Dari “milk a yamin”, agama sebagai musuh terbesar Pancasila, hingga menggeser Kitab Suci ke konstitusi dalam kehidupan berbangsa, menjadikan Prof. Yudian Wahyudi sebagai pusat perhatian publik. Itu jika kita memandangnya cukup dari sisi kemediaan, lebih tepatnya trending topik.
Pemikiran, Konteks dan Respons
Namun masyarakat kita sangat majemuk, mulai dari tingkat rasa ingin tahunya, hingga dalam hal kepentingan. Baik itu kepentingan akademis, lebih-lebih kepentingan politik. Itu wajar. Jika kita memulainya dari kemajemukan tersebut, maka sekurang-kurangnya ada beberapa hal perlu dipahami bersama-sama. Pertama, gagasan dan makna dari setiap wacana yang kemudian menjadi viral tersebut. Kedua, pada kondisi atau konteks yang seperti apa ide atau pemikiran tersebut disampaikan. Sekaligus ini akan menjadi alasan mengapa ide atau pemikiran tersebut (harus) disampaikan. Ketiga, alasan dan rata-rata tingkat pemahaman masyarakat yang merespons gagasan tersebut.
Saya sangat yakin, jika kita memiliki pemahaman yang cukup mengenai ketiga hal tersebut, maka kita akan dapat mendudukkan polemik atau kontroversi Prof. Yudian sebagai restarter terutama bagi pemikir kebangsaan dan keagamaan kita. Mengapa demikian?
Jika kita menoleh ke belakang, ada begitu banyak pemikiran bahkan kebijakan kontroversial di Tanah Air. Meskipun pada saat itu terjadi pro dan kontra, sebagian pada hari ini mulai diterima. Bahkan disesalkan mengapa tidak diamini atau dijalankan pada masa itu. Meskipun tidak semua, termasuk pemikiran Prof. Yudian hari ini, setidak-tidaknya bangsa kita bukan hanya sekali dihadapkan kepada wacana-wacana kontroversial. Bahkan yang bersifat sangat sensitif sekalipun.
Ahmad Wahib, Gus Dur, Cak Nur, Ali Sadikin, dan sederet yang lainnya, adalah beberapa contoh dari para pemikir sekaligus pengambil kebijakan yang pernah berpikir di luar kebiasaan berpikir rata-rata. Namun mereka sangat memahami apa yang menjadi pemikirannya, sekaligus alasan mengapa gagasan tersebut harus disampaikan dan diperjuangkan.
Beberapa contoh misalnya, saat Nurcholis Madjid menggagas tentang “Islam Yes, Partai Islam No”, atau makalah panjangnya seputar “Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, berapa banyak elite dan masyarakat bawah tidak setuju atas pemikiran- pemikiran tersebut. Tentu saja, beberapa justru mendukung penuh bahkan turut mengampanyekan gagasan tersebut. Mereka yang mendukung, paham konteks sebagai dasar sekaligus alasan mengapa gagasan tersebut lahir. Pencampuradukan wilayah sakral dan profan di dalam agama, “politisasi” (atau lebih parahnya komoditisasi) agama, juga pemikiran dan pemahaman keagamaan yang kaku (eksklusif), adalah beberapa hal yang menjadi perhatian serius seorang Nurcholis Madjid.
Sebelumnya, pemikiran Ahmad Wahib yang ditulisnya di dalam catatan hariannya, berbuah “cap” liberal atas dirinya. Tetapi belakangan, hampir seluruh intelektual muslim di Tanah Air, sadar bahwa pemikiran-pemikiran Wahib telah memberi banyak pencerahan bagi tidak saja masa depan pemikiran Islam, namun juga kehidupan beragama dan berbangsa di Tanah Air.
Konteks Pemikiran dan Sikap Yudian
Mengenai disertasi kontroversial yang sempat viral tersebut, jelas, sikap Prof. Yudian Wahyudi sebagai rektor sekaligus akademisi, adalah menjaga dunia akademis agar tetap terbuka. Menjaga pintu ijtihad intelektual agar tetap terbuka selebar-lebarnya. Ya, sesederhana itu. Kecuali jika ditarik ke wilayah politik, maka apa pun dapat dijadikan sebagai komoditas. Baik untuk mengangkat, maupun sebaliknya, menjatuhkan. Pun, tetap ada beberapa catatan yang dia berikan kepada penyusun disertasi tersebut.
