Saya percaya jika lebih dari setengah penduduk Indonesia hari ini, tak menyadari dahsyatnya kerusuhan yang berlangsung pada tanggal 27 Juli 1996 lalu, di depan kantor PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang terletak di jl. Diponegoro, Jakarta. Hanya beberapa ratus meter dari kediaman resmi Wakil Presiden RI, Gubernur DKI Jakarta, dan Duta Besar AS yang berada di sisi baratnya.
Ketika itu, sekitar 2 tahun sebelum digulingkan gelombang aksi unjuk rasa, Suharto dan Orde Baru masih berkuasa. Termasuk melancarkan tindakan represif dan brutal terhadap masyarakat yang menentang maupun bertentangan dengan kehendaknya. Hal yang tanpa ragu mereka lakukan lewat pengerahan pasukan Angkatan Bersenjata RI. Ketika itu, Kepolisian belum dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia.
Jangankan masyarakat daerah, mereka yang hidup dan bermukim di ibukota Jakarta pun, mungkin tak persis mengetahuinya. Sebab, ketika itu pemberitaan tak berlangsung leluasa seperti hari ini. Kekuasaan menegakkan kebijakan sensor yang sangat ketat sehingga para pemilik dan pemimpin redaksi media (koran dan majalah) bersikap terlalu hati-hati. Mereka senantiasa disergap rasa khawatir terhadap tudingan mengganggu ketertiban umum dan merongrong wibawa Pemerintah yang bisa berujung terhadap pencabutan izin usaha. Sementara media elektronik (televisi dan radio) yang resmi diizinkan menyiarkan program pemberitaan, hanya TVRI dan RRI. Yakni lembaga yang berada di bawah naungan dan kendali penuh pemerintah yang berkuasa. Stasiun televisi swasta yang mengudara, sebetulnya tak memiliki izin untuk mengudarakan tayangan jurnalistik. Tapi karena semua stasiun yang ada, dimiliki dan dikuasai oleh anak-anak, kerabat, dan kroni Suharto, mereka kemudian “diperkenankan” menyiasatinya sebagai program informasi. Walaupun maknanya kurang lebih seperti tayangan advertorial, program informasi stasiun-stasiun swasta itu perlahan-lahan bergeser layaknya pemberitaan jurnalistik. Tapi sebatas masalah hukum dan kriminal. Mereka umumnya tak bernyali menyentuh hal-hal yang terkait dengan kebijakan dan sepak terjang pemerintahan maupun kekuasaan politik. Apalagi yang bersentuhan langsung dengan Suharto, keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya.
Jadi, ketika peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 itu berlangsung, sebagian masyarakat kemungkinan besar tak menyadarinya. Seandainya ada yang mengetahui, mungkin karena sehari-hari tinggal atau melakukan aktivitas di sekitar lokasi kejadian. Atau ada keluarga dan kerabat dekat mereka yang terlibat langsung dalam kerusuhan tersebut. Atau lewat kabar yang menyebar dari mulut ke mulut. Tentunya dengan kecepatan dan luas jangkauan yang terbatas.
Semua keterbatasan yang menghadirkan suasana terkungkung akibat penerapan kebijakan represif penguasa tersebut, hingga saat itu, telah berlangsung di negeri kita selama 30 tahun. Maka tak mengherankan, jika apatisme hingga ketidak-pedulian terhadap dinamika politik yang sedang berlangsung, telah berkembang luas di berbagai lapisan masyarakat. Belum lagi akibat pengaruh kekuasaan Orde Baru yang mampu menjangkau ke dalam kehidupan pribadi siapa pun. Termasuk masa depan dan ketenteraman keluarga mereka.
Maka, kerusuhan itu adalah ledakan kemarahan yang bukan hanya terpendam. Tapi telah tertidur pulas sekian lama.
