Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada senin 14 September 2020. PSBB ke dua diterapkan atas tindakan antisipasi dari melonjaknya penambahan tingkat positif Covid-19 di Jakarta yang menyentuh 1.450 kasus. Akumulasi positif Covid-19 menjadi 52.321 kasus di DKI Jakarta per awal bulan September ini. Kebijakan ini populer di kalangan media yang lebih sering diucapkan oleh Gunernur Anis Baswedan dengan istilah DKI Jakarta akan “menarik rem daruratnya”.
Sontak setelah kebijakan itu diumumkan banyak tanggapan dari berbagai kalangan, sebagai contohnya beberapa menteri pemerintahan dan tokoh masyarakat yang menanggapi dengan tanggapan pro dan kontranya. Menariknya lagi para investor dan pelaku usaha pun dapat kita lihat responsnya melalui kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Benar saja dalam sepekan IHSG turun melemah 4,26%, atau sekitar Rp2,37 Triliun keluar dari BEI, sedangkan kapitalisasi pasar turun Rp254 Triliun dalam pertengahan bulan ini. Akibat penurunan harga saham akan secara langsung berpengaruh kepada kenaikan harga emas yang menyentuh posisi Rp1,031 juta per gram dan melemahnya posisi tukar Rupiah terhadap Dolar AS.
Selain dari sektor keuangan sangat menarik bila kita mengamati mengenai kondisi kalangan usaha di sektor mikro, tampaknya momentum bagi kalangan usaha untuk pemulihan ekonomi dan usaha tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Mereka akan menerima lebih banyak dan lebih panjang hantaman depresi ekonomi yang terjadi akibat diberlakukanya PSBB kedua Pemprov DKI Jakarta.
Memang sektor kesehatan sangat penting dan menjadi prioritas kita secara nasional, tetapi akan lebih baik jika pemerintah menerapkan kebijakan yang lebih tepat, akurat dan terukur. Sehingga kebijakan tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalahan masyarakat saat ini dengan tepat dan cepat pula. Kalangan usaha sangat berat menerima PSBB kedua ini karena secara perencanaan di kalangan usaha PSBB yang diterapkan secara nasional pada bulan Maret lalu menghasilkan luka keuangan yang sangat berat. Pada bulan Juni lalu PSBB transisi merupakan memontum bagi kalangan usaha khususnya di DKI Jakarta untuk sedikit menambah daya dan mengobati luka. Perencanaan tersebut bisa berupa strategi persiapan pasar, produksi dan penambahan modal untuk siap menjalankan usaha. Alhasil ibarat mobil tinggal injak gas, ternyata secara mendadak lampu kuning yang diharapkan berubah menjadi lampu hijau ternyata menjadi merah kembali. Persiapan untuk menjalankan bisnis yang sudah memakan biaya yang mahal, tetapi ketika biaya tersebut dikeluarkan untuk menjalankan usaha dan menutup luka ternyata tidak bisa diimplementasikan, seperti prank yang diterima oleh kalangan usaha. Mungkin pemerintah harus banyak belajar dari tokoh-tokoh sepetri George R. Terry, Sodang. Siagian, James AF Stoner dalam teori pengambilan keputusan.
Di kalangan berbagai sektor usaha, sektor seperti wisata, restoran, hiburan dan transportasi adalah sektor yang paling terpukul selama kebijakan PSBB ini. Tidak sedikit beberapa perusahaan melakukan reagreemnet dan restrukturisasi hutang dengan lawan transaksinya. Diprediksi perselisihan atau sengketa bisnis dan kepailitan ke depannya akan semakin ramai karena memang satu per saru perusahaan tumbang menghadapi situasi perekonomian saat ini. Permasalahan ini menimbulkan multiplayer effect berupa banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan beberapa perusahaan. Banyaknya pengangguran juga merupakan indikator yang sangat tidak baik bagi suatu perekonomian negara.
Karena DKI Jakarta merupakan epicentrum perekonomian nasional yang menyumbang PDB 16% di Indonesia, maka lebih baik jika Pemrov DKI Jakarta dari awal mempunyai perencanaan yang kuat dalam penerapan PSBB. Tidak ada istilah transisi dan lainnya, yang ada adalah PSBB total dalam waktu tertentu. Hal itu dapat dipastikan efektif dalam mengatasi kasus Covid-19, sehingga tidak terlihat lagi istilah PSBB setengah hati seperti yang waktu lalu dilakukan, sehingga berakibat dilaksanakannya PSBB kedua seperti saat ini. Sinergisitas antara kebijakan Pemprov DKI dan nasional sangat diharapkan, baik Presiden dan Gubernur tidak hanya dituntut mempunyai visi dan misi yang sama dalam menanggulangi pandemi Covid-19, tetapi kebijakan yang selaras juga diharapkan dapat terimplementasi dengan baik kepada seluruh masyarakat.
Tentunya sudah saatnya kita meniru Tiongkok dalam menanggulangi pandemi Covid-19 dengan cepat dan jelas. Tidak ada lagi kata-kata setengah hati, tentukan kebijakan preventif, reaktif dan pasca penanggulangan. Tentukan harus ada target dan batas waktu sampai kapan kebijakan PSBB ini dilakukan. Kebijakan yang terstruktur sangat membantu kalangan usaha untuk menyusun strategi dan recovery process dalam rantai usaha bisnis mereka. Kebijakan harus jelas, terencana, tepat, dan terukur, jangan ada kebijakan yang bersifat mendadak dan situasional. PSBB kali ini harus diterapkan secara ketat dan total, terstruktur dengan baik sehingga menjadi PSBB yang terakhir kalinya diterapkan. Semua berharap pandemi Covid-19 dapat menurun pasca pemilihan presiden AS yang dilaksanakan tanggal 3 November 2020 dan ditemukannya Vaksin Covid-19.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UTA’45 Jakarta