Laporan Ruly Harmadi
Jumat, 23 Februari 2018 - 03:59 WIB
Setiap 21 Febuari diperingati sebagai hari hilangnya pahlawan Nasional Tan Malaka, apakah Madilog yang diperkenalkan Tan Malaka masih relevan hingga hari ini?
Sebagai penonton sepak bola saya bertanya-tanya kenapa PSSI tidak bisa lolos bisa masuk dalam Piala Dunia? Untuk menjawabnya saya mencoba menganalisanya dengan memakai Madilog untuk mencari jawabannya. Madilog adalah sebuah metode berpikir yang diperkenalkan oleh Tan Malaka untuk mencari solusi atas suatu masalah dengan cara Materialisme, Dialektika dan Logika. Metode ini diterapkan oleh Tan Malaka secara praktis ketika Indonesia menghadapi agresi Militer Belanda. Secara kekuatan senjata Tentara Belanda lebih kuat daripada TNI, oleh karena itu dengan cara berpikir Madilog diciptakan siasat untuk mengatasinya dengan taktik yang diberi nama Gerpolek, yaitu gabungan dari kekuatan Gerilya, Ekonomi dan Politik yang dimiliki oleh rakyat Indonesia untuk menghadapi tentara Belanda akan bisa mencapai kemenangan.
Kalau cara berpikir Madilog ini diterapkan secara konsisten pada PSSI apakah akan bisa kelak lolos dari kualifikasi Piala Dunia. Saya menjawabnya secara optimis iya. Marilah kita mencoba melihatnya satu persatu.
Syarat apa yang perlu dipenuhi secara Materialisme? Antara lain adalah bibit pemain berbakat dari seluruh Rakyat Indonesia dari segi syarat-syarat fisik untu menjadi pemain sepakbola yang mumpuni baik dari segi daya tahan fisik, kelincahan, kecepatan dan sebagainya. Setelah mendapatkan bibit pemain lalu diikuti dengan kepelatihan, pembinaan, kompetisi dan lain sebagainya yang menjadi standar profesional seperti di berbagai negara lainnya. Jika seluruh syarat materialisme ini sudah dipenuhi berarti secara materi pemain sepabola Indonesia sudah mampu untuk berkompetisi dengan pemain negara lainnya. Itu baru satu syarat saja dari aspek Materialisme.
Syarat kedua adalah Logika. Untuk berkompetisi dalam Piala Dunia yang ketat, para pemain harus dilatih untuk memakai logika dalam sebuah permainan tim. Logika ini harus terus menerus diasah seperti layaknya aspek materialisme diatas baik oleh semua pemain maupun pelatih dan berbagai pihak yang bersangkutan. Boleh jadi sebab kekalahan selama ini adalah para pemain hanya melulu ditempa dalam aspek fisik tanpa diimbangi dengan sebuah metode berpikir yang bertumpu dengan logika yang ketat.
Syarat ketiga adalah berpikir Dialektis. Berpikir dialektis ini adalah metode berpikir Logis tingkat lanjut yang dinamis tergantung dari kekuatan tim lawan yang dihadapi. Dialektika ini menyangkut taktik dan strategi sesuai materi pemain yang kekuatan team yang dimiliki dan kelemahan tim lawan.
Setelah ketiga syarat Madilog ini dimiliki barulah PSSI memenuhi syarat untuk berkompetisi yang ketat dalam Piala Dunia. Ibarat pertandingan tinju, Muhamad Ali bisa mengalahkan Foreman tidak semata-mata karena teknik dan kesiapan fisik, tapi juga karena kecerdikan Ali untuk berpikir secara Logika dan Dialektis.
Dalam hal ini Madilog bisa dipakai secara kreatif sebagai cara berpikir untuk berbagai hal mulai dari perang seperti dalam gerpolek maupun untuk sebuah kesebelasan sepabola. Demikian juga yang berlaku pada Seni Perang Sun Tzu, Kitab Lima Lingkaran Musashi, On War Clauesewitz, dan berbagai kitab lainnya yang menjadi warisan literatur dunia bisa diaplikasikan dalam berbagai bidang profesi.
DALAM era digital yang berkembang pesat, industri ekspedisi menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dengan pertumbuhan bisnis
PILKADA merupakan momentum krusial dalam sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin lokal yang akan mempengaruhi arah dan
Oleh: Mauzun Visioner (Pegiat Literasi) PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur sedang mencuri perhatian publik. Pasalnya, Pilgub kali ini menampilkan tiga figur
FIGUR kyai masih menarik untuk dilibatkan atau terlibat pada kontestasi pilkada 2024. Pernyataan tersebut setidaknya sesuai dengan kondisi proses pilkada
PERNYATAAN Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie tentang “pendidikan tinggi adalah tertiary education, bukan