Suharto menggunakan kekuasaannya untuk mendudukan kembali Soerjadi, sebagai Ketua Umum PDI, melalui kongres yang diselenggarakan di Medan dan telah direkayasanya. Dengan demikian, Megawati Sukarnoputri yang popularitasnya saat itu semakin melambung, dapat disingkirkan. Bagaimana pun, putri Bung Karno itu merupakan ancaman nyata terhadap apapun skenario suksesi yang sedang difikirkannya. Suharto tentu menyadari, perlunya menjaga keberlangsungan suasana kondusif terhadap bisnis maupun kehidupan kekuasaan bagi keluarga, kerabat, maupun kroni yang sebelumnya telah dibesarkan, melalui pembudayaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Maka membiarkan Megawati yang perlahan tapi pasti mulai menarik simpati dan semakin banyak dielukan publik — termasuk membangunkan mereka yang sekian lama telah tertidur pulas — sama sekali bukan pilihannya. Apalagi kisah peralihan kekuasaan dari, maupun perlakuannya terhadap, Sukarno yang tak kunjung sirna dari memori kolektif masyarakat. Meskipun mungkin telah dibumbui dramatisasi sehingga tak persis sama dengan kejadian sesungguhnya, publik luas mengaminkan tudingan kekejaman yang telah dilakukan Suharto terhadap Proklamator Kemerdekaan itu.
Para pendukung Megawati dan masyarakat yang bersimpati padanya, sejak beberapa hari sebelum peristiwa kerusuhan itu, telah bermalam di kantor pusat DPP PDI yang terletak di jalan Diponegoro tersebut. Hingga kemudian sejumlah truk yang mengangkut serombongan pasukan berkaos merah yang “seolah-olah dikesankan” sebagai pendukung Soerjadi, datang menyerang. Di sini, tudingan keberpihakan aparat keamanan memang sulit terbantahkan. Sebab, semua jalan akses menuju kantor PDI tersebut, sesungguhnya telah tertutup dan dijaga oleh polisi yang bersenjata lengkap. Masyarakat tak bisa lagi leluasa untuk memasuki area di sana. Tapi membiarkan truk-truk yang mengangkut pasukan berbaju merah yang katanya pendukung Soerjadi itu, mendekati kantor PDI yang sedang diduduki pendukung Megawati, tentu mudah dikaitkan dengan tudingan pembiaran terhadap kerusuhan yang terjadi.
Menurut catatan pada Laporan Akhir Komnas HAM terkait peristiwa berdarah dan mengerikan itu, penyerbuan dan pengambil alihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya, diputuskan oleh Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Kasdam Jaya, melalui rapat yang dipimpinnya sendiri pada tanggal 24 Juli 1996.
Keberpihakan dan loyalitas pendukung maupun pemuja Megawati yang berupaya melawan serbuan dan mempertahankan kantor PDI saat itu, telah menyebabkan sejumlah nyawa melayang. Walaupun catatan resmi Komnas HAM menyatakan hanya 5 nyawa yang melayang, juga 149 yang luka-luka dan 136 orang yang ditahan, tapi hingga kini masih merebak dugaan jumlah yang jauh lebih besar.
Kenyataannya — melalui drama perjalanan kekuasaan di Indonesia lainnya yang tak kalah seru — Megawati akhirnya memang sempat naik ke tampuk kekuasaan tertinggi negeri ini pada tahun 2001. Beliau yang semula menjabat sebagai Wakil Presiden, menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang “dikeroyok” dan terancam pemakzulan oleh anggota legislatif yang mestinya menjadi mitra kerja beliau, dalam membangun kembali Indonesia yang sedang porak poranda.
Pengadilan Koneksitas terhadap peristiwa itu, berlangsung saat Megawati menjabat sebagai Presiden RI. Tapi hanya mampu membuktikan keterlibatan seorang buruh sebagai pengerah massa yang melemparkan batu ke Kantor PDI. Sementara 2 perwira yang saat peristiwa terjadi bertugas di Kodam Jaya sehingga turut diadili, pada akhirnya divonis bebas.
Tahun 2006, pada tanggal yang sama dengan terjadinya peristiwa tersebut 10 tahun sebelumnya, digelar Malam Dasawarsa Tragedi 27 Juli 1996 di gedung kantor yang bersejarah itu. Tapi, baik Megawati Soekarnoputri maupun sejumlah tokoh yang sebelumnya terlibat dan kini bergabung di bawah naungan PDI Perjuangan, tak terlihat ikut menghadiri. Meski demikian, banyak keluarga korban dan saksi mata peristiwa kejam dan berdarah tersebut yang hadir. Sebagian di antara mereka adalah yang turut hadir pada mimbar saat itu dan menggemakan teriakan haru, “Mega Pasti Menang! Mega Pasti Menang! Mega Pasti Menang!”
