Pewarta senior Amerika, Elizabeth Pisani, menggambarkan Indonesia sebagai bangsa yang “tak masuk akal” (improbable). Ia kagum karena skala kemajemukan yang luar bisa di Indonesia bisa bertahan hingga sejauh ini. Bahkan, beberapa abad yang lalu, Empu Tantular dalam Kakawin Sutasoma telah menyadari betapa pentingnya merawat kemajemukan. Karena itu ia lalu mencetuskan frasa Bhineka Tunggal Ika di dalamnya. Ini adalah modal sosio-historis yang telah mengikat dan menyatukan bangsa Indonesia di tengah keragaman.
Meski begitu, bukan berarti Indonesia tanpa masalah. Dalam gerak historisnya, ada banyak persoalan yang bisa memantik disintegrasi bangsa. Konflik horizontal-etnik di Sampit (2000), konflik agama di Ambon (1999), dan konflik Tionghoa-Pribumi di penghujung Orde Baru 1998, adalah noktah merah dalam sejarah Indonesia. Bahkan, jauh sebelum itu, pada zaman kerajaan, kegaduhan akibat keris Empu Gandring yang memakan korban di Singosari adalah sekelumit memorabilia konflik yang mengiringi narasi sejarah bangsa ini.
Memang, fenomena konflik telah hadir sejak awal peradaban umat manusia dan terjadi di setiap bangsa. Perselisihan (dispute) antara Habil dan Qabil yang berujung pada konflik kekerasan (violent conflict) adalah petaka paling purba dalam sejarah umat manusia. Peristiwa itu menjadi penanda bahwa konflik hanya akan meninggalkan ironi, nestapa, dan elegi. Efek katastrofik akibat konflik pun mampu merenggut nyawa jutaan manusia dan hancurnya berbagai peradaban besar.
Semua itu, tentu saja, menjadi pelajaran terhadap kita: komitmen menjunjung perdamaian dengan mengelola konflik sehingga tidak berujung pada kekerasan. Di penghujung tahun 2019 ini, kita perlu melakukan refleksi: membaca kembali peristiwa yang telah menimpa bangsa Indonesia selama satu tahun yang silam. Kita harus mengakui bahwa ada sejumlah kejadian yang telah menguras begitu banyak energi bangsa ini, salah satunya, momentum lima tahunan, Pemilu 2019 lalu.
Di era Industri 4.0, pesta demokrasi tidak lagi sekadar pertarungan di dunia nyata, melainkan juga kontestasi di ranah virtual. Ini adalah konsekuensi logis dari kian canggihnya teknologi komunikasi. Persoalannya, ruang-ruang virtual tidak hanya dikapatilisasi sebagai corong kampanye politik yang sehat, melainkan juga instrumen utama untuk menyebarkan hoaks, kebencian, dan sentimen. Melalui media sosial, hoaks dan ujaran kebencian dapat tersebar secara masif. Menyentuh berbagai lapisan sosial.
Dalam survei Mastel (2019) tentang “Wabah Hoaks Nasional 2019” ditemukan bahwa hoaks terbesar yaitu isu politik (93%) dan disusul isu SARA (76,2%). Dua isu tersebut tekadang saling tumpang-tindih sehingga memunculkan politik identitas. Akibatnya, terjadi turbulensi politik begitu dahsyat dan menciptakan goncangan hebat di seluruh penjuru Indonesia. Jalinan persaudaraan yang sekian lama terawat, harus berantakan karena perbedaan pandangan dan pilihan politik. Polarisasi pun tidak bisa dihindari. Seolah-olah masyarakat hanya terbagi dua kelompok “kampret” vs “cebong”.
Demokrasi Nir-Kekerasan
Bahkan, ujaran kebencian yang terus diproduksi oleh pendukung dua kubu oleh sebagian orang disambut dengan gelora heroisme. Ironisnya, terkadang hal itu mencipta huru-hara dan berujung konflik kekerasan. Pembuhunan Idris terhadap Subaidi di Sampang Madura akibat perseteruan di media sosial karena perbedaan pilihan politik, misalnya, menjadi bukti bahwa Pemilu menyimpan potensi konflik dengan daya destruktif. Inilah konsekuensi ganda demokrasi.
Terlepas dari itu semua, konflik memang suatu keniscayaan. Apalagi, dalam konteks Indonesia yang mempunyai beragam etnis, suku, budaya, agama, dan status sosial. Kenyataan keragaman negara kita memang sewaktu-waktu bisa memantik terciptanya konflik. Atas dasar itu, yang perlu dilakukan bukan menghindari konflik, melainkan mengelola serta memahaminya agar tidak berujung pada konflik yang berakibat pada kekerasan (violence conflict). Indonesia mesti memiliki pola pemerintahan demokratis tapi nir-kekerasan.
Dalam pandangan Lacey (2003) menangani konflik ialah dengan mengelolanya untuk mendapat kesempatan demi kemajuan pada masa yang akan datang. Pada titik inilah, yang diperlukan adalah pemahaman tentang konflik secara komprehensif, baik dari dimensi praktis maupun teoritis. Dengan begitu, kita mampu untuk mencegah potensi konflik (conflict prevention), menangani konflik (conflict settlement), mencari penyelesaian konflik (conflict resolution), dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif (conflict transformation) (Prabotanoyo, 2011).
Berbagai pihak juga perlu dilibatkan, mulai dari peneliti, pengamat, dan aktivis dalam rangka mengungkap persoalan yang selama ini terpendam, yang bisa menjadi bom waktu bagi terjadinya konflik. Sehingga, ditemukan solusi efektif agar dapat menggapai perubahan yang lebih baik di masa depan. Sebab, kamajuan suatu bangsa ditentukan oleh kondusifitas masyarakat di dalamnya. Ketika kemajemukan dan perbedaan mampu dirawat, saat itululah berbagai dimensi kehidupan dapat berkembang. Namun, jika tidak demikian, bangsa ini dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).
Natal dan Spirit Kasih
Menjalang Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, kita perlu menyemai spirit cinta kasih bagi sesama. Perbedaan adalah fitrah. Konflik adalah keniscayaan. Yang kita butuhkan ialah terus-menerus memupus segala sentimen serta memupuk cinta kasih. “Cintailah satu sama lain,” ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan sabda, “Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain.”
Pada Natal kali ini, mari kita tunjukkan kedewasaan sikap. Bahwa yang mayoritas mampu melindungi minoritas. Bangsa Indonesia juga harus diyakinkan untuk bisa hidup berdampingan dengan penuh keguyuban, keakraban, dan keharmonisan di tengah keragaman, meskipun produk sosial bernama konflik menjadi kenyataan yang tidak bisa ditolak dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Keharusan semacam ini sama halnya dengan bangsa Indonesia yang mesti hidup secara akrab di tengah bencana alam yang menjadi kodrat geografisnya.
Memasuki tahun 2020 nanti, kita harus lebih cerdas dalam mengatasi dan mengantisipasi potensi terjadinya konflik. Apalagi, tahun depan, sebanyak 270 daerah akan melaksanakan Pilkada serentak. Langkah-langkah preventif perlu diambil, misalnya dengan tidak menelan mentah-mentah informasi yang hadir dan tidak gampang tersulut ujaran kebencian yang beredar di media sosial. Sebab, saat ini, dunia virtual seringkali menjadi arena permusuhan yang berujung pada konflik kekerasan.
Asisten Deputi IV Bidang Koordinasi Kamtibmas Kemenko Polhukam
Menyukai ini:
Suka Memuat...