiga hal yang memuakkan bagi Tuhan, bukankah jauh lebih baik jika kita melatih diri kita sendiri sedemikian rupa agar kelak kita sendiri tidak ditolak di depan gerbang surga. Mari jalani maraton kita sendiri!
Penulis Pelukis Kehidupan di Kanvas Jiwa
Menyukai ini:
Suka Memuat...