Kita maklum, kekecewaan begitu mendalam yang dirasakan Megawati, 2 tahun sebelum peringatan Malam Dasawarsa itu. Ketika Indonesia pertama kali menyelenggarakan Pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004, popularitasnya ternyata tertinggal jauh dari Susilo Bambang Yudhoyono. Mantan Kasdam yang memimpin rapat untuk memutuskan penyerangan terhadap markas PDI yang dikuasai para pendukungnya di Jl. Diponegoro itu. Sosok yang kemudian tetap dipertahankan dalam kabinetnya setelah mengambil alih tampuk kekuasaan Gus Dur, tapi kemudian hari mengundurkan diri, lalu mendirikan partai baru (Partai Demokrat), dan merebut simpati publik yang memilihnya saat mencalonkan diri sebagai Presiden RI 2004-2009.
Seribu satu alasan untuk menjelaskan kekalahan telak Megawati saat itu, bisa saja dikemukakan. Tapi tak akan mengubah fakta tentang merosotnya dukungan rakyat terhadap dirinya maupun partai yang dipimpinnya.
Pada tahun 2009, Megawati kembali mencoba peruntungan dengan langkah yang lebih “nekad”. Menggandeng Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto yang merupakan perwira tinggi Angkatan Darat yang penuh kontroversi saat peristiwa berdarah menjelang Reformasi 1998 berlangsung. Langkah kuda itu tak membuahkan hasil memadai karena dirinya kembali dikalahkan SBY secara telak.
Tanggal 27 Juli besok, sebagian kecil diantara kita, mungkin akan mengingat-ingat KUDATULI yang terjadi 23 tahun yang lalu itu. Ya, hanya sebagian kecil. Sebab, mereka yang saat itu sudah cukup umur untuk memahaminya, dan saat ini masih hidup dan mampu berfikir jernih, mungkin tak pernah mengetahui secara lengkap apa yang sesungguhnya berlangsung. Jumlah itu pun semakin kecil karena hampir setengah dari masyarakat hari ini, adalah tergolong Generasi Millenial yang tumbuh berkembang bersama teknologi, dan Generasi Z yang terlahir dalam dunia yang telah menjadi serba digital. Sementara 1/3 yang lain, kelompok paling senior yang berada di penghujung usia produktifnya, merupakan Generasi X yang terkenal dengan ciri-ciri “anak manja” yang baru melek teknologi dan merasa lebih modern dari pendahulunya sehingga cenderung bersikap anti dan sinis, serta sibuk dengan dirinya sendiri.
Di tengah merekalah, Megawati kembali merangkul mesra Prabowo Subianto dengan hidangan nasi goreng yang katanya terkenal enak itu. Prabowo yang setelah hari pencoblosan hingga pengumuman resmi KPU atas hasil penghitungan suara kemarin, tetap ngotot dan yakin telah memenangkannya — sehingga menyebabkan terjadinya demonstrasi berdarah dan menelan korban jiwa di tengah-tengah suasana ibadah suci Ramadan kemarin — kemudian menghadiahi Megawati, lukisan Bung Karno yang katanya sedang menunggang kuda. Tentunya bukan kuda yang tuli. Tapi kuda yang gagah perkasa.
Mudah-mudahan mereka tak lupa. Sebagian besar masyarakat yang tak memahami, atau tak mengingat detail sejarah perjalanan masa lalunya itu, bukan tak ingin mengetahui. Sebab, kemewahan teknologi hari ini, telah memberi mereka kemudahan yang luar biasa untuk mencari dan mendapatkannya.
Mereka tentu tak tuli. Tapi saya khawatir mereka tak perduli.
Data dan informasi yang kini semakin mudah didapat, bukan lagi hal istimewa. Sedemikian revolusionernya perkembangan itu sehingga “post truth” — saya menyebutnya sebagai “kebenaran emosional” — sempat menjadi fenomena. Tapi percayalah, sebentar lagi hal itu tak berdaya guna sebesar kemarin. Generasi yang tidak nenyadari tapi mungkin tidak perduli sejarah perjalanan Megawati dan Prabowo itu, lebih tertarik pada gagasan-gagasan segar, inovatif, kreatif, dan progresif yang ditawarkan lingkungan mereka.
Keberlimpah-ruahan data dan informasi dalam kehidupan mereka hari ini, bukan hanya menyebabkan mereka lebih mudah jenuh. Tapi juga tak mudah fokus dsn terkonsentrasi pada satu hal. Apalagi yang nyata-nyata munafik dan “pabaliyeut” (kusut, kacau).
Hal yang lebih menarik, mereka adalah generasi yang jauh menyadari makna demokrasi dan kerukunan sosial. Sebab, mereka semakin menyadari, jika sendiri mereka bukan siapa-siapa.