“Jumlah napi semakin banyak, tiap tahun biaya makan sering terlampaui dari anggaran yang ditetapkan pemerintah,” kata Menkumham. Pernyataan yang membuat blunder dan menimbulkan tanya yang melebar. Merujuk data tahun 2017, biaya makan tahanan seluruh Indonesia mencapai Rp 1,088 triliun. Tahun 2018 sebesar Rp 1,391 triliun dan tahun 2019 melonjak menjadi Rp 1,79 triliun dengan asumsi rata-rata Rp 20.000 per hari sesuai daerahnya.
Jumlah biaya makan yang terus bertambah hingga membebani APBN diakui oleh Junaedi, Direktur Bimkemas dan Pengentasan Anak Kemenkumham terjadi sejak 2013. Namun hingga kini upaya restorative justice system yang salah satunya melalui revisi RUU KUHP masih jalan di tempat. Jumlah tahanan bertambah. Fasilitas tak berubah. Tak ada pembangunan penjara baru. Tak ada penambahan petugas keamanan lapas yang massive. Dan tak ada alternatif kebijakan pemidanaan.
Lapas seolah dirancang untuk menjadi tempat akhir menampung beban peradilan. Jika pendekatan ini terus dilakukan, maka sampai kapanpun isu overcrowded akan terus terjadi. Belum lagi masalah-masalah kronis akibat sumpeknya lapas. Tawuran, peredaran narkoba, tahanan yang kabur dan petugas korup.
Menjadi ironi jika melihat kenyataan di lapangan. Sudah bukan rahasia lagi setiap tahanan yang baru masuk lapas diharuskan membayar biaya-biaya siluman. Uang gaul, uang jago, uang kasur, uang saku, uang sewa tikar, uang listrik dan air muncul semata-mata agar seorang tahanan memperoleh perlakuan manusiawi.
Belum lama ini, seorang teman yang divonis 2 tahun penjara akibat membawa airsoft gun tanpa bukti kepemilikan menceritakan pengalamannya. Masuk di rumah tahanan, Ia harus membayar biaya kamar Rp 5 juta, uang beli kasur Rp 150 ribu -jika tidak tidur di lantai-, uang mingguan Rp 50 ribu untuk makan dan setiap kali keluarga menjenguk bayar Rp 100 ribu. Setelah inkrah, masuk LP Cipinang harus bayar Rp 4 juta untuk biaya kamar, uang gaul Rp 1.5 juta dan setiap kali keluarga menjenguk bayar Rp 25 ribu. Jika uang sewa kamar tidak dibayarkan, setiap hari ia mengalami tekanan agar keluarga membayar apapun caranya.
Jika Menkumham mengatakan anggaran terus melonjak setiap tahun, itu anggaran yang disalurkan kepada siapa? Jika biaya-biaya siluman adalah ulah oknum, kenapa hampir merata di seluruh penjara di Indonesia? Di mana simpul yang harus diurai?
Dikutip dari News 24 Africa, “Zim President pardons 3000 prisoners to clear packed jails”. Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa yang menjabat akhir tahun lalu menggantikan Robert Mogabe mengampuni 3000 tahanan dari seluruh penjara di Zimbabwe untuk mengurangi kapasitas penjara yang penuh. Tahanan yang dibebaskan adalah perempuan, remaja, difabel, yang sakit parah, yang berusia di atas 60 tahun namun telah menjalani sedikitnya sepertiga masa hukuman, dan yang divonis 3 tahun atau kurang atas kasus-kasus tindak pidana ringan. Tahanan yang dihukum atas kasus pembunuhan, pengkhianatan terhadap negara, pemerkosaan, pembajakan mobil, perampokan bersenjata dan yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan militer tidak masuk dalam program amnesti. Tahanan yang dijatuhi hukuman mati menghabiskan waktu seumur hidup di penjara, bukan dieksekusi mati. Mnangagwa sangat menentang hukuman mati.
Terkadang seorang pemimpin negara harus mengambil sikap radikal untuk mengubah suatu keadaan. Bukan melulu pertimbangan mana yang politis, mana yang tidak.
Penulis adalah News Presenter BeritaSatuTV dan Tenaga Ahli DPR RI, Jakarta
Mahasiswi Program Doktor Ilmu Kriminologi UI
Baru-baru ini meluncurkan buku Kumpulan Cerpen; Apple Strudel
Chat Nastiti untuk informasi lebih lanjut melalui Twitter/Instagram @nastitislestari