Terbaru adalah dua wacana yang tak kalah kontroversial. Secara politis, kedua wacana tersebut jelas seksi sebagai komoditas. Tak hanya seksi, namun juga pasti laku di “pasar”. Mengingat terutama pasca 2017 dan 2019, kontestasi besar politik kita masih menyisakan banyak residu. “Agama sebagai musuh terbesar Pancasila”, maksudnya adalah bukan agama itu sendiri, tetapi pemikiran dan pemahaman terhadap agama. Sebagai seorang rektor sekaligus kiai di pondok, tentu jika kita boleh menakar, Yudian tidak sedangkal dan semenghina itu terhadap agama.
Jika kita memahami posisi seorang Yudian, kemudian memahami konteks kehidupan beragama dan berbangsa kita hari ini, maka dalam merespons pernyataan Yudian sebagai Kepala BPIP, kita tidak akan setergesa-gesa seperti kemarin. Bahwa pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan kehidupan berbangsa kita yang plural, kemudian dipaksakan, sementara di dalam agama tersebut jelas menghormati nilai-nilai dan praktik-praktik kehidupan berbangsa kita selama ini, maka justru agama itu sendiri yang terkena “awu anget”. Sejauh pemahaman penulis, yang dimaksud oleh Yudian sebagai agama tersebut tidak lain adalah “agama yang ada di dalam benak para manipulator agama, bukan agama itu sendiri”.
Berikutnya adalah pernyataan Yudian bahwa dalam kehidupan berbangsa, kita harus menggeser kitab suci ke konstitusi. Bagi siapa pun umat beragama, termasuk seorang Yudian sendiri, kitab suci tidak pernah derajatnya berada di bawah konstitusi. Sebab bagi seorang penganut agama, kitab suci telah sekaligus menjadi konstitusi kehidupan mereka.
Namun sekali lagi, bangsa kita tidak hanya terdiri dari umat Islam saja, umat Kristen saja, atau umat yang lainnya. Kita hidup bersama berdampingan dengan berbagai suku, kebudayaan, bahasa daerah, tradisi, pemikiran, dan lain sebagainya. Sebagai kebhinekaan yang hidup bersama, kita butuh satu pedoman dan aturan hidup bersama. Dan itu telah dimusyawarahkan, diperdebatkan, dan disepakati bersama, UUD 1945.
Kitab suci itu sakral, tidak bisa diperdebatkan. Sementara konstitusi, ia selalu bisa diamandemen. Sebagai hasil ijtihad bersama, maka dituntut komitmen bagi setiap manusia Indonesia untuk menaatinya. Menggeser kitab suci, adalah meletakkannya kembali di tempat yang paling sakral. Setiap ayat tidak bisa “diplintir” lagi, apalagi dijadikan sebagai pembenaran atas perbuatan-perbuatan yang merugikan kemanusiaan.
Meskipun demikian, ia tetap sebagai rujukan bahkan untuk konstitusi itu sendiri. Dalam menjalankan keyakinan masing-masing, wajib mengikuti tuntunan kitab suci. Sedangkan dalam kehidupan berbangsa, kita diminta untuk komitmen terhadap konstitusi. Setiap nilai yang terkandung dan diperintahkan di dalam semua kitab suci, ketika itu adalah sistem nilai universal (ketuhanan, kemanusiaan dan keadilan), maka konstitusi diharamkan bertentangan dengannya.
Akhir
Tulisan ini tidak bertujuan untuk membela seorang Yudian Wahyudi, juga bukan untuk memojokkan siapa pun. Penulis berusaha untuk memahami anatomi wacana ini dengan seobjektif mungkin. Apalagi bagi penulis, pernyataan Prof. Yudian terutama seputar agama dan Pancasila, adalah hal wajar, bahkan pernyataan biasa.
Sebagai akhir, penulis tetap akan memberikan catatan kepada Prof. Yudian, bahwa di dalam masyarakat kita yang sekarang, di tengah kondisi ekonomi dan politik yang masih sangat dinamis, juga “telinga yang sering salah atau pura-pura salah dengar” yang semakin banyak, dibutuhkan kejelian, kehati-hatian dan pilihan kata tepat untuk setiap pernyataan. Sebab hari ini, jejak digital juga adalah komoditas (yang paling dicari).
Menyukai ini:
Suka Memuat...